NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Azan subuh mulai menggema pelan dari kejauhan. Nay mengintip ke arah Umar yang masih terlelap, lalu dengan hati-hati menyentuh bahunya.

"Bangun, sayang," bisiknya seraya tersenyum tipis,

"Kita harus mandi besar."

Kenangan malam semalam mengalir hangat dalam pikirannya, detik-detik pertama mereka sebagai suami istri yang penuh makna. Saat Nay duduk di depan cermin, tangannya lembut menyisir rambut lurus dan panjangnya yang mulai kering. Rasa bahagia mengembang dalam dada saat mengingat Umar yang malam ini akhirnya melihat wajahnya tanpa hijab. Umar, dengan mata penuh kasih, mengulurkan tangan menyentuh rambutnya yang harum,

"Akhirnya aku bisa melihat wajah cantikmu dengan jelas," ucapnya lembut, membuat Nay semakin tenggelam dalam hangat cinta itu.

Nay menunduk pelan, pipinya merona saat mendengar kata-kata Umar. Senyum malu-malu terlukis di bibirnya, sehangat sinar matahari yang menyelinap lewat jendela pagi itu. Tatapan suaminya yang penuh kasih membuat dada Nay berdebar, hangat mengalir hingga ke ujung jari. Namun, ada gugup halus menyelinap di dalam hati, perasaan yang selalu muncul tiap kali mendapat perhatian begitu tulus dari Umar.

“Aku pun beruntung punya suami sebaik kamu, Umar,” sahut Nay, suaranya lembut, disertai senyum paling tulus yang bisa ia berikan.

Dalam diam, ia berjanji menjaga cinta itu, mensyukuri setiap detik kebahagiaan yang Tuhan karuniakan pada mereka. Tiba-tiba, suara Umar terdengar, lirih tapi penuh perhatian.

“Kamu sudah mandi, sayang?”

Nay terpaku sejenak, seolah hendak terbang di udara. Panggilan itu sangat jarang terlontar, namun kali ini terasa seperti hadiah paling manis. Ia membalas dengan senyum hangat yang tak mudah hilang dari wajahnya sepanjang hari.

Nay menatap Umar yang masih tidur pulas di ranjang empuk itu. Dia menghela napas pelan, lalu berkata lirih,

"Sudah, Mas! Maaf, aku duluan sholat Subuh, ya. Kalau nungguin kamu, takut kelamaan. Aku harus siapkan sarapan buat Bapak Ibu."

Umar membuka mata perlahan, lalu bangkit dengan tubuh atletis yang membuat Nay tak bisa lepas dari pandangannya. Lengannya yang kekar dan punggung tegap itu membuat hatinya berdebar. Selama ini, jarang sekali dia melihat Umar tanpa kaos oblong atau kemeja dinas, yang selalu menyembunyikan sisi pria macho di balik rutinitasnya.

"Kenapa ya, aku baru sadar sekarang? Apa aku terlalu sibuk sampai melewatkan momen-momen kecil ini bersama suamiku?" pikir Nay dalam hati, sedikit menyesal sekaligus tersenyum.

“Mas Umar, kau memang keren banget,” gumamnya pelan, sambil melihat suaminya yang sudah melangkah ke kamar mandi.

Umar tak menoleh, fokus membersihkan diri untuk sholat Subuh. Pikirannya melayang ke rencana hari itu, kembali ke Semarang, dan kemungkinan besar perjalanan ke Jakarta yang menanti mereka. Hati Nay berdesir, campur aduk antara rasa syukur dan harapan untuk lebih bisa menghargai setiap detik kebersamaan.

Nay melangkah pelan keluar dari kamar, hatinya berdebar antara haru dan gelisah.

"Ah, aku berharap bisa langsung berangkat ke Jakarta bersama orang tua Umar," gumamnya lirih, bibirnya menekan ragu yang sulit diusir. Ia membayangkan wajah ramah keluarga Umar, tersenyum hangat yang membuatnya merasa ada harapan di ujung jalan.

"Semoga perjalanan ini lancar. Aku ingin segera memulai babak baru bersama Umar," bisiknya dalam hati, menatap jauh ke arah jendela yang memantulkan cahaya pagi.

Langkahnya tertahan ketika di dapur beberapa orang sudah sibuk menyiapkan sarapan. Lauk-pauk panas berjejer di meja, aroma rempah menguar mengundang selera.

"Hai, pengantin baru! Ke dapur buat apa? Santai saja, kami yang urus semuanya," tegur seorang wanita sambil tersenyum ramah, mata berbinar menyambutnya.

Nay membalas senyum itu dengan sopan, menenangkan jantungnya yang masih berdetak cepat. Meski gelisah, ada hangat yang merayap di dada, membawanya perlahan menerima kenyataan dan harapan yang menanti di depan.

