Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunggu Penjemputan
"Bantuan akan segera tiba dalam 1 jam lagi. Tetap pada koordinat yang Kakak berikan sebelumnya ya!" ucap Vivi. Aku pun tak bisa menyembunyikan perasaan bahagiaku saat ini. Senyum cerah seketika menghias wajahku.
"Ada apa, Pak? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Shima keheranan.
"Bantuan akan segera datang. Ayo kita segera bangunin yang lain," ajakku bersemangat. Matanya pun berbinar dan senyum lebar langsung terhias di wajahnya. Kami berdua langsung berlari untuk segera memberitahukan kabar gembira ini kepada yang lainnya.
"Hadi! Bangun! Tim penyelamat akan segera menjemput kita!" seruku sembari menggoyangkan tubuh insinyur itu dengan kasar.
"Benarkah? Syukurlah!" ucap Hadi langsung bangkit walau masih mencoba mengumpulkan nyawanya. Darto dan Amin pun terlihat masih nampak linglung sebab tidurnya yang mungkin terbilang nyenyak itu.
"Wah benarkah itu, Pak? Kita beruntung sekali!" ucap Amin.
"Aku tidak berbohong. Ini dia buktinya!" aku langsung menyodorkan riwayat teleponku yang tertulis di ponselku.
"Dia siapa? Sepertinya bukan salah satu dari badan penyelamat?" sanggah Amin. Aku hanya menghela napas kasar.
"Kau tahu? Dia adalah rekanku di setiapku menjalankan sebuah misi. Yah bisa dibilang dialah yang memantau seluruh gerak-gerikku dari kejauhan," aku menjawabnya dengan nada malas.
"Jadi intinya?" tanya Amin seakan masih belum mengerti akan penjelasanku sebelumnya.
"Intinya, dia juga bekerja di bagian kepolisian bagian penerima pesan darurat dari seluruh warga sipil. Jadi semisal Bapak menelepon untuk melaporkan suatu keadaan darurat dan seseorang langsung merespon panggilanmu, ya dialah orangnya!" ucapku dengan bahasa yang ku sederhanakan sebisa mungkin agar dia mengerti.
"Oh begitu ya? Baguslah," jawabnya singkat sembari menganggukan kepalanya.
Kami pun duduk melingkar dan saling mengawasi sekeliling kami. Karena aku merasa jika seorang zombie menghampiri kami, maka yang lainnya pasti juga akan mengikuti dan cepat atau lambat pasti akan datang kesini.
Suara mendesis pepohonan semakin menambah kesan hening nan sepi. Bahkan suara hewan malam yang bersiul pun kurang terdengar semakin menambah situasi sedikit mencekam.
"Menurut instruksi, kita harus tetap berada pada koordinat ini atau tempat ini hingga tim penyelamat tiba," ucapku lirih membuka percakapan yang seketika membuat mereka terkejut dan langsung menoleh kepadaku.
"Aku ingin bertanya, kalian semua bisa berkelahi apa tidak? Karena menurut firasatku, kita tidak akan duduk manis saja sembari menunggu tim penyelamat tiba," tanyaku sembari memandangi mereka satu persatu. Mereka terlihat tampak ragu untuk membuka suara saat ini.
"Ehm aku ikut beladiri taekwondo di kampus. Tapi masih sabuk hijau," sahut Shima sembari tersenyum kecut.
"Itu bagus. Kalau yang lain?" tanyaku.
"Aku pernah membuat gigi Darto terlepas dari mulutnya dengan tinjuku," sahut Amin sembari terkekeh.
"Aku juga pernah menendangmu hingga kau koma selama 2 hari!" sanggah Darto tak mau kalah.
"Koma apanya? Kau menendangku tepat di pahaku hingga membuatku pincang dan tidak bisa bekerja lagi sialan!" imbuh Amin dengan nada bicaranya yang semakin tinggi lagi.
"Baiklah, baiklah! Aku anggap kalian bisa berkelahi. Kalau kamu Hadi?" aku menolehkan wajahku dan menatapnya serius.
"Mungkin aku bisa menduduki wajah mereka hingga kehabisan napas," ucap Hadi dengan tawa kecut sembari menggaruk kepalanya.
"Tak apa. Itu sudah cukup. Baiklah untuk sekarang aku anggap kalian semua bisa berkelahi untuk menghajar para zombie itu jika mereka tiba-tiba datang," terangku.
"Para zombie? B-bukannya kita sudah agak jauh ya dari area kereta?" tanya Hadi nampak panik.
"Benar. Tetapi faktanya berkata lain," jawabku sembari menoleh ke arah mayat zombie yang tergeletak tak jauh dari tempat kami duduk kami. Mereka bertiga nampak terkejut melihat mayat zombie yang terkapar dengan mengenaskan.
"B-bagaimana seorang zombie berhasil mencapai tempat ini?" tanya Hadi yang terlihat semakin panik.
"Mudah saja. Mereka melihat cahaya yang terpancar di mata kalian semua," ucapku tenang. Hadi nampak menelan ludahnya dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
"B-bola mata maksudmu?" tanya Hadi lagi. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
"Sebenarnya aku pernah mengalami kejadian ini 10 tahun yang lalu. Dan inilah kali keduaku tersesat di hutan yang sama, tempatku tersesat dahulu," jawabku dengan suara serak. Mereka nampak terdiam, bahkan serangga yang bernyanyi pun terdengar nyaring di telingaku.
"Begitu ya? Pantas saja kau tidak terlihat gentar menghadapi peristiwa di kereta tadi," puji Darto. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.
"Tidak juga. Aku juga takut sama seperti kalian. Hanya saja, mungkin aku sudah pernah melihat peristiwa mengerikan semacam itu hingga membuatku terbiasa dengan mereka," jawabku singkat namun yakin. Mereka hanya memandangku tanpa sepatah kata pun terucap.
"Oiya, aku ingin kalian tidak membuang tenaga kalian untuk berteriak hanya untuk menyampaikan informasi jika kita diharuskan berpencar atau pada situasi yang mengharuskan kita untuk bertingkah senyap. Aku ingin kalian menghapal isyarat tangan sederhana ini," perintahku.
"Kenapa harus begitu?" tanya Darto.
"Zombie-zombie itu setidaknya terbagi menjadi 2 jenis. Yang pertama tipe melihat, dan yang kedua tipe mendengar. Jika kita akan melawan zombie dengan tipe melihat, maka kelemahan mereka ada di mata mereka yang sangat peka terhadap cahaya. Sampai sini paham?" aku menggantungkan ucapanku agar dapat lebih dimengerti oleh kedua pria paruh baya itu. Mereka pun mengangguk dengan mantab.
"Oke! Tipe yang kedua adalah tipe mendengar. Zombie ini cukup berbahaya karena mereka bisa saja muncul dari dalam semak karena mereka tidak terhalang oleh gelapnya bayangan ataupun rimbunnya pepohonan. Aku ingin jika kalian menghadapi zombie tipe ini kalian harus bertingkah se-hening mungkin dan minim pergerakan yang menimbulkan kegaduhan," imbuhku. Mereka nampak mengangguk paham. Aku tersenyum lega kepada mereka semua.
Aku pun mulai mengajari isyarat tangan sederhana kepada mereka agar lebih memudahkanku jikalau sewaktu-waktu mengharuskan menggunakannya. Mereka nampak antusias walau sesekali salah gerakan dan salah paham akan arti yang diberikan. Aku sesekali menepuk keningku sebab tingkah mereka yang menurutku masih kekanak-kanakan.
Hingga pada akhirnya, seluruh isyarat sederhana yang menurutku penting untuk dipelajari sudah sepenuhnya mereka mengingatnya. Aku juga menginstruksikan jika kita diharuskan berpencar, tim yang harus dibagi adalah aku bersama Amin, kemudian Hadi, Darto dan Shima pergi bersama-sama.
Alasan aku memilih Amin setim denganku adalah tingkahnya yang sulit diprediksi dan terlalu mengandalkan sikapnya yang terlalu percaya diri menjadikanku lebih mudah untuk membantu menembak para zombie itu dari belakang.
Kemudian tim kedua yang diisi oleh Darto, Shima dan Hadi aku kumpulkan mereka dalam satu tim karena Darto memiliki sifat yang lebih tenang dari Amin. Kemudian dengan kemampuan beladiri Shima, bisa digunakan untuk melindungi Hadi yang memang kurang bisa berkelahi untuk melindungi dirinya sendiri.
Yah itu hanyalah rencana cadangan yang hanya digunakan jika situasi menjadi tidak memungkinkan. Tetapi rencana utamanya adalah tetap bersama dan saling melindungi satu sama lain. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang terus diinstruksikan oleh orang tua itu, pada waktu itu.