Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling Mengerti
Acara syukuran telah usai. Para tamu mulai berpamitan satu per satu. Humairah tengah duduk ditemani ibu angkatnya yang tak lain bulek dari Azam sendiri. Ketika Azam menghampiri sambil membawa gelas air.
“Dek.., kamu lihat Mbakmu Nayla..? Dari tadi aku nggak nemuin dia,” tanya Azam lembut, matanya menyapu sekeliling ruangan.
Humairah menatap suaminya, sedikit tertegun. “Loh tadikan Mbak Nayla pamit duluan ke kita, katanya kurang enak badan. Aku pikir Mas yang nganter.”
Azam mengerutkan dahi. “Enggak. Aku pikir dia nggak jadi pulang,"
Seketika hati Azam tercekat. Ia merogoh ponselnya, membuka pesan dari Nayla yang ternyata masuk beberapa jam lalu.
“Mas, aku pulang dulu ya. Maaf kalau aku tidak banyak bantu hari ini. Aku nggak enak badan.”
Namun ada sesuatu dari kata-kata itu yang membuat dada Azam berdebar tak nyaman.
Di Rumah Nayla - Tengah Malam.Akhirnya Azam izin pulang keruma Nayla. Kebetulan masih ada Buleknya Azam yang menemani Humairah.
Azam baru tiba, langsung mengetuk pintu dengan wajah cemas. Pintu dibuka pelan oleh Nayla yang sudah berganti pakaian tidur, wajahnya tampak lelah, sembab.
“Nayla…”
“Mas Azam…” Nayla menunduk, tubuhnya bergeser memberi jalan.
Azam masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Ia menggenggam tangan Nayla yang ikut duduk di sebelahnya.
“Kenapa pulang sendiri? Kenapa nggak nunggu aku? Kamu sakit?” Tanya Azam, suaranya penuh cemas.
Nayla diam sesaat. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Bukannya tadi kamu yang mengizinkan aku pulang Mas...?" tanya Nayla heran.
"Tadi aku nggak fokus, aku asal jawab aja" ujar Azam. Nayla tersenyum getir.Menghela nafas sebelum berbicara.
"Mas… hari ini aku merasa asing, di tengah keluarga yang katanya sudah aku miliki.”
Azam terdiam, hatinya mulai sesak.
“Aku lihat semua orang mencintai Humairah… menyentuh perutnya, mendoakan bayinya. Aku ikut senang, Mas. Sungguh. Tapi di saat yang sama… aku merasa… bukan siapa-siapa di sana. Kamu tahu maksud aku kan..?”
Suara Nayla mulai bergetar.
“Dan… aku sadar. Aku ini sekarang bukan istri utama, Mas. Aku justru merasa… jadi orang ketiga di antara Mas Azam dan Humairah. Karena aku tak bisa memberimu keturunan...”
Azam sontak memeluk Nayla erat, seolah ingin meluruhkan semua luka yang tersimpan dalam dada wanita yang begitu ia cintai itu.
“Jangan pernah bilang begitu, Nay... Kamu bukan orang ketiga. Kamu istriku. Kamu yang pertama. Kamu bagian dari diriku yang tak bisa digantikan siapa pun, bahkan oleh Humairah.”
Nayla terisak dalam pelukan itu. “Tapi hatiku nyeri, Mas… Aku takut kehilangan tempat di hatimu…karena tidak ada anak di rahimku..”
Azam melepaskan pelukan, menatap Nayla dalam-dalam.
“Nay.....Kamu tidak kehilangan apa-apa. Kamu cuma sedang merasa sunyi di tempat yang masih tetap menjadi milikmu. Aku akan perbaiki semua ini. Demi kamu. Demi kita.”
Azam tak tinggal diam setelah mendengar jeritan hati Nayla malam itu. Ia merenung lama, memikirkan kembali keadilan yang selalu ia janjikan. Hari itu, Azam menyusun langkah. Ia ingin mempertemukan dua wanita yang ia cintai, bukan hanya dalam fisik, tapi juga hati.
Pagi itu, ia menelepon Humairah dari kampus.
“Sayang, nanti sore kita main ke rumah Mbakmu Nayla, ya. Aku pengin kita ngobrol bertiga."
Humairah terdiam sebentar, lalu mengiyakan dengan pelan. “Iya, Mas.”
Di Rumah Nayla - Sore Harinya.
Nayla sedikit kaget saat mendapati Azam datang bersama Humairah. Namun ia tetap menyambut keduanya dengan hangat. Ketiganya duduk di ruang tamu, dengan teh hangat dan kue kecil di atas meja. Suasana awal agak canggung, hingga akhirnya Azam membuka percakapan.
“Aku minta maaf kalau selama ini belum cukup adil, belum cukup peka dengan perasaan kalian. Aku manusia biasa. Tapi hari ini, aku minta waktu kalian untuk dengar isi hati suamimu ini…”
Humairah dan Nayla menatapnya dengan penuh perhatian.
“Kalian tahu,'Sebaik-baik istri adalah yang apabila suami memandangnya, ia membuatnya tenang. Apabila suami memerintah, ia patuh. Dan apabila suami tidak ada, ia menjaga kehormatannya dan hartanya.’"
Azam menatap satu per satu istrinya dengan mata yang dalam dan penuh kasih.
“Itu kalian. Kalian adalah ketenanganku, rumahku. Bukan karena siapa yang mengandung, bukan karena siapa yang lebih dulu. Tapi karena kalian ikhlas mencintaiku dalam keadaan yang paling sulit.”
Nayla mulai menunduk, matanya berkaca. Humairah menatapnya pelan, lalu bergeser lebih dekat dan menggenggam tangan Nayla.
