NovelToon NovelToon
Kirana Gadis Indigo

Kirana Gadis Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.

Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.

Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Radit duduk diam di ruang tamu rumahnya. Tatapannya kosong, seperti melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Di hadapannya terbuka buku ritual lusuh yang entah dari mana datangnya.

Kirana berdiri di depan sofa, menatap Radit dengan tatapan tajam. “Kau merasa dia sudah masuk ke dalammu?”

Radit tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat kepala perlahan, dan berkata dengan suara rendah:

“Aku tidak tahu... mana yang pikiranku dan mana yang bukan.”

Keheningan menggantung di udara.

Jalu mendekat, ingin menyentuh bahu Radit. Tapi sebelum tangannya menyentuh, Radit mendadak menepis keras.

“Jangan sentuh aku!”

Semua mundur.

Diriya menatap Kirana. “Dia bukan Radit yang kita kenal...”

---

Di malam yang sama, saat semua kembali ke rumah masing-masing, Kirana duduk termenung di kamarnya. Ia menyalakan lilin di meja kecil. Di depannya, buku catatan penghubung dengan dunia arwah, hadiah dari Pak Wiryo.

Ia tulis satu kalimat:

"Bayangan Ketiga telah memilih. Tapi kenapa Radit?"

Lilin berkedip. Lalu padam seketika.

Dan dalam kegelapan, Kirana mendengar suara—bukan bisikan, bukan jeritan—tapi seperti patah hati yang menjadi suara: berat, retak, menggema.

“Karena dia yang paling hampa.”

---

Keesokan harinya.

Radit tidak masuk sekolah. Juga tidak menjawab chat grup. Kirana dan Kezia memutuskan datang ke rumahnya lagi. Tapi kali ini mereka membawa bantuan.

“Pak Wiryo, terima kasih sudah ikut,” kata Kirana begitu pria tua itu keluar dari mobil.

Pak Wiryo mengangguk pelan. “Aku tidak bisa menetralisir roh sebesar itu, tapi aku bisa membantu kalian... mendengarnya lebih jelas.”

Mereka bertiga masuk ke rumah Radit, yang kini terasa seperti ruang tunggu antara dunia nyata dan bayangan.

Langit-langit terasa lebih rendah. Cahaya lampu redup. Suara detak jam... terlalu pelan, terlalu lambat, seperti waktu sengaja dipelankan.

---

Radit berdiri di lorong.

Tersenyum.

“Kirana... kamu datang.”

“Tentu aku datang,” kata Kirana tegas. “Kamu sahabatku.”

“Tapi kau takut padaku, kan?”

Pak Wiryo mengambil sesuatu dari sakunya: selembar kertas dengan rajah pelindung.

“Radit... kami tahu kamu tidak ingin ini. Tapi kau harus melawan dia dari dalam,” ujar Pak Wiryo.

“Aku tidak mau melawan... karena mungkin untuk pertama kalinya, aku merasa... berarti.”

Kezia tertegun. “Apa maksudmu?”

Radit tertawa kecil, tapi getir. “Di antara kalian semua... aku yang paling biasa. Aku gak secerdas Kirana. Gak selucu Jalu. Gak seberani Diriya. Gak sepintar Kezia. Aku hanya... penggembira.”

---

Semua terdiam.

Dan di balik kata-kata Radit itu... Kirana mengerti.

Bayangan Ketiga bukan cuma entitas gaib—ia adalah luka, dendam, dan kehampaan yang menemukan tempat bersembunyi.

“Kalau kau pikir kau tidak berarti,” ujar Kirana pelan, mendekat, “kenapa waktu kita semua nyasar di lembah, kami gak bisa tenang sebelum kamu ketemu?”

“Kenapa waktu di vila, kamu yang pertama sadar api unggun mati?”

“Kenapa... waktu aku takut... aku nyari kamu duluan?”

Radit mulai goyah. Matanya berkaca-kaca.

Tapi bayangan hitam perlahan merayap dari lantai.

Bayangan Ketiga menunjukkan wujudnya.

Sebuah sosok samar, tinggi, tak berbentuk, tapi hadir. Ia berdiri tepat di belakang Radit, seperti jubah kelam yang menyatu dengan tubuhnya.

---

Pak Wiryo membentangkan rajah. Kertas itu terbakar perlahan, menciptakan cahaya keperakan yang menyilaukan.

“Kalau kau ingin bebas, Radit... sekarang waktunya!”

Radit memejamkan mata.

Kirana menggenggam tangannya. “Kami butuh kamu. Bukan dia.”

Dan perlahan... bayangan itu menyusut. Suaranya mengerang marah, tapi tak bisa mengalahkan kekuatan hati yang sedang memilih.

Seketika... angin keras menerpa ruangan. Lilin padam. Lampu pecah.

Dan Radit terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.

---

Beberapa menit kemudian.

Radit membuka matanya. Semua mata tertuju padanya, cemas. Ia melihat sekeliling.

“Aku... sudah pulang?”

Kirana tersenyum. “Selamat datang kembali.”

---

Satu minggu berlalu.

Semua kembali tenang. Radit sehat, meski sering mimpi buruk. Tapi ia kini lebih terbuka, bahkan mulai ikut konseling di sekolah.

Kirana duduk di taman belakang bersama Kezia dan Diriya.

“Kita kira semua ini bakal selesai sejak tenda merah itu. Tapi ternyata, setiap tempat menyimpan roh berbeda.”

“Dan kadang, roh itu... bukan dari luar,” gumam Kezia.

Diriya menatap langit. “Kira-kira... apa Bayangan Ketiga benar-benar pergi?”

Kirana menatap jauh. “Entahlah. Tapi selama kita saling jagain, aku rasa dia gak akan punya celah.”

---

Tapi malam itu, di kamar Kirana...

Cermin kecilnya retak perlahan.

Dan dari bayangan, sesosok kecil berambut panjang muncul dan berbisik:

“Masih ada satu lagi.”

Malam itu, Kirana tidak bisa tidur.

Bukan karena ketakutan, tapi karena firasatnya berdenyut lebih keras dari biasanya.

Ia duduk di ranjang dengan mata terbuka, menatap cermin kecil di atas meja riasnya. Retakan samar di permukaan cermin itu—yang muncul malam Radit diselamatkan—belum menghilang. Seolah menjadi jejak dari sesuatu yang hendak keluar, tapi belum sepenuhnya berhasil.

"Masih ada satu lagi."

Bisikan dari bayangan malam itu kembali terngiang. Tapi yang paling menakutkan bagi Kirana… adalah bahwa suara itu terasa sangat familiar.

---

Esok harinya, di sekolah.

“Kirana, kamu pucat banget,” kata Kezia sambil menyerahkan sebotol susu coklat.

“Aku mimpi aneh. Lagi-lagi,” jawab Kirana sambil menatap meja kantin.

“Yang mana? Hantu tanpa kepala, atau cermin yang bisa bicara?”

Kirana menoleh, pelan. “Aku... mimpi seseorang masuk ke kamarku. Tapi dia... bukan roh, bukan bayangan... dia seperti aku.”

“Apa maksudmu?” tanya Jalu yang baru datang.

Kirana menunduk. “Dia seusiaku, mukanya mirip... tapi matanya kosong. Dia bilang... 'sudah waktunya aku menggantikanmu'. Lalu, dia tersenyum. Senyumku, tapi terasa... salah.”

---

Sore itu, Kirana pergi ke toko antik.

Pak Wiryo menatapnya lama. “Kamu pernah merasa... seolah ada dua dirimu?”

Kirana terdiam.

“Seolah... bayanganmu bukan hanya mengikuti, tapi menunggu?”

Kirana mengangguk pelan.

Pak Wiryo mengambil buku tua, membuka halaman dengan rajah lingkaran. Di tengahnya, ada gambar dua wajah—sama persis, tapi yang satu menangis dan yang satu tersenyum lebar dengan mata hitam kosong.

“Dulu, ada legenda tentang Doppelgänger Jiwa. Bayangan yang bukan berasal dari luar, tapi tumbuh dari luka, ketakutan, dan keinginan yang ditekan terlalu lama. Jika seseorang terlalu sering menahan rasa... dia bisa menciptakan ‘bayangan dirinya sendiri’.”

Kirana menelan ludah. “Lalu... jika bayangan itu sadar?”

“Dia akan mencoba mengambil tempatmu.”

---

Malam hari.

Kirana mencoba tetap terjaga. Tapi kantuk terlalu berat. Dan seperti biasanya, mimpi menyeretnya masuk… ke dunia yang tak bisa ia tolak.

Kali ini ia berada dalam kamar yang sama seperti miliknya, tapi segalanya terbalik. Dindingnya gelap. Tirainya hitam. Cermin memantulkan cahaya merah samar.

Dan di ranjang, ada seseorang.

Dirinya. Atau, seseorang yang terlihat seperti dirinya.

Gadis itu duduk, menatap langsung ke mata Kirana.

“Namaku bukan Kirana,” katanya pelan. “Tapi aku bagian darimu. Aku diciptakan waktu kamu mulai membohongi dirimu sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu takut kehilangan teman, kamu takut disebut berbeda, kamu takut terlihat lemah. Jadi kau kubur semua itu... dan menciptakan aku.”

“Untuk apa?”

“Untuk jadi dirimu... saat kamu tidak sanggup lagi jadi dirimu.”

---

bersambung

1
Husein
kereeennnn 👍👍
Tiara Bella
wow author kesana kemari bawa cerita seru....semangat ya
MARQUES
cerita sangat bagus kalau bs lanjutkan terus pertualangan Kirana tanpa ada cinta cintaan thor biar cerita ny makin menarik trus untuk di baca sekian saran saya thor 🙏😄
Cindy
lanjut kak
mustika ikha
penasaran thor kelanjutannya, /Determined//Determined//Determined//Determined/
Tiara Bella
takut bacanya tp penasaran hehehhee.....
Tiara Bella
berasa lg nnton sinetron sh....
Wulan Sari
ayo lanjut lagi anak indigo mengatasi apa lagi semangat 💪 Thor 👍
Wulan Sari
critanya menarik membuat kadang terbayang sendiri gimana kalau kenyataan🙂
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
Tiara Bella
jantung Aman pemirsah.....wkwkwkkww
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Cindy
lanjut kak
RA
ceritanya seru, lanjutttt dan semangat
RA
semangat
Sribundanya Gifran
lanjut
mustika ikha
berasa ikut ke dalam cerita dengan cerita yg menakutkan diikuti suara musik horor atau gamelan yg mistis, thor ceritanya menakutkan tapi membuat penasaran, jd lanjutkan/Joyful/
Wulan Sari
semangat Kirana kamu pasti bisa menyesuaikan semua keseimbangan dunia ayoooo, ....
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏
Wulan Sari
seru lanjutkan Thor semangat 💪👍 trimakasih 🙏
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Cindy
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!