Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Jejak yang Tertinggal
Sinar matahari pagi menembus tirai jendela kamar Adit yang mewah di kawasan Pondok Indah. Kamar itu luas, bernuansa minimalis modern dengan dominasi warna abu-abu dan putih. Sangat rapi, cerminan dari kepribadian pemiliknya yang perfeksionis.
Aditya Rahardian, atau Adit, sudah bangun sejak pukul lima pagi. Ia baru saja selesai lari pagi di sekitar kompleks perumahannya dan kini sedang menikmati kopi hitam tanpa gula di meja makan marmernya.
"Pagi, Mas Adit," sapa Bi Inah, asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun di keluarga itu, sambil meletakkan piring berisi nasi goreng.
"Pagi, Bi. Mama sudah bangun?"
"Sudah, Mas. Ibu ada di taman belakang, lagi nyiram anggrek."
Adit mengangguk. Ia membawa cangkir kopinya menuju taman belakang. Di sana, di antara deretan anggrek bulan yang bermekaran, ibunya—Bu Rina—tampak segar, jauh berbeda dengan kondisinya semalam.
"Ma," panggil Adit.
Bu Rina menoleh, senyumnya merekah. "Eh, anak bujang Mama udah ganteng aja. Gimana tidurmu? Nyenyak?"
Adit mencium pipi mamanya. "Harusnya Adit yang tanya Mama. Masih pusing nggak?"
"Udah sehat walafiat, Dit. Berkat pertolongan Allah dan mbak-mbak baik hati semalam." Bu Rina meletakkan selangnya. Ia mengajak Adit duduk di kursi taman.
"Mas, kamu udah hubungi dia?" todong Bu Rina langsung.
Adit menghela napas, menyeruput kopinya. "Belum, Ma. Ini baru jam tujuh pagi. Adit nggak mau ganggu orang pagi-pagi buta. Lagian, Adit ada meeting pagi ini sama klien dari Jepang."
"Ih, kamu ini. Kebiasaan kalau soal kerjaan gercep, giliran urusan kemanusiaan ditunda-tunda," omel Bu Rina. "Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu harus cari dia. Mama mau kasih tanda terima kasih. Dompet Mama isinya nggak seberapa, kartu kredit bisa diblokir, tapi HP Mama itu... di sana banyak foto-foto almarhum Papa kamu yang belum sempat dipindah ke laptop. Kalau bukan karena dia minjemin HP, mungkin Mama masih luntang-lantung di pinggir jalan."
Adit mengangguk, mengerti betapa berharganya kenangan itu bagi mamanya. Ayahnya meninggal dua tahun lalu, dan sejak itu, mamanya memang sering merasa kesepian.
"Iya, Ma. Nanti siang pas jam istirahat Adit telepon. Oke?"
"Jangan cuma ditelepon. Ajak ketemu. Mama mau traktir dia makan enak. Atau kasih apa gitu. Semalam dia bilang anaknya nunggu di rumah, berarti dia sudah punya anak. Mungkin beliin mainan buat anaknya?"
"Dia udah nikah?" tanya Adit, entah kenapa ada rasa penasaran terselip di nada suaranya.
"Kayaknya sih gitu, kan punya anak. Tapi Mama nggak lihat ada cincin di jarinya. Penampilannya sederhana banget, Mas. Bajunya rapi tapi kelihatan baju lama. Motornya juga motor matic biasa. Kasihan Mama lihatnya, tapi matanya itu lho... tulus banget."
Adit terdiam. Gambaran tentang wanita itu mulai terbentuk di kepalanya, meski samar. Seorang ibu muda, sederhana, penolong.
"Oke, Ma. Adit janji bakal urus ini. Sekarang Adit berangkat dulu ya."
Di kantornya yang terletak di gedung pencakar langit Sudirman, Adit sulit berkonsentrasi. Pikirannya terpecah antara presentasi proyek properti baru dan rasa penasaran terhadap pemilik nomor telepon di ponselnya.
Pukul 10.00 pagi, saat ruang rapat mulai kosong, Adit akhirnya membuka ponselnya. Ia menatap nomor yang tersimpan dengan nama 'Penolong Mama'.
Jari jempolnya melayang di atas tombol panggil. Ragu sejenak. Apa yang harus ia katakan? Halo, saya anak ibu yang kamu tolong? Terdengar kaku. Halo, mau minta nomor rekening? Terlalu transaksional.
Akhirnya, Adit memutuskan untuk mengirim pesan WhatsApp terlebih dahulu.
Ting!
Di seberang kota, di sebuah gudang arsip yang pengap, ponsel Nayla berbunyi. Nayla sedang sibuk menumpuk kardus-kardus berisi faktur pajak. Ia menyeka keringat di dahinya, lalu mengambil ponsel dari saku celana bahannya.
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Foto profilnya gambar gedung tinggi (sangat corporate).
+62 812-XXXX-XXXX:
Selamat siang. Ini dengan Mbak yang semalam menolong Ibu saya di Kafe Kemang? Saya Adit, anaknya Bu Rina.
Jantung Nayla berdegup sedikit lebih kencang. Ia tidak menyangka pria itu benar-benar menghubunginya. Ia mengetik balasan dengan jari yang sedikit berdebu.
Nayla:
Waalaikumsalam. Iya, Pak Adit. Benar, saya Nayla. Gimana kabar Ibunya? Sudah sehat?
Di kantornya, Adit tersenyum tipis membaca balasan itu. Sopan, dan yang pertama ditanyakan adalah kabar ibunya, bukan meminta imbalan.
Adit:
Alhamdulillah sudah membaik. Ibu saya ingin sekali bertemu untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Apa Mbak Nayla ada waktu luang sore ini atau besok?
Nayla membaca pesan itu sambil menggigit bibir. Bertemu? Orang kaya seperti mereka pasti ingin memberi uang. Nayla tidak munafik, ia butuh uang. SPP TK Nando menunggak satu bulan, dan susu Nando habis. Tapi harga dirinya sebagai wanita yang dididik mandiri oleh neneknya menolak untuk "meminta-minta" atas kebaikan yang ia lakukan.
Nayla:
Syukurlah kalau Ibu sudah sehat. Sampaikan salam saya saja buat Ibu ya, Pak. Tidak perlu repot-repot bertemu, saya ikhlas kok menolongnya. Kebetulan saya juga sibuk kerja dan mengurus anak, jadi agak susah cari waktu.
Adit menatap layar ponselnya dengan alis terangkat. Ditolak? Seumur hidup Adit sebagai pewaris tunggal Rahardian Group, jarang ada orang yang menolak tawarannya. Apalagi wanita. Biasanya mereka berlomba-lomba mencari perhatiannya.
Rasa penasaran Adit berubah menjadi tantangan. Wanita ini berbeda. Dan entah kenapa, Adit merasa harus bertemu dengannya. Bukan hanya karena perintah mamanya, tapi karena egonya sendiri yang terusik.
Adit:
Saya mengerti Mbak sibuk. Tapi Ibu saya sangat memaksa. Kalau menolak rezeki tidak baik, Mbak. Bagaimana kalau saya yang datang ke tempat Mbak? Sebentar saja.
Nayla menghela napas panjang melihat kegigihan pria ini.
...****************...
Bersambung.....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️