NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

...Manusia sombong, yang selalu  menikmati, menghabiskan harta milik orang tuanya tanpa memikirkan apa-apa lagi dan rasa serakah, sangat suka meluapkan dendam, melampiaskan kepada yang terlemah. Penindasan tidak bisa dimaafkan. ...

...***...

Pemandangan yang harus diterima kali ini adalah melihat orang yang paling dikenali harus merasakan penderitaan. Ia merasakan ketidakadilan dan orang-orang tidak membantunya. Sepertinya, Gita harus turun tangan mengambil alih.

Dikarenakan perempuan itu telah terjun sampai ke sebuah tempat yang disukainya, sekaligus terjadi sesuatu yang membuatnya geram, Gita memutuskan berlari.

"AWAS KAU!" Teriakan larian yang diucapkan Gita, mampu menyadarkan, menyingkirkan orang-orang yang menghalangi.

Berlari cepat, salah satu kaki Gita dinaikkan, mendorong tubuh laki-laki yang terlihat gemuk, pipi-pipi tembam keduanya, lengan baju terlihat tidak bisa dinaikkan lebih tinggi lagi, karena sesak.

Anak laki-laki jatuh terlentang. Kepala dipertemukan permukaan keras tanah, mengharuskan mengelus rambutnya sendiri.

"Ayo, aku akan membantumu, Sal," Telapak tangan dibuka, dikerahkan menuju siswi sekolah yang menempel dengan tanah.

Salma meraih bantuan tangan, mempertahankan berat tubuhnya untuk bergerak naik berdiri. Dengan baju dan rok tertutupi oleh noda tanah, Salma menepuk keras.

"Lebih baik tadi kau jangan pergi sendiri." Gita menaikkan kedua alis, melihat wajah temannya yang melotot, mengerutkan kening selama membersihkan dirinya.

Gita menatap lama karena Salma belum berbicara.

Lirikan mata dialihkan Salma ketika anak yang ditendang akibat ulah Gita, dapat berdiri kembali.

Gita menengok ketika Salma menyuruhnya untuk melihat ke bagian depan. "Git, dia bangun lagi." Salma berjalan mundur hingga dapat menyembunyikan diri di belakang tubuh Gita.

Anak laki-laki menekan bahu, memutar kecil, menggerakkan kepala kiri dan kanan, lalu menghadap kepada dua siswi di matanya.

"Hei, kenapa kau menindas temanku, huh? Dia tidak salah. Aku melihatnya sendiri, yang pertama kali menyenggol dirinya adalah kamu."

Anak laki-laki tersenyum-senyum sendiri. "Perempuan itu berhenti di tengah jalan tiba-tiba karena harus memperbaiki tali sepatu yang terputus-lah, dan aku menyenggolnya agar dia sadar."

"Kalau pun kau harus berhenti, setidaknya kau bisa mencari jalan lain. Apa susahnya? Jalanan ini luas. Kau saja tidak mau berusaha sendiri. Mengandalkan jalanan lurus saja."

"Jangan ikut campur, ya, cewek pendek!" Tunjuk paksa anak tembam.

"Gimana? Gimana? Cewe pendek? Apa tidak salah menyebut pendek? Kau seharusnya ku panggil gendut. Adil, bukan?

Perkataan itu menusuk perasaan anak tembam.

Dia bertindak, membuat gerakan kepalan tangan pada keduanya.

Gita mengerti dengan gerakan itu, turut mencoba memperagakan. "Begitu ya, maumu? Baiklah, ayo bertarung disini." Gita membuka baju seragam hingga dapat digulung ke atas.

Jika sudah bersiap seperti itu, tidak bisa diganggu lagi bagi perempuan itu untuk membela yang benar. Pikirannya kacau, bercampur dengan emosi.

Gita membuang napas untuk bersiap-siap. Kepalan tangan telah siap di keduanya.

Kantin sepi membuat lingkaran bagi yang menonton pertunjukan spektakuler untuk melihat siapa pemenangnya.

