Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vania kesal
Adira pulang dengan diantarkan oleh Johan. Ella memang tidak tahu, jika Adira belum pulang. Karena setelah mengantar Vania ke rumah, dia langsung menuju butiknya.
Adira sampai bertepatan dengan Ella, melihat mertuanya mengantarkan Adira. Ella langsung memberikan tersenyum dan menyalami mertuanya.
"Baru pulang kamu nak?" tanya Johan, sedangkan Adira langsung masuk kedalam. Karena lagi malas bertemu Ibunya.
"Iya Yah, Ayah kok bisa bareng sama Adira?" sambil berjalan.
"Oo tadi, Ayah bantu Adira untuk ambilkan rapornya. Dia kan, gak punya keluarga. Selain Kakeknya." sindir Johan.
"Bu-bukan begitu Ayah, Ayahnya anak-anak hari ini keluar kota. Dan aku nemani Vania ambil rapor. Tapi, aku udah minta tolong sama Bu Mar kok Ayah." bela Ella.
"Awas kamu Adira! Kamu mempermalukan aku sama Kakekmu." batin Ella
Johan menghela napas dan menghentikan langkahnya. Dan Ella juga ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa, sesekali gak Vania saja yang di temani Bu Mar? Kenapa harus Adira? Berulang kali Ayah katakan. Adira anak kalian. Dia juga punya perasaan. Vania memang lebih membutuhkan kalian. Tapi seolah-olah kalian memperlakukan Adira seperti dia bukan bagian dari kalian." papar Johan kembali melangkahkan kakinya.
"Maaf Ayah ..." lirih Ella.
"Jangan minta maaf pada Ayah, minta maaf lah pada anakmu. Orang tua pun, harusnya bisa meminta maaf pada anak. Itu berguna untuk membesarkan hatinya." seru Johan.
Setelah menikmati suguhan yang disediakan. Johan akhirnya pamit. Tentu saja Vania dan Adira juga ikut untuk mengantarkan Kakek tercintanya.
"Adira, kamu cerita apa saja sama Kakek?" tanya Ella menarik tangan Adira. "Kamu udah bikin Ibu malu tahu gak?" teriak Ella. Dia memang sudah sejak tadi menahan amarah. Apalagi saat mengambil rapor Vania yang tidak sesuai harapannya.
"Aku gak cerita apapun Bu." kilah Adira.
"Dia pasti bohong Bu. Kalau gak, kenapa Kakek bisa ambil rapor mu?" tanya Vania mencoba untuk memanfaatkan suasana.
"Iya, coba kamu jelaskan, kenapa Kakek bisa ambil rapormu?" tanya Ella.
"Adira!" seru Ella karena Adira tetap bungkam.
"Karena aku cemburu sama semua teman-temanku. Bahkan banyak dari temanku mengira jika aku adalah anal dari Bu Mar, ataupun Bu Siti. Gak ada satupun dari mereka yang tahu wajah asli dari Ibu dan Ayah." teriak Adira.
"Itu bukan alasan yang masuk akal." ucap Ella.
"Jadi, menurut Ibu, apa alasan yang masuk akal?" tanya Adira. "Bahkan, Ibu gak pernah tahu aku dikelas mana. Saat rapat wali murid pun. Ibu tidak pernah datang kan? Jadi aku salah?" tanya Adira beruntun, dia langsung meninggalkan Ibu dan Vania.
Baru saja Adira melangkahkan kakinya beberapa langkah.
"Adira?" panggil Vania membuat Adira menghentikan langkahnya.
Vania langsung menarik kalung yang dipakaikan oleh Adira. Dan itu membuat Adira menjerit karena sakit.
"Dapat dari mana?"
"Bukan urusan mu." jawab Adira mencoba untuk merampas kembali kalungnya. Namun gagal karena keburu di ambil Ella.
"Dapat dari mana?" tanya Ella menekan.
"Kakek yang beri. Kembalikan punyaku." rampas Adira.
"Kenapa Kakek bisa memberimu kalung?" tanya Vania cemburu.
"Karena aku mendapatkan juara satu." jawab Adira.
"Bu ,,, aku juga mau." rengek Vania.
"Diam Vania, kamu bahkan tidak dapat juara." bentak Ella meluapkan emosi.
"Ibu ..." lirih Vania dengan mata berkaca-kaca. Bahkan meninggalkan Adira dan Ibunya.
"Wah benarkah? Aku baru tahu kalau Kakak gak dapat juara." teriak Adira sambil terkekeh, sambil berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
"Adira, mau kemana? Ibu belum habis bicara." teriak Ella.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
Hari ini Afandi Pulang dari luar kota. Dia membawa oleh-oleh untuk kedua anaknya. Dan khusus untuk Vania dia juga membeli kalung sesuai permintaan anak gadisnya.
"Makasih Ayah, udah beliin Vania kalung. Vania sayang Ayah." ucap Vania melirik Adira. Dia bertujuan agar Adira panas. Namun, jangankan panas, melirik saja tidak.
"Ini untuk Adira." kata Afandi menyerahkan sebuah kotak.
"Makasih Ayah." seru Adira membuka kotak yang berisikan sepatu.
"Lah, kok nomor 37 sih Yah, aku kan 39. Ini mah kekecilan." rajuk Adira.
"Oo iya kah? Ayah gak tahu ukuran sepatu mu." kekeh Afandi.
"Berarti ini punya ku. Makasih Ayah, karena telah mengingat ukuran sepatuku." seru Vania merampas sepatu Adira.
"Tapi ini punyaku." ucap Adira mencoba merebut kembali punyanya.
"Udah deh ah, lagian kamu kan gak muat. Udah seharusnya itu untuk Kakak mu. Kalau di buang kan gak mungkin." ucap Ella melihat perdebatan anak-anaknya.
"Jadi, aku gak ada apa-apa?" tanya Adira.
"Jangan cengeng. Udah gede juga. Malu sama umur." cetus Ella jengah.
"Ya udah, kamu siap-siap sana. Kita beli oleh-oleh lain untukmu." kata Afandi karena melihat mata Adira berkaca-kaca.
"Udah gak usah kemana-mana, Ayah baru pulang. Pasti capek." ujar Ella. Langsung membuat Adira yang semula hendak berdiri kembali duduk.
"Ya sudah, nanti sore kita pergi berdua ya. Ayah istirahat dulu."
Sore harinya. Adira yang memang tidak lagi mempercayai janji orang tuanya belum lah mulai bersiap-siap. Berbeda dengan Vania yang memang berencana untuk ikut. Sedang kan Ella, dia sudah ke butik karena ada beberapa klien yang harus ditanganinya langsung.
"Adira." panggil Afandi membuka kamar.
"Kok belum siap-siap." lanjutnya.
"Oo emangnya jadi?" tanya Adira yang sedang sibuk dengan ponsel pintarnya.
"Jadi, kita pergi sama Kak Vania. Tadi dia udah siap-siap."
"Ibu?"
"Ibu kembali ke butik."
"Ya udah. Ayah tunggu ya." mohon Adira langsung bergegas.
Di bawah, Vania yang melihat Afandi turun pun. Langsung memanggil Ayahnya agar duduk bersama.
"Mana Adira Yah?"
"Lagi siap-siap." ujar Afandi mendudukkan pantatnya di samping Vania. Vania langsung merebahkan kepalanya di bahu Ayahnya.
"Ayah, nanti kalau aku tamat SMA, aku mau kuliah di luar negeri. Boleh gak?"
"Bukannya gak boleh sayang. Tapi kan kamu tahu sendiri, kalau kesehatanmu tidak lah baik. Kamu kuliah dekat-dekat sini aja. Biar kamu selalu dalam pantauan kami." seru Afandi.
"Kalau gitu, aku juga gak mau, kalau nanti Adira kuliah diluar kota atau diluar negeri." rajuk Vania. Namun Afandi hanya tersenyum melihat tingkah anak sulungnya.
Tak lama kemudian Adira turun dari lantai dua. Mereka pun berangkat ke pusat belanja. Dengan Adira yang duduk di belakang.
Begitu sampai. Vania langsung mengandeng Ayahnya. Namun Adira juga gak mau kalah. Dia juga ikut mengandeng Ayahnya di sebelahnya lagi.
"Ayah, kita beli baju dulu yuk." ajak Vania.
"Tapi aku lapar Yah." rengek Adira. Dia sengaja ingin membuat Vania kesal.
"Ya udah, kita cari makan dulu." sahut Afandi.
Setelah selesai makan, mereka melanjutkan acara dengan keliling mall. Sampai akhirnya Vania kembali menarik Afandi untuk membeli baju yang kesekian kalinya. Tapi Adira kembali mematahkan harapan Vania dengan menarik Afandi ke tempat sepatu.
"Kan tadi, Ayah mau gantiin aku oleh-oleh. Jadi, Ayah harus membeli apa yang aku mau dulu ya." rayu Adira, dan di iyakan oleh Afandi.
Muka Vania langsung memerah. Padahal tadi sebelum berangkat dia ingin membuat Adira cemburu. Karena Ayahnya pasti menuruti setiap keinginannya. Namun, dia salah.