NADYA

Keesokan harinya Nadya harus pasrah saat tanpa sengaja bertemu Dewangga. Pemuda itu menatapnya dengan sorot yang sulit terbaca. Sepertinya dia sudah menandai Nadya dan gadis itu tak bisa lari darinya.

"Mana?"

Nadya menggigitt bibirnya dengan keki. Dia tau jika saat ini Dewangga tengah menagih janji kepadanya.

"M--maaf, Kak. A-aku cuma punya segini untuk s-se--sekarang," ujar gadis itu tergugu sembari menyodorkan sejumlah uang.

"Cuma segini?" Dewangga menatap lembaran uang yang diberikan Nadya kepadanya. Itu adalah 2 lembar uang 100 ribuan dan selembar uang 50 ribuan. Pemuda itu tersenyum sinis.

"Iya, t-tapi pasti aku lunasin n--nan-ti."

"Nanti kapan?"

"P-pokoknya aku cicil sampe lunas." Nadya mengacungkan dua jari berbentuk huruf v dengan mata yang terpejam takut-takut.

Melihat reaksi Nadya, sebenarnya Dewangga tau jika gadis itu sangat takut padanya. Tapi dia tetap mau melihat keseriusan dari janji gadis itu.

"Ya, berapa lama? Semua harus ada temponya!" cetusnya.

"Se--sebulan," kata Nadya yang tidak berpikir panjang.

Sekarang Dewangga menatap lekat pada netra kecokelatan milik Nadya. Dia mencoba mencari kebohongan gadis itu disana tapi dia tidak menemukannya. Entah kenapa dia merasa Nadya tidak akan membohonginya. "Oke, sebulan dari sekarang harus lunas!" katanya memperingatkan.

Nadya pun mengangguk dengan cepat.

"Mana KTP mu?" tanya Dewangga.

"Buat apa, Kak?"

"Ya buat jaga-jaga lah! Siapa tau kau berniat membohongiku!"

Nadya menggeleng pelan. "Aku gak akan bohongin kakak, kok!" ucapnya.

"Ya kalo gitu siniin aja KTP nya, nanti kalau udah lunas, aku kembalikan."

Dengan perasaan mau tak mau akhirnya Nadya memberikan kartu pengenalnya pada pemuda itu. Dewangga melihat sekilas identitas Nadya. Dia membacanya dalam hati lalu menganggukkan kepalanya sembari pergi dari hadapan gadis itu.

Seperginya Dewangga, barulah Nadya bisa bernafas lega. Tapi dia tetap tidak bisa ingkar dengan janjinya sendiri. Selain Nadya memang tak mau berhutang pada Dewangga, dia juga harus mengambil KTP nya kembali.

...***...

Alex ingin tau apa sebenarnya masalah Nadya. Dia juga bingung kenapa dia harus repot-repot mencari tau tentang gadis itu. Akan tetapi, satu hal yang mulai Alex sadari yaitu dia tau jika dia mulai menyukai Nadya.

Alex tau perasaan itu tidak semestinya, tapi Alex tidak bisa menepis perasaan yang timbul begitu saja pada Nadya. Nadya seolah memenuhi kepalanya dan dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Jangan tanyakan Alex soal Erin, atau memintanya membandingkan bagaimana perasaannya terhadap Erin atau Nadya. Ini jelas-jelas berbeda.

Baru saja Alex memikirkan soal Erin sekilas, gadis itu kini muncul dihadapannya, seperti biasa Erin akan membawakannya sebotol air mineral untuk Alex minum seusai berolahraga atau bermain musik.

"Makasih ..." ujar Alex menghargai pemberian Erin. Padahal Alex juga bisa membeli minuman itu sekarang sebab kini mereka sudah berada di kantin sekolah. Tetapi mungkin Erin tak mau menyia-nyiakan kesempatan ketika dia bertemu Alex. Gadis itu selalu punya cara untuk menemui dan berbicara pada Alex yang dianggapnya sebagai kekasih.

"Lex, gimana sama janji kamu?" tanya Erin pada pemuda itu.

"Janji?" Satu alis Alex terangkat mendengar pertanyaan Erin.

"Katanya mau ngajak aku jalan-jalan," jelas Erin.

Alex berpikir singkat, dia tak mau menampik mengenai hal itu. Dia ingat bahwa dia pernah mengatakan soal janji itu pada Erin.

"Ehm ... ya, kalau kita sama-sama lagi gak sibuk," jawab Alex akhirnya.

Erin sumringah. "Gimana kalau hari Minggu ini, Lex! Aku gak kemana-mana. Kita bisa jalan sampe sore atau sampe malam kalau perlu," ujarnya bersemangat.

Alex tampak menimbang-bimbang. Dia bukan pemuda yang suka ingkar janji. Cepat atau lambat dia harus menepati ucapannya pada Erin. Meski jauh dalam hatinya merasa berat, tapi salahnya sendiri yang sudah terlanjur menjanjikan.

"Ya udah," kata Alex akhirnya.

Terbagi saja Erin melonjak senang mendengarnya. "Oke, aku tunggu kamu jemput aku ya!" katanya lagi.

Alex hanya mengangguk pertanda setuju dengan ucapan gadis yang berstatus sebagai pacarnya tersebut. Setelah Erin pergi, Haikal yang sejak tadi duduk dan mendengarkan percakapan Alex dan Erin turut memberikan komentarnya.

"Lo kalau gak suka Erin kenapa juga Lo janji janji mau ngajakin jalan segala!" protes Haikal, sahabat Alex.

"Gimanapun juga itu udah terucap, Kal."

"Kenapa juga harus Lo ucapin!" Haikal berdecak tak suka.

"Ya gimana lagi, udah terlanjur." Alex mengendikkan bahunya.

"Sama kayak Lo yang terlanjur nerima dia kan, sampe akhirnya Lo gak bisa mutusin hubungan ini."

Alex diam mencerna ucapan Haikal yang ada benarnya itu.

"Gue tau Lo mau menjaga nama baik Erin waktu itu, dan Lo gak enak nolak Erin didepan orang banyak, tapi bukan berarti Lo terus-terusan ngasih dia harapan kayak gini, Lex! Coba Lo pikir udah berjalan berapa lama hubungan gak jelas ini? Gue bukan mau mencampuri hubungan Lo, Lex! Tapi kasihan anak orang kalo tiba-tiba Lo ghosting nantinya," kata Haikal memberi ultimatum pada Alex yang lagi-lagi hanya dibalas Alex dengan anggukan singkat.

"Gue gak mau nyakitin Erin, dia baik," kata Alex realistis.

"Justru dengan hubungan Lo yang gak jelas ini bakal lebih nyakitin dia, Lex! Ingat, orang baik juga bisa berubah jahat kalo batas kesabarannya udah abis."

Alex terdiam. Dia tak menampik jika semua ujaran yang Haikal katakan itu benar. Alex hanya tak sampai hati untuk menyakiti Erin. Jauh dilubuk hatinya yang terdalam dia juga sadar bahwa dia sudah melakukan kesalahan pada cewek itu.

"Putusin lebih cepat atau selamanya Lo sulit untuk keluar dari hubungan ini!" saran Haikal sembari menyeruput es jeruk miliknya yang baru saja tiba dimeja kantin.

Sementara Alex memikirkan mengenai hubungannya dengan Erin seperti saran Haikal, disisi lain dia juga memikirkan Nadya yang mulai memiliki tempat tersendiri dihatinya. Entah bagaimana dengan Nadya terhadapnya, yang jelas Alex tau jika dia salah bergerak maka resikonya dia bisa menyakiti dua orang gadis yang sama-sama tak ingin dia sakiti.

...Bersambung ......