“Mbak Nayla, aku... aku mungkin terlihat seperti yang diutamakan akhir-akhir ini. Tapi sesungguhnya, aku selalu merasa Mbak Nayla adalah tempat aku belajar menjadi istri. Aku cemburu, Mbak. Karena Mas Azam... Mas Azam selalu bicarain kamu dengan nada paling kagum.”
Nayla terkejut, lalu tersenyum lirih dalam haru.
Azam bergeser, lalu memeluk keduanya bersamaan.
“Mulai sekarang, kita jalan lagi sama-sama. Kita atur ulang waktu, aku ingin kalian selalu bahagia. Tidak ada yang tersisih. Tidak ada yang merasa dilupakan. Rumah ini, hati ini, untuk kalian berdua.”
Malam Harinya
Azam mengimami salat magrib mereka bertiga. Seusai salat, ia mencium kening Nayla dan Humairah satu per satu dengan takzim.
“Surgaku ada di wajah kalian. Jangan pernah merasa sendiri.”
Waktu berlalu.
Rumah tangga mereka kini kembali damai dan kompak.
Kesibukan kembali mewarnai hidup Nayla. Ia tenggelam dalam rutinitas kampus sebagai dosen dan pembicara tamu di beberapa forum ilmiah. Meski lelah, ia merasa hidupnya kembali penuh makna. Namun, satu hal tetap ia pegang: tanggung jawab sebagai istri dan bagian dari keluarga kecil mereka.
Suatu pagi, Azam menerima undangan sebagai pembicara utama dalam konferensi nasional di luar kota. Ia harus pergi ke Semarang selama tiga hari. Sebelum berangkat, Azam duduk berdua dengan Nayla dan Humairah di ruang keluarga.
“Selama aku di luar kota, aku titip Humairah ke ,kamu ya Sayang. Aku percaya kalian bisa saling jaga.”
Humairah mengangguk pelan, dan Nayla menjawab dengan mantap, “InsyaAllah, Mas. Selama aku di sini, aku akan jaga dia seperti menjaga diriku sendiri.”
Azam tersenyum. “Terima kasih... kalian memang wanita-wanita terhebat dalam hidupku.”
Hari Kedua Azam Dinas ke luar kota.
Kamar tamu rumah Nayla malam itu terasa hangat. Udara dingin dari AC menyatu dengan selimut tebal yang menyelimuti dua wanita yang tengah berbaring berdampingan. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang membuat suasana semakin tenang dan akrab.
Humairah tersenyum kecil menatap langit-langit kamar, lalu menoleh pada Nayla yang tampak memeluk gulingnya.
“Mbak…” panggilnya pelan.
Nayla mengerjap dan tersenyum lembut. “Hmm?”
“Kalau boleh tahu... Mas Azam itu, apa sih yang paling dia gak suka? Aku takut suatu hari tanpa sadar bikin dia marah…”
Nayla menghela napas pelan, lalu menatap langit-langit. “Mas Azam itu orangnya sabar. Tapi… dia gak suka kalau kita terlalu banyak menuntut. Apalagi kalau kesannya kita gak bersyukur. Kadang dia gak bilang langsung, tapi sikapnya berubah… jadi dingin. Tapi bukan berarti dia gak sayang.”
Humairah mengangguk pelan. “Terus… apa yang bikin dia bahagia?”
Nayla tersenyum lirih. “Hal-hal kecil… Mas Azam itu bahagia kalau kita perhatian sama hal-hal yang dia suka. Misalnya, kalau dia pulang kerja dan kita sambut dengan senyum. Atau sekadar kita inget dia suka teh panas tanpa gula… dia senang sekali.”
Humairah mendekat, berbisik pelan, “Mas Azam pernah cerita, dia paling tenang kalau lagi bareng Mbak Nayla. Katanya, Mbak Nayla itu rumahnya dia…”
Nayla tak menjawab. Tapi matanya berkaca-kaca. Ia menoleh menatap Humairah, menggenggam tangan adik madunya itu.
“Dan kamu,” bisik Nayla, “adalah jembatan agar dia makin dekat dengan akhirat. Dia bahagia karena kamu sering ajak dia ngaji bareng. Kamu bikin dia ingat terus pada tujuan hidup.”
Mereka berdua terdiam sesaat.
Humairah mengeratkan genggaman tangannya. “Aku senang bisa jadi bagian hidup Mas Azam. Tapi lebih dari itu… aku bersyukur bisa punya Mbak sebaik Mbak Nayla”
Nayla tersenyum sambil menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku juga… Aku gak pernah nyangka, rasa sakit bisa berubah jadi begini… jadi hangat dan saling menyembuhkan.”
Malam itu, dua wanita itu tertidur dalam pelukan ukhuwah dan rasa syukur, bukan hanya sebagai madu, tapi juga sebagai saudari dalam jalan panjang yang mereka pilih bersama.
Hari Ketiga – Video Call
Malam ketiga, Azam melakukan video call dari hotel tempat ia menginap. Di layar, terpampang wajah Nayla dan Humairah yang duduk bersebelahan, memakai daster rumahan.
“Kalian baik-baik aja?” tanya Azam.
Humairah mengangguk sambil bersandar ke bahu Nayla. “Kami baik, Mas. Mbak Nayla merawatku seperti bayi, sampai aku malu sendiri.”
Nayla tersenyum. “Gak sampai gitu juga, Mas... tapi kami saling bantu. InsyaAllah, semuanya aman sampai Mas pulang.”
Azam menatap keduanya lama dari layar. Hatinya dipenuhi rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu, rumah tangganya tak sempurna, tapi hari ini ia melihat secercah ketenangan yang dulu ia harap-harap.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan