NovelToon NovelToon
Bukan Sekedar Teman Ranjang

Bukan Sekedar Teman Ranjang

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Dokter / Pernikahan rahasia
Popularitas:39.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Lestary

Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?

Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 : Between Us

Sesampainya di apartemen, Luna baru saja mengganti sepatunya ketika ia dikejutkan oleh Xavier yang berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang.

"Luna, apa kau tidak melihat berapa banyak panggilan dariku?" nada suara Xavier terdengar panik, hampir seperti teguran.

Luna menghela napas dan berjalan santai menuju sofa. Sambil menjatuhkan tubuhnya ke bantalan empuk, ia mengeluarkan ponselnya. Benar saja, layar ponselnya dipenuhi pesan dan panggilan tak terjawab dari Xavier. "Aku terlalu sibuk, tidak sempat memegang ponsel," jawabnya santai, seolah tak terpengaruh oleh nada khawatir Xavier.

Xavier menatapnya dengan sorot mata tajam, lalu menghela napas panjang. Ia berdiri diam, kedua tangannya terlipat di dada, tampak gelisah. Luna yang sedang sibuk memeriksa pesan akhirnya menoleh ke arah Xavier, penasaran dengan sikapnya.

"Apa yang membuatmu sepanik itu?" tanyanya sambil mengernyitkan alis.

"Lupakan," jawab Xavier dingin, namun jelas kesal. "Aku saja yang terlalu berlebihan, mengkhawatirkan orang yang salah."

Luna tertawa mendengar jawabannya. Kekehannya begitu lepas hingga membuat Xavier semakin kesal.

"Hanya karena hujan deras, kau begitu paranoid?" ujar Luna sambil masih berusaha menahan tawanya.

Xavier hanya diam, namun Luna bisa menangkap perubahan kecil di wajahnya. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesal. Ia mencoba menghentikan tawa, merasa bahwa ada hal serius yang mungkin Xavier sembunyikan.

"Kau menertawakanku," kata Xavier akhirnya, duduk di sofa di samping Luna. Matanya menatap lurus ke arahnya, serius namun tidak sepenuhnya marah.

"Baiklah, aku berhenti tertawa," jawab Luna dengan nada lembut.

Keduanya terdiam sejenak, hanya suara hujan deras di luar yang mengisi ruang apartemen. Luna menyadari bahwa Xavier tampak lebih murung dari biasanya.

"Ada apa sebenarnya? Kau terlihat tidak seperti biasanya," tanya Luna pelan, mencoba mencairkan suasana.

Xavier menatap jendela, matanya menerawang ke luar seolah mencari sesuatu di balik rintik hujan. "Aku tidak suka hujan," katanya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.

"Kenapa?"

"Ada... ada kejadian buruk di masa lalu," Xavier menarik napas panjang, seolah mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Aku kehilangan seseorang saat hujan deras seperti ini."

Luna terkejut, tidak menyangka bahwa ada cerita mendalam di balik sikap paranoid Xavier terhadap hujan.

"Kehilangan siapa?"

Xavier menggeleng pelan. "Bukan sesuatu yang ingin kubicarakan sekarang," katanya singkat, mencoba menghindari pertanyaan Luna.

Luna menatap Xavier dengan sorot penuh empati. Ia tidak ingin memaksa, tetapi keinginannya untuk memahami sahabatnya itu semakin besar.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi, kau tahu aku ada di sini jika kau ingin cerita, kan?"

Xavier hanya mengangguk kecil. Meskipun tidak menjawab langsung, kehadiran Luna yang hangat memberinya sedikit rasa tenang di tengah trauma yang mendadak kembali menghantuinya.

Hujan di luar masih terus mengguyur, tetapi di dalam apartemen, keduanya menikmati keheningan yang nyaman.

Xavier bangkit dari sofa dengan raut wajah yang dipenuhi penyesalan. Ia melangkah pelan menuju Luna, lalu duduk di sisi yang lebih dekat dengannya. Tanpa ragu, ia meraih tangan Luna dan menggenggamnya lembut.

"Aku minta maaf atas kejadian semalam," ucap Xavier lirih, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan deras di luar. Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan Luna.

Luna menghela napas panjang. "Ini bukan sepenuhnya salahmu, Xavier. Aku juga salah. Entah bagaimana aku bisa begitu teledor hingga melupakan pengamannya."

Xavier mengangkat kepalanya perlahan, menatap Luna dengan kesungguhan yang memancar dari matanya. "Aku benar-benar akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi, Luna. Aku serius!" katanya, menggenggam tangan Luna lebih erat, seolah ingin meyakinkan perempuan itu akan ketulusannya.

Keheningan menyelimuti mereka. Tatapan mereka bertemu, beradu dalam keheningan yang sulit dijabarkan. Mata Xavier penuh dengan tekad, sementara Luna mencoba menutupi perasaan campur aduk yang mengalir dalam dirinya.

Luna akhirnya memecah keheningan dengan senyum kecil. "Tidak akan ada yang terjadi, Xavier. Aku yakin," katanya dengan nada lembut, meski di dalam hatinya ada sedikit keraguan yang ia coba tutupi.

"Ke depannya, mungkin kita hanya perlu lebih hati-hati." Luna tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang.

Xavier tersenyum samar, meski masih ada kegelisahan di matanya. "Aku akan memastikan itu, Luna. Aku tak ingin membuatmu merasa cemas lagi."

Xavier bangkit dari duduknya, mengusap tangannya seolah bersiap melakukan sesuatu. "Bagaimana kalau aku masakkan sesuatu untukmu?" tawarnya, menatap Luna dengan ekspresi penuh antusias.

Luna mengangkat sebelah alis, tersenyum tipis. "Kau? Memasak? Jangan bercanda, Xavier. Aku tak yakin perutku akan baik-baik saja setelahnya."

Xavier tertawa kecil, lalu menepuk dadanya dengan bangga. "Hei, jangan meremehkanku. Aku mungkin tidak sehebat koki profesional, tapi aku tahu cara membuat makanan yang enak. Kau akan menyesal telah meragukanku."

Luna tersenyum lebar, lalu melipat tangannya di dada, tampak menantang. "Baiklah, buktikan. Tapi ingat, aku akan jujur memberikan penilaian, bahkan jika itu berarti menghancurkan egomu."

"Deal," jawab Xavier singkat, melangkah ke dapur dengan semangat.

Luna mengikuti Xavier, duduk di meja dapur sambil memperhatikan pria itu yang sibuk mengeluarkan bahan-bahan dari lemari. "Jadi, apa menu andalanmu, Chef Xavier?" goda Luna, menyandarkan dagu di tangannya.

Xavier menoleh, tersenyum penuh percaya diri. "Omelet dan roti panggang. Kombinasi klasik, tetapi dijamin membuatmu terkesan."

Luna tertawa terbahak, hampir terjatuh dari kursinya. "Omelet? Itu bahkan bukan level masakan. Aku bisa membuatnya sambil memejamkan mata!"

"Tertawalah sekarang, tapi lihat nanti," jawab Xavier santai sambil mulai memecahkan telur ke dalam mangkuk.

Obrolan mereka mengalir dengan ringan. Sesekali Luna melemparkan candaan, seperti bagaimana cara Xavier memegang spatula yang menurutnya terlalu kaku.

"Kau terlihat seperti dokter yang tersesat di dapur," ujar Luna, menggoda.

Xavier tertawa lepas, nyaris menjatuhkan penggorengannya. "Dan kau terlihat seperti pasien yang terlalu banyak bicara."

Luna terkekeh, suasana apartemen yang tadinya terasa sunyi kini dipenuhi dengan tawa mereka. Hujan di luar jendela terus mengguyur lebat, tetapi di dalam ruangan, kehangatan terasa menggantikan hawa dingin.

Setelah beberapa menit, Xavier menyajikan hasil masakannya di atas meja. Dua piring omelet yang tampak sederhana, ditemani roti panggang yang sedikit gosong di pinggirnya.

Luna menatap piring itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Baiklah, saatnya aku menjadi juri. Siapkan hatimu, Xavier."

Xavier hanya tersenyum lebar. "Silakan, Nyonya Juri."

Luna mengambil satu suapan, mengunyah perlahan sambil berpura-pura berpikir keras. "Hmm... aku harus mengakui," Luna menatap Xavier serius, membuat pria itu sedikit tegang.

"Apa?" Xavier mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran.

"Ini... lebih enak dari yang kukira." Luna akhirnya tersenyum, lalu tertawa kecil saat melihat ekspresi lega di wajah Xavier.

"Kurasa aku berhasil membungkam kritikus masakan," kata Xavier sambil menyandarkan tubuhnya di kursi dengan puas.

"Kali ini saja, Xavier," balas Luna, tertawa kecil.

Mereka melanjutkan makan sambil terus berbincang. Hujan di luar perlahan mereda, tetapi kehangatan di antara mereka terus bertahan, menyisakan momen sederhana yang penuh arti di tengah hubungan yang semakin sulit untuk mereka pahami.

To Be Continued>>>

1
Rahmawati
mama anet gk semenyeramkan itu ternyata, dia mau menerima luna
Nengsih Irawati
Padahal mama nya baik banget,,tau gitu dari dulu aja
Nengsih Irawati
Kan apa yg ditakutkan terjadi juga,,,ah,km ko g bilang sama Xavier sih Luna kalo Zora enggak waras
Nengsih Irawati
Semoga aja Zora g berniat jahat
Nengsih Irawati
belum terpecahkan,,, sabar y luna
Moh Zaini Arief
tetap semangat demi kita yg setia menunggu upnya/Rose//Rose/
Ni made Wartini
lanjut segera rhor
Nengsih Irawati
betul banget emang perlu km cari tau seluk beluknya Zora
Moh Zaini Arief
semangat terus kita tunggu selalu upnya
Rahmawati
terima kasih udah crazy up thor
Rahmawati
hmm untung gercep cek cctv
Rahmawati
aduh gmn Luna kena tusuk zora, semoga janinnya gk knpa napa
Rahmawati
semoga zora sadar
Rahmawati
ini zora korban pelecehan ayahnya sendiri ato gimana sih, duhhh jd penasaran
Rahmawati
tetep hati hati lun, takutnya ini jebakan zora
Linda Liddia
crazy up thor..
semangaaattt ya thor
Linda Liddia
Hati2 lu luna tar lu dibunuh sama zora krn lu tau rahasia kelam masa lalunya..Bukannya lu ceritain dulu sm xavier yg ada lu langsung nemuin si zora
徐梦
Ya ampun selalu setia nungguin updatenya😍
Moh Zaini Arief
semoga kedepannya mereka bahagia,dan buat zora bongkar kasusnya sampai selesai thour
Moh Zaini Arief
paling suka tokoh utama yg tidak lemah ,mudah di tindas bahkan kadang di luar nalar seru ayo lanjutka thour aku nanti setiap up mu love se kebon😘😘😘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!