Bude Nay adalah kakak dari ibu Nay, sosok yang selama ini dikenal agak tegas tapi perhatian. Nay merasakan ada beban kecil di dada saat berhadapan dengannya, tapi ia menekan rasa itu dan mengangguk pelan.

"Nggak apa-apa, Bude. Aku cuma mau bantu sedikit," gumam Nay dengan senyum yang dibuat-buat.

Begitu pintu kamar tertutup rapat di belakangnya, napas Nay mengendur. Rasa lega merayapi seluruh tubuhnya karena akhirnya bisa kembali pada suami yang menunggu.

"Baru seharian jadi suami istri, masih asing rasanya," pikirnya sambil menatap sosok pria tampan di seberang sana.

Matanya menelusuri wajah itu, mencoba menebak apa yang harus ia lakukan agar pantas jadi istri dan pendamping seumur hidup. Hatinya berdesir, campur antara harap dan takut. Dalam hening, Nay menahan gelisah yang bergejolak, mencari cara terbaik menjalani babak baru hidupnya bersama pria itu.

Umar melambaikan tangannya dengan ceria, suaranya memecah hening pagi,

"Nay, sayang! Kemarilah!"

Nay terpaku di depan pintu, matanya mengikuti sosok suaminya yang baru saja membawa Al-Qur'an dari sholat subuh. Jantungnya berdetak kencang, campur aduk antara bahagia dan tak percaya.

"Ini nyata, kan? Aku benar-benar sudah jadi istri Umar?" gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Wajahnya bersemu merah, kenangan kemarin masih segar, mereka yang dulu cuma pacaran, sementara kabar tentang jodohnya Umar dengan Citra terus berhembus. Namun sekarang, mereka duduk berdua dalam satu kamar, dan malam tadi, mereka saling melepas rindu yang selama ini tersembunyi. Nay merasakan hangatnya kenyataan yang bagai mimpi jadi nyata.

Nay melangkah pelan mendekati Umar, duduk di sebelahnya dengan hati yang bergetar. Tangannya ragu menyentuh punggung tangan Umar, lalu menciumnya lembut, sebuah ungkapan sayang dan hormat yang tak terucap. Umar menoleh, senyum lebarnya muncul, tapi sorot matanya seolah menyimpan tanya. Ia membalas dengan kecupan di kening Nay, namun ada kegelisahan yang samar terpancar di balik senyuman itu. Wajah Nay terlihat pucat, napasnya agak tersendat, membuat Umar menatapnya penuh cemas.

"Apa yang terjadi padanya? Kurang tidur? Atau beban pikiran yang berat?" gumam Umar dalam hati.

Sementara Nay sendiri terdiam, menunduk, pikirannya berkelana tanpa arah. Matanya mencari tatapan Umar, berusaha menemukan ketenangan di sana. Dalam diam, Nay bergumul dengan kata-kata yang sulit keluar.

“Haruskah kuberitahu dia tentang rasa takutku? Tentang Citra yang mungkin kecewa saat tahu kau sudah menikah? Aku takut semuanya akan kacau jika ia tahu… Tapi bagaimana aku bisa membuka pembicaraan itu?” batinnya penuh keraguan, diselimuti rasa bersalah yang berat. Semoga ini cuma kekhawatiran semu, bisik hatinya yang rapuh.

Umar memiringkan kepala, senyum seringainya mengembang pelan.

"Kalau masih ngantuk, bobok aja lagi. Maaf ya, semalam aku sudah ajak kamu membelah duren bareng," katanya, suaranya berat tapi hangat. Nay mendelik nakal lalu mencubit pinggang suaminya, pipinya merona merah.

"Mungkin nggak baik sih tidur lagi setelah salat Subuh. Seru juga, kan, berburu suasana pagi sambil jalan-jalan keliling kampung?" Nay menatap Umar dengan mata berbinar.

"Soalnya, sejak kita di sini, Mas Umar belum sempat lihat-lihat kampung ini dengan detail."

Dia menarik napas dalam, lalu menambahkan,

"Ayo, siapa tahu banyak hal menarik yang bakal kita temui! Jangan lupa juga nanti sarapan di pasar, ada banyak makanan yang mungkin Mas Umar belum pernah coba."

Wajah Umar berubah serius, tapi matanya ikut berbinar.

"Ayolah, aku siap," jawabnya sambil meraba celana jogger yang tergeletak.

Nay cepat-cepat mengenakan kembali kerudung lebarnya, rambut yang sudah digulung rapi disembunyikan, sambil tersenyum kecil. Pagi itu, udara segar terasa semakin mengundang petualangan.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!