Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Pertanyaan Jebakan
Pukul 19:00.
Sebuah mobil SUV hitam mengkilap berhenti tepat di depan gerbang kos Yuni.
Mesinnya menderu halus, seperti binatang buas yang sedang tidur.
Yuni keluar dari gerbang.
Dia memakai dress barunya.
Sebuah gaun midi berwarna navy berbahan satin sutra. Potongannya sederhana, sopan, tapi jelas mahal.
Dia memadukannya dengan heels warna nude setinggi 5 cm.
Dia merasa seperti anak kecil yang sedang bermain dandan-dandanan dengan baju ibunya.
Dia masuk ke mobil.
Interior mobil itu berbau kulit dan cologne Juan.
Juan duduk di balik kemudi.
Dia menoleh.
Matanya menyapu penampilan Yuni dari atas ke bawah.
Lama.
Yuni menahan napas. "Gimana?"
"Berapa?" tanya Juan.
"Hah?"
"Harganya. Berapa?"
"Tiga juta lima ratus," cicit Yuni. "Itu... kemahalan?"
Juan mengangguk pelan. "Murah. Tapi kelihatan mahal di kamu. Bagus. Warnanya pas. Oma suka biru tua. Terlihat intelektual."
Yuni menghela napas lega. Ujian pertama lolos.
"Sepatunya?" tanya Yuni.
"Sedikit kaku. Kamu nggak biasa pakai heels?"
"Biasanya sneakers sepuluh ribu langkah."
"Biasakan malam ini. Di vila, kamu harus pakai itu terus saat makan malam."
Juan menjalankan mobilnya.
"Kita mau ke mana?" tanya Yuni.
"Tempat tenang. Kita butuh simulasi."
Mereka sampai di sebuah lounge eksklusif di lantai atas sebuah hotel bintang lima.
Tempatnya sepi, temaram, dan memutar musik jazz instrumental.
Mereka duduk di sofa sudut yang terpencil.
Pelayan datang membawakan dua gelas air mineral (Juan tidak memesan alkohol, dia bilang dia butuh fokus).
"Oke," kata Juan. Dia meletakkan ponselnya di meja, menyalakan fitur perekam suara.
"Kenapa direkam?"
"Buat evaluasi," jawab Juan.
Dia menatap Yuni. Tatapannya berubah.
Menjadi tajam. Mengintimidasi.
Ini bukan Juan si teman belajar di perpus. Ini Juan si pewaris perusahaan.
"Sekarang," kata Juan. "Lupakan fakta sampah soal warna sikat gigi. Itu level TK."
"Malam ini kita masuk level Universitas."
"Pertanyaan jebakan."
Yuni menegakkan punggungnya. "Siap."
"Pertanyaan satu," kata Juan, suaranya dingin.
"Yuni, Juan itu kan sibuk banget sama organisasi dan kuliahnya. Kamu nggak merasa kesepian?"
Yuni berpikir sejenak. Itu pertanyaan wajar.
"Nggak," jawab Yuni. "Kan aku juga sibuk. Aku punya kuliah, punya shift perpus..."
"Salah," potong Juan.
"Kenapa salah? Itu jujur."
"Itu jawaban defensif," kata Juan. "Kalau kamu jawab begitu, Tante Lisa—adik ayahku yang paling nyinyir—bakal bilang, 'Oh, jadi kalian pacaran tapi jalan sendiri-sendiri? Apa gunanya?'."
Yuni terdiam. "Terus aku harus jawab apa?"
"Jawab dengan memuji," kata Juan. "Bilang: 'Memang sibuk, Tante. Tapi Juan selalu usahain telepon sebelum tidur, secapek apapun dia. Itu yang bikin aku hargai waktu kami berdua'."
Yuni mencatat dalam otaknya. Sentimental. Puji Juan.
"Oke. Pertanyaan dua."
Juan memajukan tubuhnya.
"Yuni, kamu kan dari keluarga sederhana. Kaget nggak liat gaya hidup Juan yang boros?"
Pertanyaan itu menohok.
Yuni merasa tersinggung. "Itu... menghina."
"Memang," kata Juan. "Ibuku akan tanya itu. Dia suka tes mental orang."
"Kalau kamu marah, kamu kalah. Kalau kamu minder, kamu kalah."
"Jawab."
Yuni menarik napas. Menekan rasa tersinggungnya.
"Kaget sih, Tante. Tapi... uang kan bukan segalanya?"
"Klise," cibir Juan. "Membosankan."
"Terus apa?!" Yuni mulai kesal.
"Jawab dengan elegan," kata Juan. "Bilang: 'Gaya hidup itu pilihan, Tante. Saya kagum Juan bisa kelola fasilitas yang dia punya buat hal positif, kayak traktir teman-teman UKM atau dukung acara kampus. Dia nggak cuma boros, dia dermawan'."
Yuni melongo.
"Kamu... memutarbalikkan fakta boros jadi dermawan?"
"Itu namanya framing, Sayang. Belajar."
Yuni menggelengkan kepala. Dunia orang kaya benar-benar panggung sandiwara.
"Pertanyaan tiga. Ini yang paling bahaya. Dari Oma."
Juan menatap mata Yuni lekat-lekat.
"Yuni... apa kekurangan Juan yang paling kamu benci?"
Yuni terdiam.
Dia bisa menyebutkan seratus.
Arogan. Manipulatif. Suka memerintah. Menganggap uang bisa selesaikan masalah.
