NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:960
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ancaman

“Ia baik, Renaya… kamu jaga sikap sama dia,” pesan Ratih lirih namun penuh ketegasan. Ada sentuhan kasih dalam kalimatnya, tapi tak sedikit pun menyentuh batin Renaya.

Andai Ibu tahu…, pikir Renaya dalam hati, mendesah pelan sebelum berkata, “Segitu percayanya Ibu sama dia?”

Ratih mengangguk pelan, namun sorot matanya tampak mantap, seolah kepercayaannya pada Saras tak tergoyahkan. “Dia selalu memperlakukan Ibu dengan baik selama ini. Nggak ada alasan Ibu buat curiga. Memangnya… apa yang perlu dicurigai, Nak?”

Belum sempat Renaya merespons, pintu kamar Ratih berderit terbuka. Muncullah sosok Saras dengan langkah ringan, mendekat sambil membawa nampan berisi segelas air putih dan piring kecil berisi beberapa butir obat. Renaya menghela napas dalam-dalam. Sosok Saras yang berpenampilan lembut, bagi Renaya justru memunculkan rasa tak nyaman yang tak mudah ia jelaskan.

Dengan penuh kelembutan—yang tampak begitu dibuat-buat di mata Renaya—Saras duduk di sisi ranjang, membantu Ratih bangkit dengan perlahan.

“Minum obat dulu ya, Mbak,” ucap Saras, suaranya terdengar manis namun menghantam telinga Renaya dengan getir. Wanita itu bahkan tampak piawai membantu Ratih meneguk air dan menelan obatnya satu per satu.

Renaya hanya menatap dengan mata yang penuh kehati-hatian. Setiap gerak-gerik Saras terekam jelas dalam benaknya, tak luput dari pengamatan tajamnya. Diam-diam Renaya menghitung setiap detik, menimbang setiap gestur Saras yang sekilas tampak seperti menantu idaman.

Usai membantu Ratih berbaring kembali, Saras berbalik dan menatap Renaya, alisnya terangkat seolah menginterogasi.

“Ada apa? Kok dari tadi lihat-lihat gitu,” tanya Saras datar.

Renaya hanya menggeleng tipis, mengalihkan pandangannya ke wajah ibunya yang mulai terpejam. Jemarinya mengelus pelan lengan Ratih seraya berbisik, “Cepat sembuh ya, Bu.”

Setidaknya, kini Renaya bisa sedikit bernapas lega. Ia menyaksikan sendiri ibunya menelan obatnya. Semua kekhawatiran tentang kemungkinan Ratih mengabaikan pengobatannya sedikit tertepis.

“Ibumu pasti sembuh, Ren. Percaya aja,” Saras menyahut, dengan senyum samar.

Renaya memilih diam, tetapi Saras kembali menambahkan, “Aku bakal sering bantu Ibumu minum obat. Kamu nggak usah cemas… Ibumu bakal pulih lagi, cuma butuh waktu.”

Renaya tetap tak menanggapi. Ia tahu terlalu banyak bicara hanya akan melelahkan pikirannya. Ia hanya mengangguk tipis, lalu merapikan selimut Ratih agar ibunya beristirahat lebih nyaman.

Saat keluar kamar, Renaya menahan diri sebelum akhirnya menatap Saras dingin. “Biar Ibu istirahat… Kamu, kalau mau pulang ya pulang aja.”

Saras tersenyum tipis, seolah mengerti. “Aku nggak bakal pulang. Aku bakal tetap di sini buat bantu rawat Ibumu.”

“Nggak usah repot. Kan ada aku!” suara Renaya terdengar sedikit tinggi.

Saras menepuk pundak Renaya, nada suaranya datar, “Aku tahu kamu nggak bisa sendiri.”

Dan dengan langkah ringan, Saras berlalu meninggalkan Renaya yang terdiam menahan geram. Rasanya terlalu banyak yang tak bisa ia ungkapkan. Ia mendesah panjang, lalu berbalik menuju kamarnya, membiarkan dirinya dibalut gelisah sepanjang hari, berharap ibunya segera pulih.

Namun, harapan tetaplah harapan. Keesokan harinya, kenyataan menghadiahinya luka yang lebih dalam. Saat Renaya kembali menjenguk Ratih, ia terhenyak. Tubuh sang ibu semakin lemah, seolah segala energi telah terkuras. Bahkan untuk bangkit duduk pun, Ratih tak sanggup. Tubuhnya hampir sepenuhnya lumpuh.

“Bu… gimana rasanya? Apa yang Ibu rasain sekarang?” suara Renaya penuh kecemasan.

Ratih hanya menggumamkan sesuatu yang tak bisa dipahami Renaya. Hatinya tercekat. Keringat dingin mengaliri tengkuknya. Tak pernah ia membayangkan kondisi ibunya bisa separah ini.

“Ibu kan udah minum obat… kenapa malah makin parah begini…” gumam Renaya, matanya berembun, terlihat panik dan amat khawatir.

Sementara Ratih hanya mampu terbaring diam. Setiap kata yang hendak ia ucapkan hanya terhenti sebagai embusan napas yang terputus-putus.

