Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Tak Sengaja Diingatkan
“Anin, kita hidup di dunia hanyalah sementara. Manusia hanya bisa merencanakan mau seperti ini atau seperti itu, sedangkan segalanya yang memutuskan hanyalah Allah ta ‘ala. Seperti kehidupan yang kita jalani saat ini, semua karena-Nya. Termasuk takdir bahwa kamu menjadi istri dan ibu untuk si kembar, itu juga merupakan takdir Illahi, Nak. Cobalah mulai menerima kenyataan dan menjalani lembaran baru kehidupanmu.”
Anindya teringat perkataan Ranti yang memintanya untuk kembali memulai awal kehidupan yang baru bersama pria yang pernah menjadi kakak iparnya.
“Mungkinkah aku memang ditakdirkan untuk hadir di sini menjadi ibu untuk keponakanku dan istri untuk Mas Satya?” ucap Anindya dalam hatinya.
Anindya yang melamun sejak tadi, baru tersadar saat seseorang melintas di depannya, “Mas Satya, baru pulang?”
“Tidak,” jawab pria itu singkat sembari berjalan tanpa menoleh pada orang yang bertanya. Namun, Anindya tidak percaya. Jelas-jelas, jam di dinding menunjukkan waktu lewat tengah malam dan dia masih menggunakan stelan pakaian kerjanya yang rapi dan tas yang terselempang di bahu kanannya.
“Kenapa larut banget kalau pulang? Apa sejak dulu Mas Satya juga seperti ini?” tanya Anindya beruntun. Sudah pasti, itu bukan pertanyaan yang wajib dijawab oleh Arsatya.
Anindya melanjutkan aktivitasnya meski hari itu lewat tengah malam, dia tetap membuka lemari pendingin mencari sesuatu yang bisa dimasak cepat dan dinikmati segera untuk mengganjal perutnya yang lapar.
Hanya ada pasta siap masak yang perlu dipanaskan dengan air panas atau memasukkannya ke dalam microwave, lantas dia mengambil satu cup itu.
Saat sedang menunggu pasta lunak, datang kembali Arsatya yang kini sudah dalam keadaan bersih dan wangi, rambutnya yang juga masih basah terlihat segar meski gurat kelelahan di wajahnya masih telihat jelas di mata Anindya.
“Mas mau makan juga?” tanya Anindya.
Jawabnya hanya berupa sekali gelengan kepala, tetapi dia pun lantas menggeledah isi lemari pendingin mengambil susu segar untuk dituangkan ke gelas lalu meneguknya.
“Mau aku buatkan pasta juga?” tawar Anindya. Tidak ada jawaban dari lawan bicara.
“Ini,” pasta miliknya sudah jadi, Anindya berikan cup itu pada suaminya.
“Kamu?”
“Aku dari tadi makan roti sama susu, udah kenyang. Mas makan saja,” kata Anindya.
“Nggak,” tolaknya.
“Yah, mubazir dong. Aku udah kenyang banget, tadi iseng pengin pasta tapi nggak kuat nahan lapar jadi ambil roti sama susu, nih satu bungkus sudah hampir habis,” tunjuknya mengangkat satu bungkus roti bantal berukuran sedang yang hanya tersisa sebagian kecil di dalamnya.
Mau tidak mau Arsatya menerimanya, jujur saja dia memang ke dapur berniat untuk mencari makanan karena merasa lapar setelah mandi malam apalagi sejak siang perutnya belum ternutrisi apapun.
Mereka duduk berhadapan menikmati makanannya masing-masing, “Dulu sama Kak Amelia, Mas juga pulang kerja larut malam seperti ini?” tanya Anindya yang penasaran. Apakah sejak dulu sang kakak iparnya itu bekerja hampir seharian penuh atau menjadi workaholic saat ini adalah pelampiasan kesedihannya setelah ditinggal istri.
Arsatya diam, dia juga menghentikan aktivasnya sejenak untuk mengingat masa-masa dulu saat Amelia masih ada di setiap harinya.