Tapi dia tidak bisa mengatakan itu pada Oma.
"Dia... perfeksionis?" coba Yuni.
"Itu bukan kekurangan, itu pujian terselubung. Oma benci penjilat."
"Dia... keras kepala?"
"Hampir. Tapi kurang spesifik."
Juan menghela napas.
"Yuni, biar jawabanmu meyakinkan, kamu harus jujur. Setengah jujur."
"Apa yang beneran bikin kamu kesal sama aku? Sekarang. Detik ini."
Yuni menatap Juan.
Melihat wajah tampannya yang lelah namun tetap menuntut kesempurnaan.
"Kamu... nggak pernah nanya kabar aku," kata Yuni pelan.
Juan terdiam. Alisnya terangkat.
"Maksudnya?"
"Kamu selalu nanya 'posisi?', 'sudah hafal?', 'baju mana?'. Kamu nggak pernah nanya... 'kamu capek nggak?', 'kamu makan belum?'."
"Kamu memperlakukan orang kayak aset. Bukan manusia."
Suasana di meja itu hening.
Hanya suara denting gelas dari meja lain.
Juan menatap Yuni lama.
Ekspresinya tidak terbaca.
Lalu, perlahan, sudut bibirnya terangkat.
"Bagus," bisiknya.
"Apa?"
"Itu jawabannya."
"Hah?"
"Bilang ke Oma: 'Juan itu kadang terlalu fokus sama tujuan, Oma. Sampai dia lupa kalau orang di sekelilingnya itu manusia yang punya perasaan. Dia kadang lupa nanya kabar, karena dia sibuk mikirin solusi'."
"Itu jawaban yang sempurna."
"Kenapa?"
"Karena itu benar," kata Juan. "Oma tahu aku begitu. Ayahku begitu. Kakekku begitu."
"Kalau kamu jawab itu, Oma akan tahu kalau kamu benar-benar kenal aku."
Yuni merinding.
Juan baru saja mengubah keluhan tulus Yuni menjadi senjata skenario.
Dia jenius. Dan mengerikan.
"Pertanyaan terakhir," kata Juan.
"Di mana kamu melihat kalian berdua lima tahun lagi?"
Yuni menunduk.
Lima tahun lagi?
Kontrak ini cuma 30 hari.
Lima tahun lagi, Yuni mungkin sudah jadi editor buku, melupakan masa lalu ini.
Dan Juan... Juan mungkin sudah menikah dengan putri konglomerat lain.
"Nggak tahu," kata Yuni jujur. "Kita kan masih kuliah."
"Salah," tegas Juan. "Di keluarga kami, visi itu segalanya."
"Jawabannya adalah: 'Kami saling mendukung untuk mimpi masing-masing, Oma. Juan dengan perusahaannya, dan saya dengan tulisan saya. Kami berjalan beriringan, bukan saling tarik'."
"Diplomatis. Aman. Dan menunjukkan kalau kamu punya ambisi sendiri, nggak cuma mau nempel sama aku."
Juan mematikan rekaman di ponselnya.
"Cukup," katanya.
Dia bersandar di sofa. Memijat pangkal hidungnya.
Dia terlihat... sangat lelah.
Yuni memberanikan diri.
"Juan."
"Hm?"
"Kamu... capek?"
Juan membuka matanya. Dia menatap Yuni.
Pertanyaan sederhana itu. Pertanyaan yang tadi Yuni keluhkan tidak pernah Juan tanyakan.
"Lumayan," kata Juan jujur.
"Urusan UKM, kuis, persiapan ini... kepalaku mau pecah."
Yuni mengambil gelas air mineralnya.
"Minum dulu," katanya.
Juan menurut. Dia meminum airnya sampai habis.
"Makasih," katanya.
"Besok kita berangkat jam berapa?" tanya Yuni.
"Jam 8 pagi. Aku jemput."
"Perjalanannya 3 jam ke Puncak."
"Di mobil, kamu bisa tidur. Aku tahu kamu kurang tidur gara-gara ngafalin skenario bodoh ini."
Yuni tersenyum tipis. "Tahu diri juga kamu."
Juan tertawa kecil.
"Yuni."
"Ya?"
"Di sana nanti... di vila..."
Suara Juan merendah.
"Mungkin akan ada saat-saat di mana aku... bersikap brengsek."
"Maksudnya?"
"Di depan ayahku. Di depan sepupu-sepupuku."
"Aku harus pasang pertahanan. Dan kadang... pertahanan itu bikin aku jadi orang yang nggak menyenangkan."
"Jadi, aku minta maaf duluan."
"Anggap saja itu... akting."
Yuni menatap Juan.
Di balik cahaya temaram lounge, dia melihat ketakutan di mata Juan.
Ketakutan yang sama yang dia rasakan saat menghadapi "Tembok UKT".
Ketakutan untuk bertahan hidup.
"Oke," kata Yuni pelan.
"Aku akan anggap itu akting."
"Asal..."
"Asal apa?"
"Asal kamu jangan lupa bayar sisa kontraknya."
Juan tersenyum. Kali ini tulus.
"Deal."
Dia berdiri.
"Ayo pulang. Cinderella butuh tidur sebelum keretanya berubah jadi labu."
Mereka berjalan keluar dari hotel mewah itu.
Yuni dengan dress mahalnya, dan Juan dengan beban di pundaknya.
Besok, sandiwara sesungguhnya dimulai.