Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Masih olahraga di taman.
Indy dan Rio mulai saling terbuka dengan cerita yang dipunya masing-masing. Mereka hanyut dalam sebuah cerita pagi, sampai Indy baru sadar tangannya dengan tangan Rio saling berpegangan.
"Rio, ini kenapa ya?" tanya Indy merujuk pada tangannya yang terpaut.
"Oh, iya maaf kak. Saya hanya berusaha mematuhi syarat dan ketentuan dimana kita berjalan harus sejajar. Tidak boleh terbelakang juga tidak boleh terdepan. Sedangkan tadi ketika kita asyik bercerita, langkah kaki kita tidak simetris karena fokus yang terpecah." Rio buru-buru melepas pegangannya.
"Oh begitu. Terus kenapa sekarang dilepas?"
Rio tergugu. Ia tidak dapat menjawab lebih lanjut karena memang--- karena memang seharusnya di lepas kan?
"Terus kenapa tadi kamu bilang kita asyik bercerita? emangnya kita bercerita begini terasa mengasyikan ya?" tanya Indy kembali dengan senyuman kecil. Rio cengengesan dan tidak ada sepatah kata pun yang terucap.
"Jangan cuma cengar-cengir aja kamu Rio, coba jawab pertanyaan saya dengan jawaban." Senyuman masih bertengger di bibir Indy. Nadanya terdengar mengejek.
"Kalau saya jawab iya, apakah tidak apa-apa kak?"
Lengkungan bibir Indy semakin meninggi.
"Liat kamu senyam-senyum mulu bikin tenggorokan saya jadi haus." Alih-alih menanggapi pertanyaan Retoris dari Rio, Indy mengalihkan topik kepada hal lain. Dia duduk di akar pohon trembesi yang mencuat sembari membenarkan kuncir kudanya.
"Kalau begitu saya mau beli minum dulu. Tunggu di sini kak."
"Hem, hati-hati. AAAAH!" Indy menjerit, dia buru-buru menghampiri Rio yang nyaris terserempet sepeda.
"Kamu baik-baik aja kan Dek? ada yang sakit kah? apa ada luka?" terus meracau persis seperti peristiwa beberapa belas tahun silam, bahkan Indy memeriksa lengan Rio takut-takut ada yang patah atau bergeser. Indy juga memeriksa sampai ke bawah-bawah.
Sungguh, Rio tidak apa-apa. Anak itu masih berdiri kokoh tanpa ada luka sedikit pun karena memang tidak ada kecelakaan.
"Saya tidak apa-apa kak bahkan tertabrak pun tidak."
"Dek, pokoknya jangan jauh-jauh dari kakak! Kakak akan selalu melindungi mu. Tenang saja." Indy Memeluk Rio. Tubuh wanita itu kembali gemetar menahan takut. Telapak tangannya dingin disertai gerakannya yang gelisah. Detak jantungnya menjadi cepat hingga Indy merasakan nafasnya terasa pendek.
Dek? apa kak Indy telah menganggap aku adiknya?
"Tarik nafas kak lalu buang. Lakukan perlahan sampai nafas kembali teratur." Rio mengusap-usap punggung Indy, kemudian pemuda itu mengalihkan pikiran Indy dengan memberinya tiga varian wewangian untuk Indy cium, lima objek benda untuk Indy lihat, dan satu objek untuk Indy pegang dan rasakan teksturnya. Perlahan-lahan keadaan Indy mulai membaik karena pikirannya sudah teralihkan dengan langkah-langkah yang Rio terapkan.
Telapak tangannya yang dingin sudah kembali menghangat. Bibirnya tidak lagi gemetar serta suaranya tidak terputus-putus saat berbicara, juga nafasnya sudah kembali teratur. Indy sudah kembali tenang, sebab ketakutan yang menggerogoti pikirannya telah teralihkan.
Sudah enam tahun lamanya, Indy digandrungi kondisi seperti ini.
"Jangan tinggalin kakak Dek. Kakak takut sendirian." Begitu racaunya, ketika Rio berdiri hendak merogoh saku mencari keberadaan hp. Indy mengira kalau Rio mau meninggalkannya pergi membeli minuman.
Mendengar sebutan 'Dek' lagi, Rio ingin sekali membantah kalau dia bukanlah adiknya. Tetapi jika itu dilakukan, akankah kondisi Indy kembali memburuk?
Rio merasa waktunya belum tepat untuk berkata seperti itu.
"Saya tidak kemana-mana kak. Saya cuma mau nelpon seseorang buat membantu membelikan minuman. Kakak haus kan?"
"Haus saya sudah hilang. Kita pulang saja ya, tapi tunggu sebentar kira-kira sepuluh menitan. Dengkul saya masih terasa lemas kalau di pakai berjalan."
"Kalau begitu saya mau nelpon pak supir buat jemput kita di sini. Biar kita tidak jalan sampai parkiran."
Indy mengangguk dengan usulan Rio. Tidak pakai lama, mobil yang menjemput mereka pun telah datang. Meskipun begitu, masih ada jarak antara mereka dan mobil lantaran tempat mereka duduk tidak bisa dilalui kendaran roda empat.
Maka, Rio menggendong Indy dan mendapat tatapan tercengang dari yang digendongnya.
"Saya tidak menyangka, kamu kuat gendong saya Rio." Dalam hatinya, Indy merasa setengah percaya setengah tidak. Yang dilihat tidak seperti apa yang dipikirkan. Pelajaran yang bisa di ambil dari pemandangan sekarang adalah; jangan gampang menilai orang hanya dari luar. Indy tidak menyangka, tubuh kurus yang sering ia sebut-sebut malah mampu mengangkat tubuhnya tanpa ada raut wajah keberatan sama sekali.
...*****...
Di rumah.
Tok.. tok. tok..
Ceklek.
"Kak Indy."
"Boleh saya masuk?" karena merasa ini adalah rumah milik perempuan yang ada dihadapannya, Rio langsung mempersilahkan Indy masuk.
Di dalam, Indy memindai seluruh aspek ruang tersebut dengan tangannya memegangi secangkir kopi.
"Apa saya mengganggu waktumu?"
"Tidak kak. Apakah kakak datang kesini ingin melihat surat yang saya ceritakan?" raut wajah Rio terlihat tidak mengenakan.
"Betul sekali. Berikan itu pada saya." Tangan Indy sudah menadah tetapi Rio urung menyodorkan kertas surat.
"Apa ada masalah Rio?"
"Suratnya hilang. Saya baru mau memeriksa CCTV di rumah ini."
"Apa! yang benar saja ck!"
Sementara di belahan bumi lain, Juni membakar kertas yang berhasil di curinya dari kamar Rio lewat orang suruhannya. Senyumnya miring, lalu kertas yang termakan api hampir lebih dari setengah ia terbangkan ke udara seraya menepuk-nepukan tangan. Seolah-olah ia sedang membersihkan tangannya dari banyaknya kuman.
Kemudian ia tertawa sumbang.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