“Maksudku, apa tidak lelah hampir 24 jam berada di luar? Kalau saja mas sering di rumah, pasti lebih bahagia dan bisa makan yang enak-enak karena kak Amelia kan suka memasak. Aku saja betah seharian di rumah kalau sama dia, pasti dan akan selalu dibuatkan makanan yang enak-enak,” kata Anindya sembari menikmati sisa potongan roti yang dicelup ke dalam gelasnya.
Brak!
Arsatya, pria itu segera menghabiskan sisa pastanya dan menghentakkan cup kosong dengan garpunya di meja, “Sudah selesai, tidurlah,” kata pria itu lantas meneguk setengah gelas air putih dan kembali berjalan ke kamarnya dengan segera.
Saat Anindya sedang mencuci piring, tiba-tiba terdengar bunyi benda yang jatuh dan pecah. Anindya berlari, khawatir bila saja suara itu bersumber dari kamar anak-anak. Anindya segera membuka pintu kamar anak, “Suara apa itu, Tan? Dengar, tidak?” ucapnya bertatapan dengan Ranti yang terbangun karena terkejut mendengar suara keras yang sama.
“Sepertinya dari kamar Arsatya.”
Di dalam kamar itu, dia melihat foto pernikahannya dengan mendiang istrinya. Tampak mempelai wanita dengan balutan kebaya dan berjilbab putih sedang tampak bahagia merangkul lengan kiri mempelai prianya, wanita itu tersenyum lebar penuh dengan ketulusan, sedangkan di foto itu dia melihat potret diriya sendiri yang sama sekali tidak tersenyum ramah ataupun gurat bahagia seperti pengantin baru pada umumnya.
Dia membuka ponselnya, membaca riwayat pesan yang sering Amelia kirimkan padanya dulu setiap saat menjelang malam dan setiap waktu hanya untuk mengingatkan dia untuk makan dan ibadah.
“Mas Satya, sudah makan belum? Sudah salat? Jangan lupa makan siang, ya. <3”
“Mas, hari ini aku masak gulai iga sapi yang enak. Maaf ya, gulai kali ini gak berlemak banyak kok, tapi sedikit lemak. :)”
“Mas Satya, sudah jam 10 malam. Kapan kamu pulang, aku ada kejutan untukmu,”
Arsatya teringat betul kejutan apa yang lantas diberikan padanya, sebuah tes pack yang menunjukkan dua garis merah.
Sayangnya, pada saat itu Arsatya belum bisa menerima Amelia apalagi kehamilannya. Dia bersikap tak acuh sedangkan Amelia diliputi bahagia saat menunjukkan hasil tes kehamilannya pada saat itu.
Dia tidak pernah tahu, jika cinta yang selama ini Amelia tumpahkan padanya di setiap waktunya adalah saat-saat terakhir sebagai ucapan selamat tinggal yang Arsatya sesali sampai saat ini dan mungkin sampai mati.
Brak! Arsatya melemparkan bingkai foto itu menabrak dinding dan menjadi puing-puing pecahan kaca yang remuk.
“Teganya kau meninggalkanku dengan cara seperti ini, Amelia! Kau berhasil membuatku terluka separah ini,” ucapnya meremas dadanya yang sering merasa sakit teramat dahsyat saat mengingat sosok Amelia yang tidak pernah mengeluh atau memrotes semasa hidupnya yang, selalu menaburkan cinta di setiap helaan napasnya tersisa.
Ranti dan Amelia menguping di dekat pintu kamar Arsatya setelah sebelumnya mereka akan bertanya bunyi apa yang terdengar keras yang bersumber dari kamarnya. Anindya merasa bersalah karena sempat mengingatkan dia dengan mendiang kakaknya, tidak tahu jika sang mantan kakak ipar masih begitu sensitif membahas tentang mendiang kakaknya.
“Semua salah Anin, Tan. Tadi Anin gak sengaja membahas Kak Amelia di meja makan,” ucapnya setelah mendengar suara Arsatya yang samar-samar terdengar sedang menangis di dalam kamarnya.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano