Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdebar
Damian menatap Shanna dengan sorot mata yang lebih lembut.
"Semuanya terjadi tiba-tiba, bukan cuma buat kamu, Shan, tapi buat saya juga," ucapnya pelan.
Shanna menoleh, menatap suaminya yang kini terlihat lebih terbuka.
"Saya gak terbiasa berkompromi dengan orang lain, apalagi berbagi keputusan," lanjut Damian. "Saya tumbuh dengan didikan bahwa kepala keluarga harus bisa mengambil keputusan dalam keadaan apa pun, tanpa terlalu mempertimbangkan perasaan orang lain. Saya diajarkan untuk menganalisis situasi dan memilih yang terbaik berdasarkan logika dan keadaan yang ada."
Ia menarik napas, lalu menatap Shanna lebih dalam.
"Itu sebabnya tadi saya memutuskan begitu saja. Dari sudut pandang saya, dengan kondisi kamu sekarang, cuti kuliah adalah pilihan terbaik. Saya hanya berpikir soal bagaimana memastikan kamu dan bayi kita tetap aman."
Bayi kita. Hati Shanna selalu menghangat ketika mendengar Damian mengatakannya.
Shanna terdiam, mendengarkan dengan seksama.
"Tapi mungkin saya salah," lanjut Damian. "Saya gak melihat faktor lain dalam keputusan saya. Saya gak mempertimbangkan perasaan kamu, keinginan kamu, dan apa yang benar-benar penting buat kamu."
Damian menundukkan kepalanya sedikit, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan, "Saya masih belajar, Shan. Saya gak mau kamu merasa dikekang atau gak punya suara dalam hidup kamu sendiri."
"Aku ngerti, Mas. Kamu pasti mikirin yang terbaik buat aku dan bayi ini," ujar Shanna dengan suara lembut. "Tapi aku sanggup, Mas. Aku bisa tahan. Kalaupun nanti aku udah gak mampu lagi, aku gak akan maksain diri. Aku pasti mundur."
Damian menatap Shanna dalam-dalam. "Bayi kita, Shan. Tanamkan dalam pikiran kamu, ini bayi kita."
Shanna mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Iya, bayi kita, Mas. Aku yakin dia juga kuat," ucapnya sambil mengelus perutnya dengan penuh kasih.
Damian menarik napas dalam, mencoba menekan egonya. Ia tahu betapa pentingnya hal ini bagi Shanna, dan untuk pertama kalinya, ia memilih untuk percaya pada istrinya.
"Baiklah, Shanna. Kalau itu yang kamu mau, kalau kamu siap dan kamu tahu batas kamu, aku izinin kamu lanjut kuliah," ucapnya akhirnya.
Shanna menatap Damian dengan mata berbinar. Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih suaminya dalam sebuah pelukan erat.
"Terima kasih, Mas!"
Damian seketika membeku. Ingin membalas pelukan, tapi tangannya hanya menggantung di udara, bingung harus berbuat apa.
Menyadari hal itu, Shanna segera melepas pelukannya dengan sedikit canggung. "Eh, maaf, Mas. Aku refleks."
Damian berdeham, berusaha menutupi rasa groginya. "Gak apa-apa, Shan. Hmm… yaudah, saya mau ke kamar mandi dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia buru-buru melangkah pergi, meninggalkan Shanna yang kini tersenyum lebar.
Begitu Damian menghilang di balik pintu, Shanna menyandarkan diri di sofa dan mengepalkan tangannya dengan semangat.
"Yes... yes!" bisiknya penuh kemenangan.
Damian berdiri di bawah pancuran air, membiarkan air hangat mengalir di atas kepalanya. Tangannya refleks menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang lebih cepat dari biasanya.
"Kenapa jantung gue berdebar begini? Ini palpitasi gak, sih?" pikirnya.
Keningnya berkerut, mencoba menganalisis apa yang terjadi.
"Gue gak kena takikardia kan? Apa gue harus cek EKG (Elektrokardiografi) atau Holter monitor buat memastikan?" gumamnya dalam hati, mulai merasa sedikit khawatir.
Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi rasa aneh di dadanya masih ada.
Setelah selesai mandi, Damian menghubungi Willy. Dengan handuk kecil masih melilit di kepalanya, ia menempelkan ponsel di telinga kanan.
"Kenapa, Bos?" tanya Willy di seberang.
"Gue gak enak badan. Bisa reservasi ke rumah sakit buat gue besok?"
"Lah, lo kenapa, Dam?"
"Dada gue berdebar," jawab Damian singkat.
"Tiba-tiba banget? Kecapean kali."
"Gak tahu, barusan aja tiba-tiba."
"Awalnya gimana?"
"Gak gimana-gimana. Tadi gue lagi ngobrol sama Shanna, terus dia tiba-tiba meluk gue. Gue sesek nahan napas, terus udahnya dada gue berdebar. Apa gue hipoksia atau apalah?" Damian mulai berpikir jauh.
Di seberang, Willy mendengus.
"Dam, Dam, udah, lo sikosomatis deh. Itu bukan penyakit, Dam. Lo lagi kena yang namanya jatuh cinta. Salah satu gejalanya ya itu yang lo rasain sekarang."
Hening sesaat. Lalu tiba-tiba saja Willy terbahak.
"Lo gak mati karena serangan jantung kan, Dam? Lo masih hidup, kan?"
Damian mengerutkan kening. "Bentar. Jadi gue gak kenapa-napa? Ini cuma karena gue jatuh cinta maksud lo?"
"Iya! Lo gak ngerti? Anjir, Dam! Gue kira lo gak sebodoh ini!" Willy masih tertawa di seberang.
Akhirnya, Damian menyadari bahwa dirinya terlalu berlebihan dalam merespons perasaannya.
"Syukur deh kalau cuma jatuh cinta. Obatnya tinggal Shanna. Coba kalau beneran sakit? Mana gue masih muda, anak gue belum lahir," gumam Damian, menghela napas lega.
"Udah, udah, jangan lebay lo," sahut Willy. "Mending sekarang lo istirahat. Gue lagi nggak mau diganggu, mau ke klub dulu."
"Taubat lo, Wil," Damian menimpali.
"Heh, jangan mentang-mentang lo udah married jadi ceramahin gue. Gue masih single, butuh hiburan, butuh penyaluran," ujar Willy sambil tertawa kecil.
"Lah, terus gue gimana?"
"Ya sama bini lo lah, anjir! Lo sekarang udah punya istri, jadi gue nggak bisa ngajak-ngajak lagi. Maaf banget ini mah," Willy terkekeh.
Damian ikut tertawa. "Haha, next time deh. Kayaknya gue masih harus ‘puasa’ dulu sampai sembilan bulan ke depan."
"Yang sabar ya, bro," kata Willy sambil menutup telepon.
Damian merasa lebih tenang setelah mendengar penjelasan Willy. Sambil mengenakan pakaian, ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya. Perlahan, ia menyentuh dadanya.
"Shanna… kok bisa gue suka sama anak manja kayak lo, Shan?" gumamnya pelan.
Jarinya masih bertumpu di dadanya, merasakan detak jantung yang masih berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Apa mungkin secepat ini? Atau sebenarnya gue udah suka dari awal kita ketemu?" pikirnya, mencoba mencari jawaban atas perasaan yang tiba-tiba terasa begitu jelas.
Ingatan itu kembali. Pertama kali ia bertemu Shanna di kampus—gadis itu selalu tampak ceria, penuh percaya diri, dan tanpa disadari, sudah menarik perhatiannya sejak dulu.
Hubungan ini mereka mulai dengan keterpaksaan, tanpa ruang untuk memahami perasaan masing-masing. Tapi kini, setelah melalui berbagai kejadian, Damian mulai melihat Shanna dengan cara yang berbeda.
"Gimana kalau gue benar-benar jatuh cinta sama dia?" pikirnya.
Damian tersenyum kecil. Mungkin, ini bukan tentang seberapa cepat perasaan itu muncul, tapi seberapa dalam ia bisa merasakannya sekarang.
Saat kembali duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh Shanna. Ia mengusap wajahnya, lalu tertawa kecil. "Gue gak nyangka, ternyata Shanna yang bisa bikin jantung gue kerja lembur begini."