Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Hujan - 5
...Menjadi hujan sepertinya menyenangkan. Bisa menjatuhkan beban tanpa memikirkan orang yang ada di bawahnya. Kamu mengerti, bukan? ...
***
Tangannya terangkat untuk menampung air hujan yang tiba-tiba datang. Padahal ia sudah sangat semangat untuk segera sampai rumah, dan mengerjakan tugas bersama dengan Rey disana.
Tapi karena hujan turun sangat deras, ia terpaksa untuk menunggu di halte sekolah. Bus juga dari tadi tidak ada yang melintas, mungkin karena hujan.
Rai suka hujan, ia suka bagaimana bumi menjatuhkan tangisnya dan menciptakan kenangan. Juga aroma Petrichor yang membuat dirinya nyaman.
Satu lagi yang Rai suka dari hujan, kebebasan. Ia suka main hujan, apalagi menari di bawah rintik yang berjatuhan.
Awalnya ia akan menerobos hujan sekalian bermain dengannya. Tapi ketika mengingat Ibunya di rumah, membuat ia mengurungkan niatnya.
Kalau dirinya sakit karena kehujanan, siapa yang mengurus Ibunya nanti?
Helaan napas kasar ia keluarkan, ketika ia mengetahui fakta jika dirinya harus menunggu lebih lama disini.
Langit semakin gelap di atas sana, begitupun dengan hujan yang semakin lama semakin menderas saja.
Untuk menghilangkan rasa bosan, Rai memakai headphone dan menyetel musik kesukaannya. Setiap melodi yang bergema di telinganya membuat ia semakin hanyut dalam suasana.
Sampai sampai ia tidak sadar jika di depannya sudah ada mobil hitam yang terparkir sempurna, saking asyiknya menutup mata.
Rey yang kebetulan melintas dan tak sengaja melihat Rai sedang sendirian, langsung menghentikan laju mobilnya untuk memberi tumpangan. Ia melakukan itu karena tak tega ketika tau jika di sekolahnya sudah tidak ada siswa yang sekedar berteduh saja selain Rai.
Ditambah, Renata juga memaksanya.
Karena Rai tidak mendengar panggilan Rey yang ada di dalam mobil. Dengan terpaksa Rey keluar menggunakan payung milik Renata.
Ia berdiri tegak di hadapan Rai sekarang. Memperhatikan sebentar wajah yang sedang terpejam, dan menunggunya agar terbuka tanpa ia mengeluarkan suara.
Tapi Rai masih tidak sadar. Bahkan sekarang, air mata Rai tiba-tiba keluar. Mungkin sedang mengenang. Karena katanya, hujan adalah waktu yang sempurna untuk mengingat kenangan yang menyakitkan.
Rey menghela napas kasar. Ia mulai mencabut headphone yang terpasang di telinga Rai agar sadar akan kehadirannya.
Terlihat jika Rai terkejut setelahnya. "Lho, Rey? Ada apa?"
"Naik."
Rai yang tidak mengerti mengangkat sebelah alisnya untuk bertanya. "Naik kemana? Ke punggung kamu? Emang kamu kuat? Aku berat, lho!"
Karena Rai mengira jika mobil yang di depan halte bukan milik Rey.
"Lo buta apa gimana?" Tanya Rey cukup kasar sembari menunjuk mobilnya dengan tangan kosong.
Rai melotot sebentar "itu mobil kamu?!"
Rey yang sudah malas bicara dengan Rai langsung berbalik badan untuk kembali masuk ke dalam "kalau mau, cepet naik. Kalau gak, gue tinggal sekarang."
Rai yang mendengar itu langsung mengikuti Rey untuk masuk ke dalam. Mumpung ada tumpangan, kenapa tidak, 'kan? Rumah mereka juga berdekatan, jadi biar sekalian.
Ketika masuk, Rai disambut dengan senyuman manis milik Renata.
"Hallo, Kak!" Sapa Renata membuat Rai merasa disambut dengan baik.
"Hai, Renata! Terimakasih buat tumpangannya." Rai tak kalah untuk memberikan senyuman manis miliknya.
"Gue mau ke Cafe Teras dulu. Terpaksa lo harus ikut sebentar."
Rai mengangguk "iya, gak papa. Sekalian mau ikut jajan, deh!"
Sekarang, Rey yang mengangguk. Lalu mulai melajukan mobilnya membelah jalanan basah karena ulah hujan yang kini turun lebih kecil dari sebelumnya.
