Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Puas bermain di hotel
Langit tampak mendung ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan lobi apartemen Raline. Pintu dibuka dari dalam, menampakkan sosok gadis muda yang mengenakan kacamata hitam dan hoodie besar untuk menutupi sebagian wajahnya. Di belakangnya, seorang pria berjas rapi turun lebih dulu, membukakan pintu dan membantu Raline turun dengan penuh kehati-hatian. Itu adalah Calvin.
Wajah mereka sama-sama tampak puas meski lelah. Dua hari mereka habiskan bersama di hotel bintang lima, jauh dari siapa pun yang mengenal mereka. Dua hari penuh rahasia dan kebebasan, tanpa status, tanpa gelar, hanya sebagai dua manusia yang menginginkan satu sama lain. Tapi kini, waktu itu telah habis. Raline harus kembali.
Sebelum berpisah di koridor lantai unit Raline, Calvin menahan tangan gadis itu dan menariknya ke pelukannya sejenak. "Ingat, Raline," bisiknya serak, "Kamu harus benar-benar menjauhi Harry. Jangan beri dia harapan lagi."
Raline hanya menatap wajah pria itu, bibirnya sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Aku tahu, Daddy…"
Calvin tersenyum tipis, lalu mencium bibir Raline sekali lagi—sebentar tapi dalam, seperti tanda bahwa mereka baru saja menutup satu akhir pekan penuh dosa dan gairah. Setelah itu, ia melangkah mundur dan pergi begitu saja, meninggalkan Raline berdiri sendiri di depan pintu unitnya.
Begitu masuk ke dalam, Raline mengembuskan napas panjang. Ia langsung menanggalkan hoodie-nya, melemparkan tasnya ke sofa, lalu berjalan ke arah cermin besar di ruang tengah. Ia membuka sedikit kerah kausnya dan mendesah pelan saat melihat bekas merah di lehernya yang cukup mencolok.
"Astaga… bisa-bisanya dia ninggalin jejak segede ini…"
Tanpa buang waktu, Raline langsung ke kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya, menggosok perlahan bagian-bagian yang menurutnya mencurigakan, lalu mengenakan pakaian bersih. Di hadapan meja rias, ia mulai mengoleskan concealer dan foundation untuk menutupi bekas merah itu, sambil terus berpikir apa yang akan ia katakan pada Harry jika pria itu tiba-tiba muncul.
Yang tak ia tahu, di sudut rak buku dekat televisi, di balik lampu tidur, bahkan di pot tanaman hias, tersembunyi beberapa alat kecil yang nyaris tak terlihat. Kamera mini dan mikrofon tersembunyi, terpasang rapi dan aktif merekam segala aktivitasnya.
Harry, di tempat lain, tengah duduk dengan wajah dingin di hadapan layar laptopnya. Ia mengatur headset di telinganya, memperbesar tampilan layar yang menayangkan bagian dalam unit Raline secara real-time. Ia melihat semuanya. Pelukan Raline dan pria itu, ciuman mereka di depan pintu, lalu gumaman Raline di dalam kamar.
Saat mendengar kata “Daddy”, rahang Harry mengeras. Matanya memerah, napasnya memburu. Ia tahu siapa orang itu. Ia sudah menduga, tapi melihat dan mendengar semuanya dengan mata dan telinga sendiri membuatnya nyaris tak bisa menahan emosi.
"Papa…" gumamnya getir. "Jadi benar…"
Tangannya terkepal di atas meja, penuh amarah, tapi juga patah hati. Ia memandangi wajah Raline di layar—wanita yang dulu ingin ia nikahi, kini malah membuatnya merasa seperti pecundang.
Sementara itu, di apartemen, Raline sudah selesai berdandan. Ia beranjak ke dapur, membuat teh hangat, lalu duduk di sofa menyalakan TV tanpa benar-benar menontonnya. Ia tidak menyadari bahwa segala kata, gerakan, bahkan desah napasnya, kini sedang disaksikan oleh pria yang sedang ia tipu.
Dan semuanya... baru saja dimulai.