Kondisi Ratih jauh dari apa yang Saras janjikan kemarin, membuat Renaya digerogoti amarah yang tak tertahankan. Ia tahu Saras masih berada di rumah itu, dan tanpa pikir panjang, Renaya pun bergegas mencari keberadaannya.

Di ruangan lain, tempat Saras berada, suasana tampak sunyi. Tenang, begitu senyap seolah dunia di dalam ruangan itu terhenti sejenak. Saras sedang sibuk menyiapkan obat untuk Ratih, gerak-geriknya ringan seakan tak terbebani, bahkan sesekali ia bersenandung kecil, menikmati kesendiriannya.

Namun saat menutup pintu lemari setelah mengambil gelas, sekelebat bayangan melintas di balik pantulan kaca. Tubuh Saras sontak menegang, napasnya tercekat di tenggorokan yang tiba-tiba mengering. Matanya terpaku, menelusuri pantulan samar yang menyerupai sosok manusia. Namun, wajahnya tak terbaca jelas—hanya siluet kelabu yang mengintai dari balik bayangan.

“Eh…?” gumam Saras, tubuhnya bergetar, rasa tak nyaman menjalari tulang belakangnya.

Naluri Saras menjeritkan alarm bahaya. Ada yang ganjil, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika sederhana. Jantungnya berdebar liar, darahnya terasa mengalir deras, membawa gelombang kecemasan. Tanpa pikir panjang, Saras buru-buru membuka kembali pintu lemari, berharap bahwa semua hanyalah tipuan mata.

Namun, kenyataan menamparnya. Tak ada siapa pun di sana selain tumpukan gelas rapi dan perabotan biasa yang sering ia lihat. Bayangan yang sempat membuatnya menggigil lenyap tanpa jejak.

“Enggak… aku enggak mungkin salah lihat,” bisiknya getir.

Frustrasi merayap naik, bersatu dengan kecemasan yang kian menebal. Seolah-olah ruang itu sedang mempermainkan kewarasannya. Tiap sudut seakan menjadi celah untuk sesuatu yang mengintai tanpa wujud.

“Baru saja jelas-jelas ada sesuatu yang aneh,” Saras bergumam, lebih kepada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan bahwa penglihatannya tidak berbohong.

Kepanikan mulai merambat perlahan. Setiap lemari tampak seperti perangkap, setiap bayangan terasa hidup, bergoyang menertawakannya di antara cahaya yang temaram. Batas antara nyata dan ilusi mulai mengabur dalam benaknya.

“Semoga ini cuma perasaanku…” ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menutup kembali pintu lemari dan membalikkan badan.

Namun tepat saat itu, sosok Sandrawi muncul di hadapannya. Wajah pucat membiru dengan mata hampir terlepas dari rongganya, membuyarkan seluruh pertahanan diri Saras. Tangannya gemetar hebat, gelas yang ia pegang terlepas, jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping.

Tapi Sandrawi tidak tinggal lama. Sekejap kemudian, sosok mengerikan itu menghilang. Saras terpaku, tubuhnya membeku, otaknya membisu.

Lemas, ia ambruk di kursi makan, kedua tangannya menangkup kepala, peluh mengalir deras. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat, dan pikirannya dipenuhi bayang-bayang wajah Sandrawi yang menghantui pikirannya.

Namun ketakutannya belum selesai.

Saat kepalanya menunduk, ekor matanya menangkap sesuatu yang menggantung tak jauh darinya. Jantungnya tercekat. Perlahan ia mendongak, tubuhnya mundur refleks bersama kursi yang diseret kasar ke belakang.

Di hadapannya, Sandrawi tergantung di langit-langit ruangan, matanya melotot liar, lidahnya terjulur panjang dengan wajah yang mengejek penuh teror.

Saras membekap mulutnya, suara tercekat di tenggorokan, matanya membelalak ketakutan. Sandrawi perlahan melayang, mendekatinya dengan aura kematian yang menusuk dada.

“Jangan ganggu keluargaku!” suara parau Sandrawi membelah udara, menghantam Saras seperti palu godam.

“Atau hidupmu… tak akan pernah tenang!” lanjut Sandrawi, ancamannya menggema, membekukan darah Saras yang mengalir di pembuluhnya.

Tubuh Saras bergetar hebat. Lidahnya kelu, tubuhnya membatu seperti patung, tak mampu menggerakkan satu jari pun. Sandrawi semakin dekat, mengancam dengan suara menghantui.

“Aku tidak akan segan… menyiksamu… menampakkan diriku… jika kamu berani mengusik keluargaku…”

Ancaman itu menembus jantung Saras, menghancurkan nyalinya hingga ambruk. Ia berbalik dan melarikan diri tanpa pikir panjang, berlari terbirit-birit hingga tanpa sadar menabrak Renaya yang baru saja tiba.

Renaya, yang awalnya datang dengan amarah membuncah, seketika membeku. Ia menatap Saras dengan sorot mata heran, mendapati wanita itu terguncang setengah mati.

