Namaku Dika Ananto. Seorang murid SMA yang ingin sekali menciptakan film. Sebagai murid pindahan, aku berharap banyak dengan Klub Film di sekolah baru. Namun, aku tidak pernah menduganya—Klub Film ini bermasalah!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selingan: Mungkin Dia Bisa Melakukannya
Namaku Chika Jessica. Sejak kecil, aku selalu bermimpi untuk menjadi seorang aktris dan bekerja di industri film seperti ayahku.
Ayahku sangat menyukai impianku. Dia berkata kalau suatu hari nanti aku bisa menjadi aktris terkenal. Ibuku juga menyayangiku dengan sepenuh hati. Pada dasarnya, ini adalah awal dari keluarga bahagia layaknya dalam film drama.
Pernah suatu hari, Ayahku mengajakku ke dalam tempat syuting film aksi. Keterampilannya yang mampu menaiki mobil sambil berlari dan menghindari serangan musuh sangat memukau di mataku. Walau Ayah bukanlah pemeran utama dalam film tersebut. Namun, di mataku dia tampak seperti dalam pemeran utamanya.
Diketahui itu adalah film aksi yang fokus pada kejar-kejaran antara polisi dan penjahat. Memang Ayahku tidak terkenal. Tetapi, ada seseorang yang merekam adegan di atas mobil dan mempublikasikannya ke sosial media. Tentu saja, hal itu menarik perhatian para wartawan untuk memberikan keterangan.
Ayahku adalah orang yang baik dan dekat dengan siapa saja. Jadi, setiap kali ada wartawan yang ingin mewawancarainya. Dia bersedia untuk ditanyai apapun sambil mempromosikan film yang masih dalam produksi.
Banyak orang yang semakin berekspektasi tinggi mengenai film aksi tersebut. Bahkan dianggap sebagai film aksi asal Indonesia yang paling ditunggu kehadirannya.
Aku memasuki masa SMA seperti gadis normal pada umumnya. Dekat dengan siapa. Bergabung dengan klub penggemar film dan mengajukan diri untuk menjadi salah satu pemeran figuran dalam pembuatan film yang dilakukan oleh klub.
Kabar gembira itu aku utarakan di depan orang tuaku. Ayahku sangat mendukungku. Disisi lain, aku merasa wajah Ibuku terlihat kecewa sambil menggodaku kalau dia akan kesepian di rumah.
Aku sedikit mengerti apa yang dirasakan oleh Ibuku. Sejak Ayahku menitik karir sebagai stuntman. Dia sudah jarang pulang ke rumah. Ibuku yang selalu berpikiran negatif terkadang menganggap kalau Ayahku berselingkuh dengan wanita lain.
Mendengar hal itu, aku selalu menghiburnya dan menyarankan untuk melakukan panggilan video agar menghilangkan keraguan itu. Ibuku hanya bisa mengelus rambutku setelah mendengar saran dariku. Wajah Ibuku yang awalnya terlihat cemberut menjadi tersenyum kembali. Pada akhirnya, Ibuku sering melakukan panggilan video disaat Ayah sedang beristirahat untuk syuting.
Ketika aku melakukan akting di depan kamera. Beberapa anggota klub penggemar film memujinya. Bahkan ketua klub penggemar film memintaku untuk menjadi pemain utama dalam film pendek yang ingin mereka buat.
Banyak orang yang bertanya-tanya mengenai cara belajar akting sepertiku. Aku hanya menjawab perkataan mereka seperti biasa.
"Berlatih di depan cermin," ucapku.
Tentu saja tidak banyak yang tahu kalau aku adalah anak dari seorang stuntman populer itu. Aku belajar banyak mengenai akting dari Ayah. Karenanya, aku tidak ingin berniat untuk pamer kepada orang lain.
Hari untuk melakukan syuting film pendek dimulai. Aku dan beberapa anggota klub penggemar film melakukan syuting yang jauh dari kota Jakarta selama tiga hari. Semua dilakukan demi mendapatkan adegan berjalan menyusuri bunga di jalan setapak. Dalam film pendek itu, aku menjadi seorang gadis cantik dengan pakaian musim panas.
Walau begitu, terkadang takdir tidak pernah berjalan dengan keinginan manusia. Lagipula takdir yang dikendalikan oleh Tuhan memang selalu kejam, bukan?
Saat hari kedua syuting diluar kota Jakarta. Aku mendapat panggilan dari Ibuku. Sayangnya panggilan itu menghalangi waktu syuting dan beberapa orang kecewa kepadaku. Kurasa wajar saja jika orang-orang menampilkan wajah marah karena sebagian besar orang sudah merasa kelelahan. Hingga tanpa berpikir panjang, aku mematikan ponselku untuk tidak mengganggu waktu syuting dan tidak mengganggu orang lain.
