Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Visible Attention.
Mobil mewah Maximillian melesat meninggalkan area parkir hotel tempat pernikahan Cyne berlangsung di tengah hiruk pikuk kota New York. Lampu-lampu mobil di belakangnya seperti bintang-bintang yang tertinggal jauh di bawah, kalah terang oleh gemerlap lampu kota. Ia tak menghiraukan Jacob dan Janet yang berusaha mengejar, keselamatan Angelo dan calon bayinya jauh lebih penting. Angelo terduduk di sampingnya, pucat pasi. Bukan karena sakit, tetapi karena guncangan hebat yang baru saja dialaminya. Kejutan demi kejutan menerpa dirinya di tengah keramaian kota yang tak pernah tidur ini, dan rasa bersalah mencengkeram hatinya. Bayinya… "Maafkan Mama, Nak," bisik Angelo lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Keteledorannya hampir merenggut nyawa buah hatinya.
Maximillian mengemudi dengan tangan yang gemetar, satu tangannya menggenggam erat tangan Angelo, jari-jari mereka saling bertaut erat. Keringat dingin membasahi dahinya, raut wajahnya menggambarkan kepanikan yang teramat sangat. Ia sesekali melirik Angelo, memastikan wanita itu baik-baik saja. Detak jantungnya berdebar kencang, menyaingi deru mesin mobil yang menggema di telinganya. Jalanan New York yang ramai dan padat tampak berlalu begitu cepat, bayangan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi berkelebat di luar jendela. Setiap tikungan dan belokan terasa menegangkan, setiap detik terasa seperti berabad-abad lamanya. Ia hanya berharap bisa segera sampai ke rumah sakit, melewati jalanan yang dipenuhi kendaraan lainnya.
Mobil berhenti mendadak di depan pintu masuk darurat rumah sakit. Sirine ambulans bergema di kejauhan, seakan mengiringi debaran jantung Maximillian yang berdetak tak karuan. Tanpa menunggu petugas, ia langsung menggendong Angelo, tubuh wanita itu terasa begitu ringan di pelukannya. Langkahnya tergesa, melewati koridor rumah sakit yang sunyi. Petugas medis yang mengenali Maximillian langsung sigap membantu, membaringkan Angelo di brangkar dan mendorongnya menuju ruang pemeriksaan.
Maximillian duduk di kursi tunggu, tubuhnya lemas. Kecemasan menggerogoti pikirannya. Setiap detik terasa seperti berabad-abad. Ia mengusap wajahnya, keringat dingin masih membasahi kulitnya. Tak lama kemudian, Janet dan Jacob tiba, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Janet memeluk Maximillian, mencoba memberikan dukungan. Kehadiran mereka sedikit meringankan beban di pundaknya. Cyne dan George, terpaksa tetap berada di pesta pernikahan, kabar buruk ini tentu akan menjadi bayang-bayang di hari bahagia mereka.
"Bagaimana keadaan Angelo dan bayinya?" tanya Jacob, suaranya bergetar.
Maximillian menoleh, matanya sembab. "Mereka sedang diperiksa," jawabnya lirih, suaranya terdengar lelah dan putus asa. Ia berharap, dokter segera memberikan kabar baik.
Beberapa saat kemudian, pintu ruang pemeriksaan terbuka. Seorang dokter dengan wajah tenang namun tetap profesional melangkah keluar. Mata Maximillian langsung menangkap sosok dokter itu. Ia berdiri dengan jantung berdebar-debar, menunggu kabar dari dokter tersebut. "Syukurlah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap dokter itu, suaranya menenangkan. "Namun, saya sangat menyarankan Ibu untuk menghindari minuman beralkohol selama masa kehamilan. Alkohol sangat rentan menyebabkan masalah pada janin." Dokter itu menjelaskan dengan detail, menjelaskan resiko yang mungkin terjadi.
Maximillian, Janet, dan Jacob menghela napas lega. Ketegangan yang mencekam selama beberapa waktu akhirnya sedikit mereda. Meskipun tidak ada bahaya serius bagi Angelo dan bayinya, Angelo tetap harus menjalani perawatan dan pemeriksaan darah lebih lanjut. Ia dipindahkan ke ruang rawat inap yang nyaman. Maximillian tak pernah meninggalkan sisi Angelo. Ia terus menggenggam tangan Angelo, jari-jari mereka saling bertautan erat. Meskipun rasa tenang mulai menyelimuti hatinya, bayangan kepanikan yang dialaminya tadi masih terasa begitu nyata. Kekhawatiran itu masih membekas, menciptakan rasa sesak di dadanya. Ia hanya bisa berharap, semua akan baik-baik saja.
"Angelo, ayo kembali ke Rusia," kata Jacob tiba-tiba, suaranya memecah keheningan ruangan. Usulan itu terasa menusuk telinga Maximillian.
Mata Maximillian menyipit tajam, menatap Jacob dengan intensitas yang tak terbantahkan. Genggaman tangannya pada tangan Angelo semakin kuat, jari-jarinya seperti menancap kuat ke kulit Angelo. "Angel tidak boleh pergi," sahut Maximillian, suaranya tegas, menunjukkan penolakan yang mutlak.
Jacob mengangkat sebelah alisnya, sebuah gerakan kecil yang sarat dengan arti. "Mengapa tidak boleh? Rusia adalah rumahnya. Sedangkan di sini? Dia tidak punya rumah," jawab Jacob, nada suaranya terdengar sedikit mengejek, seolah ingin memancing amarah Maximillian.
"Kediamanku adalah rumahnya," jawab Maximillian cepat, suaranya terdengar sedikit tertahan, menunjukkan emosinya yang sedang bergejolak.
Janet, yang menyaksikan percakapan itu, menatap kakaknya dengan ekspresi geli yang tertahan. Ia melihat kakaknya, pria yang biasanya begitu tegas, kini terlihat seperti anak kecil yang sedang jatuh cinta dan mudah dipancing emosinya.
"Tidak, aku tidak suka Angelo tinggal bersamamu," ucap Jacob santai, nada bicaranya seolah tidak peduli dengan reaksi Maximillian.
Maximillian langsung menatap Angelo, matanya penuh harap dan cemas. Angelo buru-buru memalingkan wajah, menghindari tatapan Maximillian yang memelas. Ia menahan tawa, tidak tega melihat wajah Maximillian yang terlihat begitu rentan. Rasa haru bercampur aduk dalam hatinya.
"Angelo," bisik Maximilliam lagi, suaranya sedikit lebih mendesak kali ini, namun Angelo sama sekali tidak menoleh.
Jacob menghela napas panjang, mengamati keduanya dari kursi. Keheningan di ruangan itu terasa begitu berat, menekan dada Jacob. Kenangan akan senyum mendiang kakaknya, ayah Angelo, kembali berputar di kepalanya, mengingatkannya akan tanggung jawabnya untuk melindungi Angelo. Ia menyesap kopi hitamnya, pahitnya seakan mencerminkan kerumitan situasi yang dihadapinya. Jam dinding di ruangan itu berdetak pelan, setiap detiknya terasa begitu panjang.
Keraguan Jacob bukan tanpa alasan. Angelo adalah segalanya baginya, satu-satunya keluarga yang tersisa. Dia adalah darah daging kakaknya, dan Jacob tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sampai Angelo terluka. Bayangan wajah Angelo yang pucat pasi masih terbayang jelas di benaknya, mengingatkannya akan betapa rapuhnya gadis itu di balik sikapnya yang tegar. Sentuhan tangan Angelo yang lembut terpatri jelas dalam ingatan, membuat Jacob merasa semakin terbebani.
Kehilangan Angelo beberapa waktu lalu telah membuka mata Jacob. Ia menyaksikan sendiri keputusasaan Maximilliam, bukan sekadar kepanikan orangtua yang akan kehilangan anaknya, melainkan kesedihan mendalam seorang pria yang kehilangan cinta sejatinya. Jacob melihatnya, Maximilliam yang biasanya tegar dan penuh percaya diri, berlutut di hadapannya, memohon agar Angelo baik-baik saja. Bukan karena anak yang dikandung Angelo, melainkan karena cintanya yang begitu dalam pada Angelo. Sebuah cinta yang mungkin, atau mungkin tidak, mampu memberikan kebahagiaan yang hakiki bagi Angelo. Pertanyaan itu terus menghantui Jacob, seakan menjadi bayang-bayang yang tak bisa dihindari. Ia harus membuat keputusan, dan keputusan itu akan menentukan masa depan Angelo.
"Kenapa kau tidak ikut saja ke Rusia?" tanya Jacob, suaranya lembut namun tegas. Ia merasa iba melihat Maximilliam yang terus memohon pada Angelo, yang masih menolak untuk menatapnya. Suasana di ruangan VVIP itu terasa mencekam, hanya diiringi oleh detak jam dinding antik yang berdetak pelan.
Maximillian menghela napas panjang, bahunya tampak kendur karena kelelahan. "Aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Bagaimana aku bisa memberikan masa depan untuk anakku nanti?" suaranya terdengar putus asa, menunjukkan betapa berat beban yang dipikulnya.
"Di sini pun Angelo tidak ada yang menjaga, apalagi jika kau bekerja," sahut Jacob, suaranya terdengar sedikit keras. Ia merasa Maximilliam terlalu fokus pada pekerjaannya hingga mengabaikan Angelo. Aroma kopi pahit yang Jacob minum seakan mencerminkan ketegangan di ruangan itu.
Tiba-tiba, Janet bersuara, suaranya memecah keheningan yang tegang. "Aku... aku yang akan menjaganya." Semua mata langsung tertuju padanya. Janet berdiri tegak, wajahnya tampak tenang namun matanya memancarkan tekad yang kuat. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini terasa berbeda, seolah ada secercah harapan yang muncul di tengah keputusasaan.
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....
jgn blng kl goerge d jbak skretarisnya pke ssuatu,trs dia tau dn nyri istrinya????
tp mmdingn gt sih,drpd jd skandal....
kl angelo nkah sm max,brrti janet jd adik ipar....tp kn janet bkln nkah sm jacob,pdhl jacob pmannya angelo....
🤔🤔🤔
ppet trs smp angelo brsdia buat nkah sm max.....
janet bbo bareng sm jacob...enth bgaimna smp mreka bs brsma,mngkn krna trbwa suasana....
jgn2 janet bno bareng sm jacob?????