“Ada apa ini?” tanya Renaya, bingung, napasnya tercekat.

Saras tampak menghela napas lega ketika menyadari kehadiran Renaya. Namun, tak pelak seulas kecemasan masih menyelimuti raut wajahnya, ia mencoba mengatur napas dan menenangkan diri.

Renaya tak sudi mengindahkan gelagat Saras yang tampak gelisah. Ada hal yang lebih mendesak daripada sekadar membaca ekspresi. Tatapannya berubah tajam, sorot matanya menancap menusuk, membuat Saras bergeming, waswas menebak-nebak maksud kedatangan Renaya yang tampak membawa bara.

“Obat apa yang kamu kasih ke Ibu selama ini?” tanya Renaya, tanpa basa-basi, suaranya dingin sekeras batu karang.

“Obat dari dokter,” jawab Saras enteng, seolah ingin mematahkan kecurigaan Renaya dengan jawaban sederhana.

Namun tatapan Renaya justru semakin menusuk, menciptakan aura ketegangan yang membuat Saras mulai paham—Renaya jelas tak mudah dibohongi.

“Ada yang salah?” Saras mengangkat alis, pura-pura polos.

“Kondisi Ibu semakin memburuk. Bukannya kemarin sudah minum obat dari kamu?” sorot mata Renaya semakin menajam.

Saras menyunggingkan senyum tipis. “Kamu pikir obat bisa bekerja secepat itu, Renaya? Dalam semalam langsung menyembuhkan orang?”

Renaya bungkam. Saras mencuri celah untuk kembali menimpali. “Obat butuh waktu untuk bereaksi. Kalau memang sesakti itu, Ibumu pasti sudah sembuh sejak pertama minum, kan?”

“Tapi paling tidak membaik, bukan malah makin parah!” Renaya mendesis, menahan amarah yang menggelegak di dada.

“Kamu lagi nuduh aku, ya?” nada suara Saras mulai meninggi.

Belum sempat Renaya membalas, Saras sudah beringsut menghampiri Baskoro yang baru saja muncul dari lorong rumah. Dengan gerak licik, Saras langsung menyambar lengan Baskoro, membungkusnya dengan manja.

“Ada apa ini?” Baskoro menatap bergantian, mencoba menangkap situasi.

“Kondisi Ibu makin buruk setelah minum obat dari dia,” tuding Renaya tegas.

Baskoro tak butuh penjelasan panjang. Suaranya sontak meledak, “Kamu menuduh Saras macam-macam?”

Suaranya mengeras, menggelegar. “Apa itu cara kamu membalas kebaikan orang, Renaya?”

Baskoro tak memberi kesempatan Renaya menyela, ia terus berkoar. “Kamu harusnya bersyukur masih ada orang yang peduli sama Ibumu! Kamu ke mana aja selama ini, hah? Berkeliaran nggak jelas, nggak pernah bantu. Giliran Saras yang ngurus, kamu malah nuduh!”

Renaya menggeleng lirih, perih menjalar ke dadanya. Ia tak kaget melihat ayahnya membela Saras mati-matian, tapi luka itu tetap saja mengoyak.

“Aku nggak asal nuduh, Pak,” suaranya tegas, tak gentar meski berhadapan dengan Baskoro. “Aku akan buktikan. Obat yang Saras kasih itu nggak beres!”

“Renaya! Mau ke mana kamu?!” Baskoro membentak lagi, namun suaranya hanya menabrak punggung Renaya yang telah berjalan cepat.

Renaya tidak menoleh. Tangannya terulur mengambil botol obat yang masih tersisa di meja dapur. Dengan langkah mantap, ia berjalan keluar tanpa ragu.

“Anak nggak tahu sopan santun!” Baskoro memaki di ambang pintu.

Di sisi lain, Saras hanya mampu berdiri dengan rahang mengeras, menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti pikirannya.

......................

Angin pagi menerpa wajah Renaya saat ia memacu motornya menuju rumah Kinasih. Tak sedikitpun dia memperlambat laju, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang berkecamuk tentang kondisi Ratih, juga tentang kebenaran yang harus ia bongkar.

Namun, setibanya di halaman rumah Kinasih, langkah Renaya terhenti sejenak. Rumah megah itu menyembul kokoh di hadapannya. Terakhir kali ia kemari, rumah itu tak semegah ini, tiga tahun lalu, rumah Kinasih bahkan tampak sederhana.

Renaya mengernyit heran, lalu tanpa berpikir panjang, ia melangkah masuk. Pintu rumah terbuka, dan aroma sedap dari dapur langsung menyergap hidungnya.

“Rumah Mbak makin gede aja,” celetuk Renaya sambil berjalan ringan ke arah sumber aroma.

Kinasih menoleh sekilas, tak terkejut sedikit pun melihat Renaya menyelonong masuk seperti angin ribut.

“Ada apa, Ren?” tanya Kinasih, suaranya datar namun berisi ketegasan khas seorang kakak.

Renaya menyapu pandangan ke seluruh penjuru rumah.

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!