Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19
Begitu membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya luar kepala. Viola berdiri membelakangi pintu, sibuk menyusun katalog, nota pesanan, dan beberapa sketsa yang berserakan. Rambut panjangnya diikat sederhana, dan dari cara dia menghela napas, Arga tahu hari ini bukan hari yang ringan.
Dengan langkah santai, Arga masuk dan bersandar di ambang pintu, menyilangkan tangan sambil memperhatikannya dalam diam beberapa detik.
“Capek atau menyenangkan hari ini?” tanyanya akhirnya, suaranya ringan namun penuh perhatian.
Viola menoleh, kaget sesaat, lalu tersenyum tipis. “Kapan kamu datang?”
“Barusan. Lihat kamu masih sibuk, jadi nggak ganggu dulu,” jawab Arga sembari berjalan pelan ke arahnya. “Jadi, gimana hari ini?”
Viola menghembuskan napas panjang dan menarik kursi duduknya, merosot malas di atasnya. “Hari ini? Lelah banget. Dari pagi sampai sore butik nggak berhenti dikunjungi pelanggan. Ada yang pesan baju buat acara lamaran, ada yang mau custom kebaya nikahan, belum lagi ibu-ibu sosialita yang ribet banget soal detail bordiran.”
Arga tersenyum, duduk di tepi meja kerja Viola dan memandangi wajah istrinya yang kelelahan namun tetap memesona. “Tapi tetap bisa kamu atasi, kan?”
Viola mengangguk pelan. “Ya, bisa sih. Tapi rasanya pinggang mau copot.”
Arga menyandarkan tangannya di meja, mendekat sedikit. “Aku ini beruntung banget, ya. Nikahin perempuan cantik, mandiri, dan jago cari uang.”
Viola langsung meliriknya dengan tatapan tajam namun geli. “Mulai, deh, kamu modus lagi.”
“Apa salahnya mengagumi istri sendiri?” ucap Arga sambil mengedipkan mata. “Lagipula, lihat kamu begini... capek tapi tetap semangat, aku makin kagum. Serius.”
Viola mendecak pelan. “Hmm. Kamu tahu nggak, komentar kayak gitu tuh kadang bikin aku mikir. Jangan-jangan kamu juga sama aja kayak laki-laki lain. Mendekat karena uangku.”
Arga tertawa pelan, tapi ekspresinya tetap lembut. “Vi, kalau aku cuma tertarik sama uangmu, dari dulu aku udah pergi waktu kamu stres ngerjain proyek butik pertama kita. Waktu kamu nangis karena klien besar tiba-tiba batalin kerja sama. Aku nggak akan ada di sini sekarang, duduk nemenin kamu, lihat kamu lelah tapi tetap semangat.”
Viola terdiam sejenak, menatap Arga. Ada secercah keraguan yang memudar di matanya, digantikan dengan senyum lelah tapi tulus.
“Kadang aku cuma... ya, insecure aja. Capek-capek kerja, terus dibilang istri mandiri itu bagus, tapi di sisi lain suka bikin orang takut deketin. Takut dianggap terlalu kuat.”
Arga menarik kursi di sampingnya dan duduk. Tangannya meraih tangan Viola, menggenggam erat.
“Kalau kamu terlalu kuat, tugas aku jadi orang yang bikin kamu bisa istirahat. Jadi tempat kamu bersandar. Bukan malah takut atau minder,” ucapnya lembut. “Aku nggak deketin kamu karena kamu bisa cari uang. Aku deketin kamu karena kamu punya hati yang kuat. Karena kamu... kamu adalah rumah buatku.”
Viola tertunduk, senyumnya mengembang meski matanya sedikit berkaca-kaca. “Kamu tahu, kadang aku benci banget kamu ngomong kayak gitu.”
“Kenapa?” tanya Arga heran.
“Soalnya aku jadi susah marah sama kamu,” sahut Viola, lalu tertawa kecil.
Arga ikut tertawa, lalu menarik Viola ke pelukannya. “Ya udah, simpen dulu marahnya. Sekarang waktunya pulang. Aku traktir makan enak malam ini, buat istri tercantik dan terhebat sedunia.”
Viola tertawa dalam pelukannya. “Asal bukan kamu masak sendiri, aku mau.”
“Hei!” protes Arga, lalu keduanya tertawa bersama.
Di antara tawa, kehangatan, dan pelukan sederhana itu, kelelahan hari itu perlahan menguap—berganti dengan rasa syukur karena mereka masih punya satu sama lain.
**
**
Setelah beberapa menit berlalu, Viola akhirnya selesai membereskan sisa-sisa berkas di meja kerjanya. Ia mematikan lampu meja, memeriksa satu per satu laci, lalu berdiri sambil merenggangkan punggungnya yang terasa pegal. Arga masih duduk di tepi meja, mengamati istrinya dengan tatapan tak lelah-lelahnya memuja.
“Udah semua?” tanya Arga sambil berdiri, siap membantu jika dibutuhkan.
Viola mengangguk. “Udah. Tinggal kunci pintu aja. Risa juga udah kelar, kayaknya.”
Tak lama kemudian, dari arah ruang depan, muncul Risa—karyawan kepercayaan Viola—membawa gantungan baju yang barusan ia rapikan.
“Semua baju udah balik ke tempatnya, Mbak. Etalase juga bersih,” ujar Risa sambil tersenyum kecil, keringat di pelipisnya jadi bukti bahwa hari itu cukup menguras tenaga.
“Thank you, Ris. Kamu pulang hati-hati, ya,” kata Viola sambil menepuk bahu gadis itu.
“Siap, Mbak. Sampai besok!” balas Risa riang sebelum akhirnya melangkah keluar dari butik.
Setelah memastikan semua lampu dimatikan dan kunci pintu terpasang dengan benar, Viola memutar anak kunci dua kali dan menepuk-nepuk daun pintu—kebiasaan lamanya tiap selesai menutup toko. Ia menoleh ke arah Arga yang sudah berdiri di samping motornya, memasang helm dengan santai.
“Aku duluan ya,” ujar Viola sambil membuka pintu mobilnya.
Arga hanya tersenyum. “Aku di belakangmu.”
Viola melambaikan tangan sebentar sebelum masuk ke dalam mobil. Suara mesin menderu pelan saat ia menyalakan kendaraan dan perlahan keluar dari area parkir. Arga menyalakan motornya dan mulai mengikuti dari belakang, menjaga jarak cukup dekat.
Angin malam mulai turun, membelai wajahnya lewat celah helm yang sedikit terbuka. Di balik helmnya, Arga terdiam. Pandangannya tak lepas dari mobil yang melaju di depannya. Lampu belakangnya yang merah berkedip pelan di setiap tikungan, seolah menjadi kompas yang menuntunnya pulang.
Dalam hati, ada sesuatu yang mengganjal. Sebuah rasa yang belum sempat ia sampaikan.
Harusnya aku yang nyetirin dia pulang… batinnya. Dia capek seharian, berdiri, ngadepin pelanggan, mikirin pegawai dan pesanan. Masa iya pulangnya masih harus nyetir sendiri?
Arga menarik napas panjang, menahan perasaan bersalah yang tiba-tiba menyusup. Ia sadar, Viola memang mandiri, tapi bukan berarti ia harus membiarkannya terus begitu.
Mulai besok, gue yang antar jemput dia. Udah saatnya gue jadi suami yang lebih hadir. Gak cuma datang pas akhir hari, tapi nemenin dari awal sampai akhir.
Angin malam terus berhembus, jalanan mulai sepi. Di depan sana, lampu merah menyala. Viola memperlambat mobilnya, dan Arga ikut berhenti di belakang. Ia tersenyum kecil saat melihat bayangan Viola lewat kaca spion.
**
**
Teriakan melengking dari arah kamar sebelah membuyarkan tidur Arga. Tubuhnya terangkat setengah, dan matanya terbelalak dalam kegelapan total.
"Apa... mati lampu?" gumamnya pelan, napasnya masih tercekat.
Ia mengedarkan pandangannya, namun tak ada cahaya sedikit pun yang menyelinap masuk dari sela jendela. Semua gelap, hitam pekat. Suara kipas angin pun tak lagi terdengar, hanya suara detak jantungnya yang semakin kencang.
Dengan satu tangan, Arga meraba-raba permukaan kasur, mencari benda yang paling ia butuhkan saat ini—ponsel. Ujung jari-jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan familiar. Ia mengangkatnya dan menekan layar. Gelap. Mati. Entah karena habis baterai atau karena gangguan sistem.
Teriakan itu kembali terdengar—lebih panik dari sebelumnya.
"Arga!"
Suara itu. Viola.
Tanpa pikir panjang, Arga melompat turun dari tempat tidur, kakinya menabrak sisi ranjang dan membuatnya meringis pelan. Tapi ia terus melangkah, menabrak kursi, hampir terjatuh oleh tumpukan baju yang belum dibereskan. Ia membuka pintu kamarnya dan bergegas menyusuri lorong yang kini terasa lebih panjang dari biasanya.
“Viola?!” teriaknya sambil mengetuk pintu kamar sebelah.
Tak ada jawaban.
Ia memutar gagang pintu—terbuka.
Gelap.
"Vi? Sayang, kamu di mana?"
Sebuah suara gemetar menjawab dari sudut ruangan, “Arga... aku di sini…”
Arga mendekati suara itu dan akhirnya menemukan Viola duduk meringkuk di sudut tempat tidur, memeluk lututnya sendiri. Bahunya gemetar, dan wajahnya nyaris tak terlihat dalam gelap. Ia hanya bisa merasakan napasnya yang berat dan suara tangis yang berusaha ditahan.
“Aku mimpi buruk… terus... tiba-tiba lampunya mati. Aku pikir… aku pikir aku masih di mimpi itu,” ucapnya terbata.
Tanpa bicara, Arga segera duduk di sampingnya dan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan. Viola langsung menyandarkan kepalanya di dada Arga, berusaha mencari ketenangan dari hangatnya pelukan itu.
“Ssst… aku di sini,” bisik Arga lembut, mengusap rambutnya perlahan. “Kamu udah bangun. Ini cuma mati lampu, gak ada apa-apa, ya?”
Viola mengangguk kecil, meski tubuhnya masih terasa tegang.
“Aku mimpi… kamu ninggalin aku,” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Terus semuanya jadi gelap. Kayak sekarang.”
Arga menahan napas sejenak. Lalu dengan lembut ia menangkup wajah istrinya.
“Aku nggak akan ninggalin kamu, Vi. Bahkan di tengah gelap paling pekat sekalipun, aku akan tetap nemuin kamu. Seperti malam ini.”
Viola menatapnya, meski yang terlihat hanya bayangan samar.
“Janji?”
“Janji,” balas Arga, menempelkan keningnya ke kening Viola.
Di luar, suara hujan mulai turun perlahan. Tapi di dalam kamar itu, di tengah kegelapan yang mencekam, dua hati menemukan cahaya dalam pelukan yang tak goyah.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran