Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Mereka membahas detail lebih lanjut—nama-nama wartawan potensial, daftar investor Hartavira yang bisa dikontak, cara approach Harris tanpa terlalu mencurigakan. Obrolan berlangsung hampir dua jam, penuh dengan strategi, backup plan, dan contingency plan untuk contingency plan. Farrel bukan main-main—ia mengajarkan seperti profesor yang mengajarkan tesis doktoral, detail dan teliti.
Ketika video call berakhir, Elang menutup laptop dengan napas panjang. Kepalanya berdenyut—terlalu banyak informasi, terlalu banyak planning—tapi ada kepuasan aneh di dada. Kepuasan bahwa akhirnya, setelah tiga tahun jadi boneka, ia sekarang yang memegang tali.
"Pak," Stella berkata pelan, menutup laptopnya juga, "ini berbahaya. Buat kita semua. Kalau Brian tau kita gerak..."
"Dia akan strike balik, gue tau." Elang menatapnya dengan mata yang tidak menghindar. "Dan gue nggak akan bohong ke lo, Stella. Ini bisa berakhir buruk. Bisa berakhir dengan kita semua dalam masalah lebih besar dari sebelumnya. Tapi kalau lo mau keluar sekarang, gue ngerti. Lo udah ngasih gue semua yang gue butuhkan. Lo nggak harus ikut sampai akhir."
Stella diam lama. Menatap tangan sendiri yang masih punya goresan dari pelarian dua malam lalu. Lalu ia menatap Elang, dan ada sesuatu di matanya yang membuat Elang ingat kenapa gadis ini nekat mempertaruhkan segalanya untuk orang asing.
"Saya sudah terlalu jauh buat mundur, Pak," katanya dengan suara yang lebih kuat dari tubuhnya yang masih rapuh. "Mereka udah lukai saya. Mereka udah ancam saya. Kalau saya mundur sekarang, mereka menang. Dan saya nggak akan biarkan orang jahat menang cuma karena saya takut."
Elang merasakan sesuatu menghangatkan dada—bukan cinta, bukan romantis, tapi rasa hormat yang mendalam dan persaudaraan yang terbentuk dalam api penderitaan bersama.
"Terima kasih," katanya sederhana, karena kata lain terasa tidak cukup.
Suara langkah kaki di tangga. Pintu kamar terbuka sedikit—Anya berdiri di sana dengan nampan berisi dua gelas teh hangat dan piring kecil pisang goreng. Tapi ia tidak masuk, hanya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sulit dibaca.
"Teh Stella, Akang, ieu teh sareng gorengan," katanya dengan suara yang lebih pelan dari biasa. "Katingalna teh tos lami ngobrol di kamar, kudu aya nu dimakan heula."
"Makasih, Anya." Stella berdiri, mengambil nampan dari tangan Anya dengan senyum lelah.
Tapi Anya tidak langsung pergi. Ia berdiri di sana, menatap Elang dengan mata yang... sedih? Kecewa? Elang tidak bisa membaca ekspresi itu dengan pasti, tapi ada sesuatu di sana yang membuat dadanya terasa tidak nyaman.
"Akang," Anya akhirnya berkata, suara pelan tapi jelas, "Anya nggak dengerin sengaja. Tapi tembok di dieu mah tipis. Anya dengar... sedikit. Tentang rencana Akang teh."
Elang menegang. "Anya—"
"Anya teu mau ngelarang," ia memotong, menggelengkan kepala pelan. "Bukan hak Anya. Tapi Anya mau nanya: Akang yakin ieu jalan sing bener? Balas dendam teh, sanajan dilakukan bener-bener... tetep dendam atuh. Tetep hate."
Ada keheningan panjang. Stella menatap teh di tangannya, tidak berani menatap siapapun. Elang menatap Anya—gadis yang mengajarkannya tentang kesederhanaan, tentang ketulusan, tentang bagaimana hidup bisa punya makna tanpa harus grand atau mewah.
"Anya," katanya pelan, memilih kata dengan hati-hati, "gue ngerti kekhawatiran lo. Dan gue appreciate itu. Tapi lo nggak ngerti... lo nggak ngerti gimana rasanya kehilangan semua yang lo bangun karena orang yang lo percaya. Lo nggak ngerti gimana rasanya duduk di penjara buat kejahatan yang nggak lo lakuin. Lo nggak—"
"Bapa Anya meninggal karena orang lain nabrak dia sambil mabuk," Anya memotong dengan suara yang gemetar tapi tegas. "Orang itu kabur. Nggak pernah ketangkep. Nggak pernah minta maaf. Nggak pernah bayar apa-apa. Mamah sama Anya tos kehilangan semua—Bapa, masa depan, rencana. Tapi Anya nggak cari orang itu buat balas dendam. Karena Anya tau, sanajan Anya nemuin dia, sanajan Anya ngancurin hidupna... Bapa tetep nggak bakal balik."
Air mata mulai mengalir di pipi Anya—perlahan, diam, tapi nyata. "Akang teh pengen Brian jeung Zara ngerasain apa sing Akang rasain. Anya ngerti. Tapi sanajan mereka hancur total... apakah tilu taun Akang di penjara bakal balik? Apakah hate Akang sing bolong bakal penuh deui?"
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang Elang inginkan. Karena di suatu tempat, di bagian kecil hatinya yang masih belum benar-benar mati, ia tahu Anya benar. Dendam tidak akan mengisi kekosongan. Kehancuran Brian tidak akan mengembalikan tiga tahun hidupnya. Tapi—
"Tapi setidaknya," suaranya keluar lebih serak dari yang ia inginkan, "setidaknya keadilan ditegakkan. Setidaknya kebenaran terungkap. Setidaknya mereka nggak lolos begitu aja setelah menghancurkan orang."
Anya menatapnya lama. Lalu ia mengangguk perlahan—bukan setuju, tapi menerima. "Oke, Kang. Anya nggak akan halangin. Tapi Anya mau Akang inget: jangan sampe demi menghancurkan monster, Akang jadi monster sendiri. Karena Mas Elang sing Anya kenal... Mas Elang sing potong bawang jeung males nangis... Mas Elang sing sholat subuh jeung sujud lama... itu Mas Elang sing bagus. Anya nggak mau kehilangan orang itu."
Ia berbalik, berjalan keluar, menutup pintu pelan di belakangnya. Dan Elang duduk di sana, di kamar kecil dengan laptop dan rencana balas dendam, merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan sejak keluar penjara:
Keragu-raguan.
Bukan ragu tentang apakah Brian dan Zara bersalah—itu sudah pasti. Tapi ragu tentang apakah jalan yang ia pilih sekarang adalah jalan yang akan membawa ia ke keadilan, atau ke kehancuran yang lebih dalam.
Dan di dapur di bawah, Anya berdiri di depan kompor dengan tangan gemetar, air mata jatuh ke wajan kosong, berbisik pelan pada dirinya sendiri:
"Ya Allah, jagain Mas Elang. Jangan biarkan dendam itu ngancurin dia lebih parah dari yang udah terjadi."
---