Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 12
Yukino terdiam cukup lama. Cara Naruto menganalisis situasi—menarik garis dari satu titik ke titik lainnya, mengabaikan asumsi yang terlalu jelas, lalu mencari motif tersembunyi—benar-benar… luar biasa.
Akhirnya, dia berkata dengan suara pelan, “Aku mengerti sekarang…”
Naruto hanya tersenyum kecil. “Kau selalu bisa menanyakannya kalau masih ada yang mengganjal di pikiranmu, Yukino.”
Yukino menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke cangkir tehnya.
Untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar ingin memahami cara berpikir seseorang.
Yukino mengernyit, menyadari ada satu pertanyaan lain yang mengusik pikirannya. Dari mana Naruto mengetahui bahwa orang yang dicurigai oleh Hachiman dan Yui adalah Yamato?
Dia tidak ingat ada momen di mana mereka secara langsung menyebutkan nama itu di hadapan Naruto. Tapi entah bagaimana, Naruto sudah mengetahuinya sebelum mereka sempat membahas lebih jauh.
“Naruto,” Yukino akhirnya membuka suara. “Bagaimana kau bisa tahu kalau Hachiman dan Yui mencurigai Yamato? Seingatku, mereka tidak pernah secara eksplisit menyebut namanya di hadapanmu.”
Naruto menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, seakan sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. “Itu sederhana,” katanya santai. “Aku hanya menghubungkan beberapa informasi yang kudapatkan sebelumnya.”
Yukino menunggu dengan sabar saat Naruto mengambil napas dalam, lalu mulai menjelaskan.
“Saat aku mencari catatan esai dari kelas 2B, banyak yang mengira aku hanya membuang waktu, termasuk Hiratsuka-sensei. Tapi ada alasan kenapa aku melakukannya.”
Dia mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan. “Aku ingin melihat apakah ada sesuatu yang tidak sengaja tertinggal dalam tulisan mereka—sesuatu yang bisa mengungkap pola pikir mereka.”
Yukino masih memperhatikannya dengan serius, sementara Naruto melanjutkan, “Dan di antara semua esai yang kubaca, ada satu yang menarik perhatianku. Esai milik Yamato.”
Mata Yukino sedikit membesar. “Apa yang ada di dalamnya?”
Naruto menyeringai tipis. “Sebuah frasa yang cukup menarik: ‘Langit biru yang tak bisa kugapai, hanya bisa kupandangi dari kejauhan.’”
Yukino mengulanginya dalam pikirannya.
“Langit biru…”
Saat dia berpikir lebih jauh, sesuatu akhirnya mengklik di kepalanya.
Aoi.
Nama belakang Hayasaka Aoi.
Yukino menahan napas. “Jadi… maksudmu…”
Naruto mengangguk. “Frasa itu bukan sekadar metafora biasa. Itu adalah refleksi dari perasaan Yamato terhadap seseorang—seseorang yang dia anggap terlalu jauh untuk diraih.”
“Dan orang itu adalah Hayasaka Aoi.”
Yukino terdiam, mencoba memproses semuanya.
“Itu sebabnya saat mendengar mereka mencurigai seseorang, aku langsung menghubungkannya dengan Yamato,” Naruto menambahkan. “Jika dia memiliki perasaan terhadap Hayasaka, maka akan masuk akal jika dia bereaksi terhadap rumor yang mengaitkannya dengannya.”
Yukino menghela napas pelan. Dia tidak bisa menyangkal logika di balik itu. Meskipun bukti yang dimiliki Naruto saat itu tidak mutlak, intuisi dan kejelian analisisnya memungkinkan dia untuk melihat sesuatu yang orang lain lewatkan.
Akhirnya, dia menatap Naruto dan berkata, “Aku mengerti sekarang. Jadi, sejak awal, kau memang sudah memperhatikan petunjuk yang bahkan tidak kami sadari.”
Naruto tersenyum kecil. “Yah, aku hanya mengikuti instingku.”
Yukino menggeleng pelan, sedikit terkesan—dan mungkin, untuk pertama kalinya, benar-benar penasaran tentang cara berpikir Naruto.
Yukino masih terdiam, mencerna penjelasan Naruto. Namun, sebelum dia bisa menarik kesimpulan sendiri, Naruto menambahkan sesuatu.
“Tapi, aku juga tidak bisa mengatakan dengan pasti kalau ‘langit biru’ itu benar-benar merujuk pada Hayasaka Aoi.”
Yukino menoleh dengan ekspresi terkejut. “Apa maksudmu?”
Naruto menyilangkan tangannya dan bersandar ke kursi dengan santai. “Bisa jadi ‘langit biru’ yang dia tulis memiliki arti lain. Mungkin itu sesuatu yang dia rindukan, sesuatu yang membuatnya merasa tenang—atau mungkin sesuatu yang terasa jauh dari jangkauannya, seperti kebebasan yang dia inginkan.”
Yukino memperhatikannya dengan saksama, tidak ingin melewatkan satu kata pun.
“Itu bisa jadi sesuatu yang dia rasakan saat ini,” lanjut Naruto, “atau seseorang yang sangat berarti baginya… atau bahkan sebuah ikatan yang dia bagi dengan seseorang di masa lalu.”
Dia mengetukkan jarinya ke meja pelan, seakan membiarkan kata-katanya meresap. “Yang jelas, aku tidak bisa menentukan mana yang paling benar. Aku hanya menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang ada.”
Yukino menatap Naruto, mencoba memahami caranya berpikir.
“Jadi… kau tidak mencoba membuat kesimpulan mutlak, tapi lebih ke arah membuka perspektif yang lebih luas?”
Naruto tersenyum tipis. “Kurang lebih seperti itu.”
Hening sesaat. Yukino menurunkan pandangannya, mempertimbangkan jawaban Naruto. Dia harus mengakui, cara berpikirnya cukup unik.
Alih-alih memaksa satu jawaban sebagai kebenaran mutlak, Naruto justru memberikan berbagai kemungkinan. Seakan dia memahami bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa dinilai hanya dari satu sudut pandang.
Akhirnya, Yukino menghela napas pelan. “Aku mengerti.”
Naruto mengangkat alis. “Benarkah?”
“Ya… mungkin.” Yukino meliriknya sekilas sebelum kembali menatap mejanya. “Meski aku masih belum sepenuhnya memahami cara berpikirmu.”
Naruto terkekeh kecil. “Kau tidak sendirian.”
Yukino hanya menggeleng pelan, namun ada sedikit senyum samar di wajahnya.