Seusai syuting diluar kota Jakarta berhasil dilakukan. Kami semua akhirnya kembali menggunakan kereta. Di stasiun aku baru membuka ponsel dan menemukan ada lebih dari seratus panggilan yang dilakukan oleh Ibuku.
Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tepat saat kami sampai di stasiun kota Jakarta. Aku ditampar oleh Ibuku setelah keluar dari gedung stasiun. Kedua matanya tergenang air mata dan mengalir perlahan.
"Semua ini salahmu!" teriak Ibuku kepadaku sambil menamparku berkali-kali.
Mendapat perkataan seperti itu. Sudah jelas aku mencoba memegang pundak Ibu dengan kedua tanganku untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Ibuku menjelaskan kalau Ayah kecelakaan saat sedang melakukan syuting adegan eskrim. Ibu berkata kalau dia saat itu sedang ada rapat di kantor dan memintaku untuk memeriksa kondisi Ayah di rumah sakit. Karena itu dia mencoba menelponku berkali-kali. Alhasil Ayah yang seharusnya mendapat pengobatan cepat oleh rumah sakit. Jadi tertunda karena tidak ditemukan pendonor darah yang cocok. Alhasil Ayah tewas karena kehilangan banyak darah.
"Jika kau ingin dianggap sebagai anakku. Kau harus menurut denganku!" ucap Ibuku dengan wajah yang penuh amarah.
Aku hanya bisa terperosok ke jalan. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir sambil meminta maaf kepada Ibuku. Rasanya kedua kakiku menjadi mati rasa setelah mendengar informasi itu dari Ibu.
Rumah yang seharusnya tempat hangat untuk pulang. Mendadak memiliki suasana yang berbeda sejak kematian Ayah.
Aku hanya bisa berbaring di tempat tidur sambil memeriksa ponselku. Disana ada banyak artikel mengenai kecelakaan Ayah.
[Kematian Seorang Stuntman Terkenal]
[Produksi Film Action Karya Julio Dihentikan Sementara Waktu]
[Kematian Stuntman Diduga Kelalaian Tim Stuntman]
Kemudian sejak itu, kebebasanku direnggut oleh Ibuku sendiri. Ibuku memintaku untuk keluar dari klub. Begitu juga dengan impianku. Dia berkata kalau aku tidak cocok menjadi aktris dan tampil dalam film.
Aku awalnya tidak ingin menuruti keinginannya. Sayangnya, sekali lagi takdir seolah-olah tidak pernah berpihak kepadaku.
Ibuku menemukan skenario film yang ku kerjakan saat waktu luang. Dia langsung memukulku berkali-kali dan berkata mengapa aku tidak bisa menurutinya. Aku tidak mengerti mengapa Ibuku menjadi seperti itu.
Dengan cepat Ibuku membakar semua hal mengenai film di kamarku. Dari skenario film, kertas berisi kegiatan klub penggemar film sampai foto-foto klub penggemar film. Aku memohon untuk tidak melakukannya. Tetapi, anehnya aku tidak bisa mengeluarkan suaraku.
Aku hanya bisa menangis di atas lantai sambil merasakan rasa sakit di kedua tanganku akibat dipukuli. Aku tidak pernah mengerti, mengapa Ibuku menjadi sangat berubah sejak kematian Ayah. Kepalaku rasanya sangat sakit untuk menelan semua informasi itu. Ibuku juga membuatku tidak mendapat makan malam dan memintaku untuk merenungkan kejadian yang terjadi.
Ibuku memutus hubunganku dengan klub penggemar film. Bahkan aku dipaksa untuk bergabung dengan klub perpustakaan dan memintaku untuk fokus belajar daripada mengejar impian yang tidak penting.
Sudah lebih dari delapan bulan sejak kejadian itu. Aku berusaha menghindari klub penggemar film. Disisi lain, aku juga tidak menyesal dengan masuk ke klub perpustakaan. Karena aku juga mendapat teman baru.
Aku kembali melewati hari-hariku yang biasa. Jika diibaratkan sebuah perumpamaan. Aku merasa seperti burung yang terjebak di dalam sangkar dan perlahan bulu burung itu terkupas hingga dia tidak bisa untuk kembali terbang.
Awalnya aku ingin menyerah dengan impianku untuk menjadi seorang aktris. Tetapi, anak laki-laki itu sepertinya bisa membantuku keluar dari sangkar.
"Bukankah begitu, Dika?" gumamku ke arah Dika yang merekamku dari arah belakang.