***
Rumah ini terlihat lebih hidup dibandingkan dengan rumahnya. Banyak kenangan yang tergantung di dinding rumah berupa foto keluarga Rey yang menunjukkan kebahagiaan di dalamnya.
Sesekali ia tersenyum ketika melihat Rey kecil di dalam foto seakan menatap ke arahnya, dengan senyum lebar tanpa beban.
"Gue nyuruh lo nunggu, bukan keliling rumah gue." Rai sedikit terperanjat ketika Rey tiba-tiba bersuara dari belakang.
"Keliling apanya? Aku cuman liat foto kamu aja."
"Emang gue ijinin?"
"Kalau foto kamu dipajang di ruang tengah kayak gini. Itu tandanya aku bisa liat tanpa ijin. Karena kamu sendiri yang simpen di tempat yang pasti banyak dikunjungi sama tamu. Gimana, sih?"
Bukan Rey yang menyimpannya, tapi Ibunya.
"Mending sekarang kita langsung ngerjain tugas, biar cepet selesai." Ucap Rey sembari menyimpan hidangan di atas meja.
Rai mulai duduk di hadapan Rey, dan mengeluarkan buku yang ia punya tentang penciptaan puisi, agar memudahkan mereka membuat tugas hari ini. Walau Rai tau jika Rey sudah sangat mahir untuk sekedar menciptakan puisi saja.
"Kita mau bikin puisi tentang apa?"
Rey menggeleng sebentar "gak usah." Dan menyodorkan buku catatannya. "Banyak puisi buatan gue disini. Lo pilih aja, nanti sesuaiin sama musiknya."
"Oh, oke."
Rai mulai membaca satu persatu puisi buatan Rey yang penuh diksi ini. Tulisan tangan Rey juga sangat indah untuk ukuran anak lelaki.
Hingga akhirnya ia jatuh hati dengan puisi berjudul 'Hujan'.
"Aku suka sama puisi ini." Ucap Rai sembari menujukkannya kepada Rey.
"Oke. Terus musiknya mau pake apa?"
"Bentar, aku baca dulu semuanya."
Hujan.
Hai, hujan.
Kusuka kau,
Yang jatuh, namun tak pernah mengeluh.
Yang basah, namun terasah.
Yang sakit, namun terikat.
Diantara rintikmu yang berjatuhan.
Ada aku yang menikmatinya dalam diam.
Menggali kenangan, walau itu tak menyenangkan.
Menjadi angan yang bersatu dengan engkau.
Langit memang terlihat muram ketika kau datang.
Menjadi candu ketika gelap menerjang.
Tapi apa kau tahu, wahai hujan?
Jika semua itu mencipta kata nyaman,
yang selalu diharapkan.
Tetaplah menjadi hujan,
Walau terus jatuh dan menyakitkan.
Kau akan selalu istimewa di mata Tuhan.
Rey Adiwangsa Sajagat
22 May 2024
Sepertinya Rey sedang mendefinisikan hujan sebagai dirinya. Apalagi bait terakhirnya, benar-benar relate dengan semua.
'Tetaplah menjadi dirimu sendiri,
Walaupun itu menyakitkan,
Dan kau akan menjadi istimewa di hadapan Tuhan.'
Setidaknya itu pesan yang bisa Rai pahami sekarang.
"Aku bakal buat melodinya. Nanti aku sesuaiin sama puisinya."
Rey mengangkat sebelah alisnya "emang lo bisa buat melodinya?"
Dan Rai tersenyum setelahnya "itu hobi aku. Tentu aku bisa. Serahin aja melodinya sama aku."
"Oke kalau gitu."
"Aku boleh baca semua puisi buatan kamu ini?" Tanya Rai sembari mengangkat buku bersampul cakrawala yang masih ada di genggamannya.
Rey hanya berdehem pelan sebagai respon yang diberikan.
Dada Rey terasa sakit sekarang, ia harus segera mengambil obatnya di kamar. Sial, kenapa harus sekarang. "Gue ke belakang dulu sebentar."
"Iya." Balas Rai tanpa melihat ke arah Rey yang sedang memegang dadanya dengan kuat.
Rai begitu fokus membaca puisi yang Rey ciptakan. Karena selain musik, ia juga suka dengan karya sastra yang unik. Dan menurutnya, puisi buatan Rey adalah hal unik yang ia temui dari lelaki berwajah dingin, bak lemari es di rumahnya. Atau bahkan lebih dingin lagi? Entahlah.
***
^^^23-Mei-2025^^^