NovelToon NovelToon
Pengantin Dunia Lain

Pengantin Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:752
Nilai: 5
Nama Author: BI STORY

Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyelidikan

Hujan badai mengguyur deras. Angin berteriak kencang, menggoyangkan pepohonan hingga bayangan menari-nari di dinding. Kilatan petir sesekali menerangi halaman yang basah kuyup. Suasana begitu mencekam dan dingin.

​Aline berdiri di depan pintu rumah Pak Hartono. Pakaiannya sedikit basah dan wajahnya pucat. Tangannya yang dingin mengetuk pintu kayu itu dengan ragu-ragu namun mendesak.

​Aline berteriak cemas, hampir tak terdengar ditelan badai.

"Pak Hartono... Pak Hartono!"

​Setelah beberapa ketukan lagi, lampu teras Pak Hartono menyala. Terdengar suara langkah kaki pelan dari dalam.

​Kunci diputar. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan Pak Hartono yang

rambutnya acak-acakan, matanya tampak mengantuk dan terkejut.

​Pak Hartono dengan suara serak, berupaya melawan deru angin bertanya,

"Ya ampun, Nak Aline? Jam segini? Ada apa, Nak? Kamu kehujanan?"

Aline dengan napasnya terengah-engah, dan mata yang berkaca-kaca menjawab,

"Maafkan saya mengganggu, Pak. Saya... saya sungguh panik. Saya datang karena Alice, Pak."

​Pak Hartono mengernyitkan dahi, berusaha memproses,

"Alice? Ada apa dengan Alice, Nak? Kembaranmu?"

​Aline maju selangkah, nadanya putus asa,

"Alice menghilang, Pak! Dia tidak ada di rumah. Sejak jam 11 tadi saya cari ke semua tempat, dia tidak meninggalkan catatan apa pun. Pintu belakang terbuka. Saya takut sesuatu terjadi pada dia Pak!"

​Pak Hartono menggeleng perlahan, seolah mencoba mengingat,

"Menghilang? Astaga. Saya baru saja tidur pulas. Tapi tunggu..."

​Pak Hartono memejamkan mata sejenak, lalu menatap Aline dengan pandangan serius. Suara gemuruh petir menyertai jeda singkat itu.

​"Saya tadi sempat mendengar suara, Nak. Sekitar... ya, sekitar pukul 10 malam tadi."

"Suara apa, Pak? Suara Alice?"

​"Bukan. Saya kira itu hanya angin, tapi ini... ini seperti suara gedoran pintu yang cukup keras. Saya mau bangun, tapi badan sudah terlampau lelah dan badai sudah mulai kencang. Saya membuka pintu tapi tidak ada siapapun. Saya pikir hantu apalagi suasana hujan lebat begini."

​Aline wajahnya semakin pucat, tangannya gemetar.

"Gedoran pintu...? Apa mungkin itu Alice Pak. Saya juga belum ada di rumah saat itu. Jam 10 tadi."

​Aline menelan ludah, membayangkan kemungkinan terburuk. Angin kembali menderu kencang, membawa serta hawa dingin yang menusuk tulang.

​"Apa Bapak melihat orang lain di sekitar sini, Pak? Mobil? Apa saja?"

​"Tidak, Nak. Saya sungguh tidak melihat apa-apa setelah suara itu. Setelah suara gedoran itu, semuanya hening. Hanya suara badai ini saja. Saya minta maaf."

​Aline menunduk, menutup matanya sejenak. Informasi ini tidak banyak membantunya, tetapi memberi petunjuk mengerikan tentang apa yang mungkin terjadi pada jam 10 malam.

​"Terima kasih, Pak Hartono. Maaf sudah mengganggu istirahat Bapak. Saya akan coba mencari lagi."

​Pak Hartono melihat dengan iba.

"Hati-hati, Nak. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan panggil Bapak. Alice itu anak baik. Semoga dia cepat ketemu."

​Pak Hartono menutup pintu pelan. Aline berdiri sejenak di tengah teras yang basah, tatapannya kosong, mencoba menghubungkan suara gedoran jam 10 malam dengan hilangnya Alice yang baru disadarinya setelah jam 11. Di belakangnya, badai masih terus meraung seolah-olah menyembunyikan sebuah rahasia gelap.

Hujan badai masih menggila, membuat suasana hati semakin tertekan. Cahaya lampu berkedip-kedip.

Suara sirene mobil polisi yang samar-samar terdengar akhirnya berhenti di depan rumah Aline, berjuang melawan deru hujan. Dua orang petugas, Komisaris Andi dan Aipda Radith, masuk ke dalam rumah.