÷÷÷
Malam itu, hujan turun pelan, membasahi atap rumah mewah yang berdiri megah di tengah perumahan elit. Suara mobil terdengar di halaman depan, menandakan seseorang baru saja tiba. Pintu utama terbuka dengan cepat dan seorang wanita paruh baya segera menyambut sosok yang baru masuk dengan wajah penuh senyum dan rindu.
"Mas Calvin!" seru Ziva, istrinya, sekaligus ibu dari putra mereka, Harry. "Akhirnya kamu pulang juga. Hampir seminggu kamu nggak kelihatan… Aku khawatir."
Namun, respons yang ia dapat sangat berbeda dari kehangatan yang ia harapkan. Calvin hanya melepas jasnya dengan cepat, menyerahkannya ke tangan Ziva tanpa menatap wajahnya.
"Cucikan ini! Dan tolong, buatkan aku teh panas! Aku capek banget," titah Calvin.
Ziva terdiam sejenak, kecewa. Tapi seperti biasa, ia menuruti permintaan suaminya. Sudah bertahun-tahun ia terbiasa dengan sikap dingin itu, terlebih belakangan ini Calvin makin sering pergi tanpa kabar dan pulang dengan wajah murung.
Calvin melangkah masuk ke ruang tengah, duduk di sofa panjang sambil mengusap wajahnya. Matanya sayu, bukan karena lelah fisik, tapi karena pikirannya terus terbayang sosok Raline dan kecanggungan yang ia alami saat terakhir bertemu dengannya. Namun, sebelum ia bisa terlalu larut dalam pikiran itu, suara langkah kaki membuatnya menoleh.
Harry muncul dari tangga atas, mengenakan kaos santai dan celana training. Raut wajahnya tampak tenang, nyaris polos, seolah ia tak tahu apa pun tentang apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini.
"Pa," sapa Harry sembari mendekat, duduk di sofa seberang ayahnya. "Baru pulang? Gimana bisnisnya di luar kota? Lancar?"
Calvin menoleh, wajahnya tetap tenang, nyaris tanpa raut bersalah. "Lancar. Beberapa klien penting akhirnya sepakat buat kerja sama. Tapi ya itu, capek banget. Nggak gampang urusin orang-orang rakus itu."
Harry mengangguk pelan. "Pantas, Papa lama banget nggak pulang. Mama nungguin terus, lho."
Calvin hanya mengangguk sekenanya. "Papa juga nggak bisa terus-terusan di rumah. Banyak yang harus diurus."
Dari balik punggung sofa, mata Harry menatap tajam ayahnya. Ia tahu semua yang baru saja diucapkan adalah kebohongan. Ia tahu Calvin tidak pergi untuk bisnis, dan ia tahu pria itu baru saja menghabiskan dua hari terakhir di hotel... bersama Raline.
Namun, Harry tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia hanya mengangguk, lalu mengalihkan pandangan ke arah meja. "Oh ya, Pa. Aku lagi bikin program kecil buat pelacakan dokumen rahasia perusahaan. Mungkin bisa berguna nanti. Kalau Papa tertarik, aku bisa tunjukin."
Calvin melirik Harry sekilas. "Nanti aja. Papa lagi nggak fokus."
Harry tersenyum tipis. "Baiklah."
Tak lama, Ziva datang membawa secangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. "Ini tehnya, Mas. Udah aku tambahkan madu, biar badanmu lebih enak."
Calvin hanya mengangguk singkat, lalu mengambil cangkir itu tanpa mengucap terima kasih. Ziva kembali melangkah mundur, menahan kecewa di balik senyumnya.
Di sisi lain ruangan, Harry masih mengamati ayahnya. Dalam hatinya, ia merasa geli karena Calvin tak tahu bahwa dirinya tengah berada dalam pengawasan. Harry telah memasang pelacak di pakaian Raline, menyadap suara di apartemennya, bahkan kini sedang merancang strategi baru untuk memastikan sejauh mana hubungan keduanya berjalan.
Dan ia tidak akan gegabah. Ia ingin semua bukti terkumpul. Karena ketika saatnya tiba, ia akan menghancurkan mereka—bukan hanya karena mereka mengkhianatinya, tapi karena mereka meremehkannya.
"Kalian kira bisa membohongi aku selamanya?" batin Harry dengan dingin. "Tunggu saja."