NovelToon NovelToon
Bersamamu Menjadi Takdirku

Bersamamu Menjadi Takdirku

Status: sedang berlangsung
Genre:nikahmuda
Popularitas:75.2k
Nilai: 4.8
Nama Author: Windersone

YAKIN GAK MAU MAMPIR?
***
Berkaca dari kehidupan rumah tangganya yang hancur, ibu mengambil ancangan dari jauh hari. Setelah umurku dua tahun, ibu mengangkat seorang anak laki-laki usia enam tahun. Untuk apa? Ibu tidak ingin aku merasakan kehancuran yang dirasakannya. Dia ingin aku menikah bersama kak Radek, anak angkatnya itu yang dididik sebaik mungkin agar pria itu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh suaminya, ayahku, padanya. Namun, ibu lupa, setiap manusia bukan binatang peliharaan yang bisa dilatih dan disuruh sesuka hati.

Meskipun aku hidup berumah tangga bersama kak Radek, nyatanya rasa sakit itu masih ada dan aku sadari membuat kami saling tersakiti. Dia mencintai wanita lain, dan menikah denganku hanya keterpaksaan karena merasa berhutang budi kepada ibu.

Rasa sakit itu semakin dalam aku rasakan setelah ibu meninggal, dua minggu usai kami menikah. Entah seperti apa masa depan kami. Menurut kalian?

Mari baca kisahnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kafe Barisan

🦋🦋🦋

Aku lepaskan tangan tante Tia yang merangkul bahuku, lalu berjalan dengan langkah cepat menghampiri kedua pria yang berdiri berhadapan di depan pintu itu sambil menyeka air mata. Tangan kananku naik dan menampar pipi kiri kak Radek dengan keras sampai pria itu menoleh ke kanan. Kedua bola mata yang merah ini menatap wajah kak Radek dalam kemarahan bercampur rasa sedih.

“Itu hadiah atas luka yang sudah Anda berikan selama satu tahun ini. Anda tau, penyesalan terbesarku apa? Menikah dan pernah jatuh cinta kepada Anda. Sekarang aku ucapkan, terima kasih atas pembebasannya,” ucapku dengan tegar, menahan diri untuk tidak memperlihatkan kesedihan.

Aku menarik kedua pintu, lalu menutupnya dengan sedikit bantingan. Disitu aku berdiri tertunduk dalam tangis kesedihan dengan tangan masih memegang kedua genggaman pintu. Om Zidan menggenggam kedua pergelangan tanganku, mengarahkan tubuhku berhadapan dengannya. Pria yang sudah aku anggap sebagai ayah ini menyeka air mataku dengan ekspresi sedih juga tergambar di wajahnya.

“Jangan bersedih,” ucap om Zidan, berusaha membuatku kuat dan tenang.

Aku memeluk pria itu erat dan menangis tersedu-sedu. Aku tidak peduli lagi, ada atau tidaknya kak Radek di luar rumah maupun, apakah pria itu mendengar suara tangisku. Yang terpenting, kali ini aku tidak bisa menahan suara tangisku lagi.

Kulihat mereka yang ada di hadapanku, mereka memasang wajah prihatin dan ikut sedih melihat kesedihanku, meskipun tidak tahu jelas adegan apa yang tengah mereka saksikan.

Ratih mengajak kedua adik-adiknya memasuki kamar mereka.

"Sekarang kamu buang air mata itu, percuma menangisinya. Kedepannya kamu harus menjadi wanita kuat, fokus kuliah. Masalah biaya, Om akan bantu," ucap om Zidan.

Ketika itu aku mengarahkan pandangan kepada tante Tia, wanita itu tersenyum, tetapi aku tahu apa yang dirasakannya setelah mendengar perkataan suaminya itu, aku sadar senyuman itu terpaksa ditunjukkan demi menjaga perasaanku. Oleh sebab itu, aku harus kuat dan berusaha mencari uang untuk membantu om Zidan.

Aku melepaskan pelukan ku dari om Zidan dan menyeka air mata, menunjukkan senyuman dengan anggukan.

***

Aku duduk di bangku yang sama, di bawah pohon, di taman kampus di mana aku sering duduk bersama Maya. Sekarang, cerita mengenai perpisahan aku diberitahukan kepadanya dalam tatapan kosong. Jiwa ini masih sedih, tetapi juga sedikit lega akhirnya bisa keluar dari situasi yang selalu membuatku bungkam.

"Dia datang di pagi hari, mengawali hariku dengan kejutan yang begitu besar. Tidak apa-apa, mungkin takdir berkata begitu. Aku mencintainya, aku pernah berharap bisa bersamanya. Tapi, jika itu membuat kami sama-sama terluka, lebih baik berpisah. Ternyata, cinta dalam diamku berakhir begini." Aku tersenyum bodoh saat bercerita.

"Galuh ...!" panggil Raga dari jauh dan berlari menghampiri kami, duduk di sisi kiriku. "Kamu kenapa? Kak Radek menyakitimu?" tanya Raga sambil menatap wajah murung ku.

"Jangan sebut dia lagi. Hmm ... ngomong-ngomong, ada tidak loker yang cocok untukku? Yang bisa part time dulu," kataku, sekaligus mengalihkan pembicaraan mengenai kak Radek.

"Kenapa? Dia tidak mau membiayai mu?" tanya Raga.

"Kak Radek dan Galuh sudah pisah. Jadi, jangan sebuat pria itu lagi. Sekarang Galuh tinggal bersama Om Zidan," terang Maya.

"Benarkah?" Raga tersenyum. "Seharusnya sejak dulu begini. Tidak apa-apa, jangan mengingatnya lagi. Ngomong-ngomong mengenai pekerjaan, kebetulan ada. Pulang kuliah kita ke sana, ke kafe temanku. Kamu tidak apa-apa jadi waiters, kan?" tanya Raga.

"Tentu," balasku, antusias. "Terima kasih Raga, kamu memang bisa diandalkan," ucapku yang membuat pria yang duduk di sampingku ini memasang wajah sombong, sebenarnya hanya untuk bercanda.

Aku dan Maya tertawa ringan melihat tingkah Raga.

***

Sepulang kuliah, di sore hari, Raga langsung membawaku ke sebuah kafe yang dijanjikannya, namanya kafe Barisan. Mengapa? Kafe ini rapi, bangku dan mejanya berbaring seperti bangku sekolahan. Cukup ramai, banyak muda-mudi di sana.

Raga membawaku menghadap pengurus kafe itu, milik seorang wanita yang kelihatannya usia tiga puluhan. Wanita itu berdiri di samping kasir, mereka sedang memperhatikan sesuatu di layar tablet di depan kasir itu berdiri.

"Mbak Windi," panggil Raga kepada wanita itu yang ternyata bernama Windi.

"Raga. Hmm ... ini teman yang kamu ceritakan itu?" tanya wanita berambut sebahu itu.

"Iya, Mbak. Namanya Galuh." Aku tersenyum dan menganggukkan kepala saat Raga memperkenalkanku.

"Bagus. Kamu bisa langsung kerja. Kamu ambil shift malam, ya? Pulangnya jam dua belas malam. Tidak apa-apa, kan? Jadi, kamu bekerja dari jam lima sore," terang mbak Windi.

"Tidak apa-apa, Mbak," balasku.

Setelah aku diterima bekerja di kafe itu, Raga meninggalkan ku dengan lambaian tangan. Ku perhatikan pria itu meninggalkan kafe dari dinding kaca transparan kafe yang mengarah langsung ke tepi jalan.

"Galuh, pakai seragamnya. Kamu bisa ganti di ruang istirahat di belakang," ucap mbak Windi sambil menyodorkan sehelai atasan warna merah.

"Baik, Mbak," ucapku dan membawanya ke belakang.

Baru beberapa langkah kaki ini berjalan menuju ke belakang, aku melihat Pasha dengan seragam yang sama berjalan ke arah depan, kami berpapasan. Seketika kami sama-sama kaget sampai saling menunjuk.

"Kamu bekerja di sini juga?" tanya Pasha setelah menatap seragam di tanganku.

"Baru bekerja," balasku.

"Kebetulan sekali, aku juga bekerja di sini sebagai barista. Bagian kopi, aku yang urus," kata Pasha.

Aku tersenyum, ikut senang bisa satu frame dalam pekerjaan dengan Pasha yang menurutku juga orang baik. Bahagia sekali bisa dikelilingi oleh orang-orang baik seperti mereka, Pasha, Raga, dan Maya.

"Semoga betah," ucap Pasha, menepis bahuku, dan melanjutkan perjalannya keluar dari area belakang.

Mataku memperhatikan keberadaan ruangan istirahat yang dimaksud mbak Windi, ternyata ada halaman belakang dari kafe ini. Di halaman belakang itu ada sebuah toilet di mana di sebelahnya ada ruangan kecil dan mungkin itu ruangan istirahat yang dimaksud. Benar, itu ruangannya setelah aku berdiri di depan pintu ruangan itu. Kebetulan tidak ada orang di sana, aku segera memasukinya, dan mengganti atasanku.

Beberapa menit kemudian, aku keluar dari ruangan itu, meninggalkan barang-barang yang tidak bisa aku bawa saat bekerja. Di ruangan itu juga terdapat loker penyimpanan barang, pokoknya fasilitas dan keamanannya terjamin.

Aku kembali memasuki kafe. Baru beberapa langkah masuk, mbak Windi memanggilku, menyuruhku membawakan pesanan pengunjung yang sudah disiapkan di hadapannya. Aku tahu mengapa Mbak Windi langsung menyuruhku, wanita ini ingin mengujiku.

“Antar ke meja nomor sepuluh. Catatannya ada di situ,” ucap mbak Windi dengan ramah.

“Baik, Mbak,” ucapku, membalas senyuman mbak Windi.

Dengan hati-hati aku membawa nampan, di mana di atasnya ada dua gelas teh panas dan dua piring pasta.

“Pesannya tiba …!” seruku dengan ramah kepada pengunjung meja nomor sepuluh itu.

Senyumanku memudar setelah melihat salah satu wajah pengunjung yang duduk membelakangi ku sebelumnya. Pengunjung itu kak Radek yang duduk bersama seorang pria yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, mungkin temannya, mereka terlihat sebaya.

Mata kami saling menatap. Ketika itu rasa sedih kembali muncul. Kedua bola mataku mulai berkaca-kaca, aku rasa sebentar lagi air mata akan menetes.

“Kenapa, Mbak?” tanya pria yang duduk di hadapan kak Radek, menghancurkan situasi yang tidak mengenakan itu.

Aku mengalihkan pandangan kepada pria itu dan tersenyum. Aku menyajikan makanan dan minuman pesanan mereka ke hadapan mereka dengan senyuman palsu yang hanya bisa aku tunjukkan.

“Selamat menikmati,” ucapku dengan kaki ingin sekali melangkahkan membawa pergi tubuh ini secepat mungkin dari posisi itu.

“Tunggu!” tahan kak Radek, membuat kakiku yang baru berjalan dua langkah itu terhenti, lalu menoleh ke belakang, kembali menjalin kontak mata dengannya.

1
Bertalina Bintang
bolak balik nunggu klanjutannya
Hafizah Al Gazali
ceritamu penuh dgn misteri thor,vi aku sukaaaa
Tinny
lanjutt truss thor😍
Arya Bima
ya ampun Galuh..... mau smpe kpan km bertahqn dgn Radek yg lagi n lagi sll percaya hasutan org lain dri pda istri sndiri....
jelas² bnyak yg tak mnginginknmu bersanding dgn Radek.... msa iya Radek g paham².... sll mnuduh tanpa mncari tau kebenarannya....
capek sndiri hidupmu Galuh.... klo harus berjuang sndiri...
Arya Bima
jgn smpe tak terungkap dalang yg sesungguhnya...... sangat tak adil untuk Galuh jga ayahnya.... harus mnanggung smua ksalahn dri org lain...
Tinny
sungguh membagongkan
Bertalina Bintang
jangan2 bpknya radek pelakunya
Mulyana
lanjut
Arya Bima
siapa laki² itu ya.... smoga bukan hal yg akn mnambh beban pikiran galuh ...
tidak cukup kah penderitaan yg di alami Galuh slm ini.....??
tak pantaskah Galuh untuk bahagia n mnjadi perempuan yg jauh dri segala fitnahan jga hinaan dri org lain...
Mulyana
lanjut
Tinny
selalu dibuat dag dig dug dorrr
Efelina Pehingirang Lantemona
galuh wanita ngk punya prinsip,lain di mulut lain dihati,miris
Mulyana
lanjut
Tinny
lanjut trus thorr seruuuu
Arya Bima
smua trgantung sikap radek....
Maria Ulfah
knp masih mau dekat dengan kak radek membuat susah move on
Mulyana
lanjut
Arya Bima
untuk melindungi n mmberi nyaman perempuan lain aja km bisa n sll km upqyakn radek....
tpi km seolah sulit mewujudknnya untuk galuh....
smoga kebenaran terungkap.... sblm ayah galuh di eksekusi.... biar melek tuh mata radek.... n sadar.... bahwa yg telihat mata blm lah tentu sebuah kbenaran....
biar makin nyesel seumur hidup si radek.... klo Galuh memilih mnyerah n pergi dri khidupsn suaminya yg menye².... g tegas...
Tinny
kapankah penderitaanmu usai galuh
Kepo Amat
ah radek dia istrimu masa km gk bisa tegas sih? thor jangan ksh masalah berat² dong😭kasian galuh kapan hidup nyaman nya thor😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!