Salah satu murid yang menonton, berlari meleraikan masalah kami. Menyusul murid-murid yang tak ingin menambah masalah di sekolah ini, Gita dan anak laki-laki gemuk dipisahkan secara paksa.

Walaupun Gita telah menjauhi anak gemuk, perempuan itu keras kepala berlari menendang, sebelum akhirnya Gita dipisahkan kembali.

Mereka terpaksa berhenti.

"Berhenti. Berhenti. Jangan gerak lagi!" Gertakan suara salah satu guru yang melintas, berjalan menuju kerumunan anak-anak sekolah. "Bapak bisa memanggil orang tua kalian semuanya. Mau?"

Saling menatap mata, mengakibatkan semuanya berhenti bergerak.

"Mereka berkelahi, Pak." Salah satu siswa memberitahu apa yang terjadi, menunjuk kepada siswi dan siswa gemuk.

"Berkelahi?"

"Iya, Pak. Mereka memperebutkan tentang anak yang jatuh tersenggol."

"Bapak tidak paham, tapi kalian kembali ke kelas, sana. Bapak akan urus ketiga teman kalian. Ayo kembali."

Pengusiran itu mengakibatkan yang menonton menjadi kesal. Menendang kerikil batu, salah satunya. Merupakan cara untuk melupakan emosi.

"Kalian bertiga ikut Bapak ke Ruang BK, sekarang. Jelaskan di sana saja, lebih nyaman."

Bapak muda memakai peci hitam berjalan lebih awal dibandingkan kami. Anak gemuk menyusul di belakang, kecuali Gita dan Salma yang hanya diam.

"Ayo, kalian berdua. Tunggu apa lagi?" Guru muda melihat dua siswinya tidak berjalan bersama setelah mengecek siapa saja yang mengikuti.

"Iya, Pak. Kami ikut sekarang." Gita menunduk menuruti suruhan.

Bahkan yang membela pun, harus dilakukan interogasi, semata-mata ikut melakukan pengeroyokan. Padahal hanya ingin membantu yang terlemah untuk menuntaskan masalah.

Tetapi mengapa harus selalu seperti itu?

Penasaran dengan apa yang akan guru itu lakukan kepada dua murid yang dipisahkan, sebagian murid berbondong-bondong ikut menyusuri lorong panjang.

Sebelum guru muda itu semakin lama menggiring anak-anak nakal menuju ruangan interogasi, guru kami berbalik badan.

Sebagian murid yang berjumlah tujuh anak, berhenti berjalan.

"Jangan ikuti teman-teman kalian. Kembali ke kelas! Sekarang!"

Mereka berlari saling menyenggol. Tidak peduli seberapa cepat larian mereka untuk menghindari kami.

Paling penting, keadaan telah kembali normal.

...***...

Ruangan yang dijadikan tempat interogasi telah menutup rapat. Dengan kata lain, tidak bisa selamat dari pembantaian pertanyaan-pertanyaan itu. Semua harus dijawab berdasarkan kenyataan.

Sebenarnya ruang interogasi hanyalah sebutan bagi Gita, karena ia selalu menganggap bahwa ruangan Bimbingan Konseling selalu menjadi tempat untuk menginterogasi seseorang yang melakukan perbuatan nakal di lingkungan sekolah.

Ketiga anak ditempatkan pada satu kursi yang sama, menghadapi dua guru muda tampan yang selalu mengamati kami.

Yang duduk di depan mata Gita, bernama Pak Ali. Rambut belah tengah hitam, alis tegak, serta daratnya bibir membuat ketegangan. Tangan yang dilipatkan, seperti sedang menunggu konfirmasi dari jawaban-jawaban kami.

Peci hitam telah dilepaskan di ruangan ini, menambah rasa kekaguman kepadanya.

Pak Ali tidak pernah memperlihatkan model rambutnya selama ia bekerja. Kami adalah murid-murid yang beruntung untuk niat pertama kali.

Satu guru muda yang berdiri bernama Pak Rifki. Memakai topi olahraga, peluit yang dikalungkan, serta memakai baju olahraga, mengawasi ketiga anak.

"Bapak tanya, siapa yang pertama kali melakukan perkelahian itu?" Pak Ali melihat satu per satu murid, dengan curiga.

"Laki-laki itu, Pak. Dia menendang teman saya, sampai baju yang dipakai harus terkena kotoran." Gita menepuk pundak Salma.

"Coba berdiri, kamu." Pak Ali menunjuk kepada perempuan berambut pendek.

Mendengar suruhan guru kami, Salma yang menunduk malu, berusaha bangun. Menarik baju di samping tubuhnya, memperlihatkan kotoran yang melekat.

"Baik, kamu duduk lagi." Pak Ali mengangguk paham.

Salma menduduki ulang tempat yang disediakan.

Gita tetap mengamati keadaan. Santai meletakkan tubuhnya pada punggung-punggung sofa, menyilang kaki karena menurutnya nyaman.

"Sopan duduknya, jangan bersikap seperti itu." Pak Ali menunjuk lagi kepada perempuan berkuncir rambut.

Tentang tata krama, seharusnya pembelajaran itu telah dilaksanakan sejak anak-anak. Namun tidak dengan Gita. Sifat keras kepala, senang mengajak berkelahi, sulit jika harus mengubah dirinya.

Tetapi itu kembali kepada diri sendiri.

Pak Ali berdiri menemui tekan kerjanya, Pak Rifki. Berbincang kecil mengenai langkah yang akan mereka ambil untuk mengatasi masalah yang mengarahkan kepada perundungan anak.

Tentang noda baju, mungkin dapat menjadi sebuah bukti, bahwa semua cerita yang dibicarakan oleh para penonton adalah benar, dan juga setelah Salma turut mengungkap apa yang terjadi.

Acara pertemuan singkat, ternyata memakan waktu lama, sampai bel sekolah harus bekerja lagi.

"Baiklah, kalian berdua bisa kembali ke kelas masing-masing. Kecuali Bagas, akan berada di tempat ini."

"Saya, Pak? Mengapa Saya harus ditahan, Pak?"

"Terdapat alasan kuat mengapa Bapak harus menahan kamu. Walaupun kamu adalah anak orang kaya, tetapi sifatmu yang selalu merendahkan murid-murid disini, Bapak tidak bisa menahan diri untuk menginterogasi kamu."

Gita mengangguk setuju, tetapi anak tembam tidak bisa merelakan kami karena lolos dari masalah yang menimpa ketiga anak.

Sebelum dua siswi akan meninggalkan ruangan, Pak Ali berpesan. "Sembunyikan cerita ini. Jangan mengulang kembali kejadian ini, atau Bapak akan menemui kalian lagi jika terjadi."

"Iya, Pak. Kami mengerti." Gita membalik badan, menghampiri pintu rapat. Menyentuh pegangan dingin.

Pintu menutup setelah kedua murid mengeluarkan diri.

Menyisakan beberapa anak yang berada di lorong sekolah yang berlari kebingungan, Gita dan Salma mencoba mengendalikan diri mereka.

Gita memejam mata, embusan napas telah keluar melalui mulut kecilnya. Membuka mata, melihat temannya berdiri menemani.

"Maaf, Sal. Kau harus diperlakukan oleh anak menyebalkan itu. Geram, kau tau." Gita mengeluarkan napas berat.

Salma memandang temannya setelah mendengarkan luapan masalah tadi. "Aku juga meminta maaf karena sempat memarahi di kelas, Git."

"Iya, aku juga melakukan hal yang sama sepertimu. Aku meminta maaf kepadamu, Sal."

Salma tau bahwa Gita akan selalu menjadi pelindung baginya. Seperti tadi, berkelahi demi membela temannya yang tertindas.

Anak perempuan itu berbeda dari murid-murid di sekolah.

Dibalik sifatnya yang suka berteriak, tertidur di kelas, mengusir laki-laki yang akan selalu mengganggunya, rajin memandang jendela, memiliki kekuatan untuk berkelahi, Gita akan selalu membela sesuatu yang menurutnya benar.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!