Keduanya mengenakan jas hujan tipis yang sudah basah dan langsung menanggalkan payung mereka. Aline menyambut mereka dengan wajah yang tegang dan mata merah.

​Komisaris Andi dengan suara tegas, menatap sekeliling ruangan yang terasa dingin.

"Anda Aline? Kami dari Kepolisian. Tolong jelaskan sekali lagi kronologi lengkapnya. Duduk, silakan."

​Aline duduk di sofa, menggenggam tangannya erat-erat. Aipda Radith mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena.

​Aline bergetar

"Dia... Alice, saudara kembar saya. Saya pulang sekitar jam 11 malam. Semua tidak normal, perabotan acak-acakan. Saya menyadari dia hilang sekitar jam 11 lebih, saat saya cek kamarnya kosong dan jendela kamar kami terbuka. Jam 10 tadi Pak Hartono tetangga saya, mendengar suara orang menggedor pintu. Saat dibuka tidak ada siapapun. Pak Hartono mengira itu hantu. Tapi saya berpikir itu Alice yang sedang membutuhkan pertolongan."

​Komisaris Andi mencondongkan tubuh ke depan.

"Jendela kamar. Baik. Pukul 10 malam, tetangga Anda, Bapak Hartono, mendengar suara gedoran pintu. Apakah ada hal lain yang tidak biasa sebelum jam 10 malam?"

​Aline berpikir keras, mencoba menenangkan diri.

"Tidak ada, Pak. Sepanjang hari ini, kami hanya... kami hanya bicara tentang rencana saya kuliah di luar kota dan dia terlihat biasa saja. Dia juga selalu membicarakan rencana pernikahannya dengan Dimas. Tidak ada yang aneh."

​"Mari kita bahas beberapa kemungkinan, Nona Aline. Jujur pada kami. Apakah Alice cenderung kabur dari rumah?"

​"Tidak, Pak. Sama sekali tidak. Kami sangat dekat. Alice bukan tipe yang emosional atau impulsif. Dia sangat... teratur. Dia tidak akan pernah pergi tanpa memberi tahu saya, apalagi di tengah badai seperti ini."

​"Apakah Alice memiliki musuh? Atau sedang terlibat masalah?"

Aline menghela napas, terlihat ragu,

"Musuh... saya tidak yakin. Tapi... beberapa minggu terakhir, dia terlihat gelisah saat menjawab telepon dari sahabatnya yang bernama Risa. Dia selalu bersembunyi di kamar mandi, berbicara dengan suara pelan. Saya sempat tanya, dia bilang hanya masalah sepele."

Suasana hening. Hanya suara hujan yang menghantam jendela yang terdengar keras.

​Komisaris Andi menatap Radith.

"Aipda Radith, ambil ponsel dan laptop Nona Alice. Kita harus selidiki riwayat komunikasi dan lainnya. Fokus pada jam 8 malam hingga jam 10 malam."

​Aipda Radith menjawab,

"Siap, Kom."

​Komisaris Andi kembali menatap Aline, tatapannya menembus,

"Nona Aline, kami akan mulai bekerja. Kami akan perlakukan ini sebagai kasus serius. Sekarang, bisakah Anda tunjukkan pintu belakang dan area sekitar rumah?"

Komisaris Andi dan Aipda Radith keluar melalui pintu belakang yang disebutkan Aline. Aline mengikuti mereka, membawa senter kecil yang sinarnya redup.

​Di luar, pemandangan semakin buruk. Lampu jalan padam, hanya kilatan petir yang memberikan penerangan sesaat, menampilkan bayangan dan pohon-pohon yang meliuk ngeri.

Aipda Radith sambil menyinari tanah becek di ambang pintu belakang berkata,

"Tidak ada jejak kaki yang jelas, Kom. Hujan terlalu deras. Tapi lumpur ini terlihat terinjak cukup dalam, mungkin dua pasang kaki, tapi samar."

​Komisaris Andi mengarahkan senternya ke seluruh halaman belakang. Mereka berjalan perlahan menyusuri pagar kayu belakang rumah. Badai menyulitkan pandangan dan pendengaran.

​Komisaris Andi berteriak sedikit karena suara badai kepada Aline,

"Jalur di belakang ini menuju ke mana, Nona Aline"

​Aline menjawab,

"Itu jalan setapak menuju ke tepi sungai kecil, Pak. Lalu ke jalan utama. Tidak ada CCTV di sini."

​Kedua tim kepolisian itu kemudian melangkah pergi, akan terus melakukan penelusuran sepanjang malam, ditemani hujan badai yang mencekam. Aline menunggu dengan cemas dari rumah.

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!