Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#11
Serena melangkah masuk, menghampiri Alden dan menyentuh bahunya lembut. "Kenapa kamu harus sedih? Bukankah ini yang kamu mau, Naysila pergi dari hidupmu? Bukankah kamu dengan sengaja membayarku supaya mau berpura-pura jadi istri kamu, sehingga membuat Naysila menyerah dan pergi? Lalu, kenapa kamu harus sedih? Keinginanmu sudah tercapai."
Alden diam. Apa yang Serena katakan sepenuhnya benar, seharusnya ia bahagia dengan kepergian Naysila, bukan menangisinya.
Alden bangkit dari duduknya, melepaskan tangan Serena darinya dan berbalik menghadap wanita itu.
"Kamu benar, dan sekarang sudah waktunya kita akhiri semua ini," ucapnya datar.
"M-maksud kamu apa, Al?" tanya Serena, nada bicaranya mulai gugup. Sebab ia mengerti arah pembicaraan Alden ke mana.
"Kenapa harus berpura-pura tidak mengerti maksudku? Aku yakin kamu sudah mengerti tanpa harus ku jelaskan."
Serena mulai gusar, perasaannya tak tenang. Ia tak mau berpisah dari Alden dan kembali hidup dalam bayang-bayang ketakutan dari Madam Ivana.
Serena meraih tangan Alden dan memohon, "Jangan, Al. Aku mohon... jangan seperti ini. Aku nggak mau kembali ke kehidupanku yang dulu, aku gak mau merasa ketakutan lagi."
"Memangnya siapa yang memintamu untuk kembali ke kehidupan kamu yang dulu? Aku akan memberikan bayaran sesuai dengan perjanjian kita, dan kamu bisa memulai hidup yang baru di tempat yang jauh dari madam Ivana. Kamu nggak perlu kembali ke dunia malam, cukup perbaiki diri kamu dan memulai kehidupan dengan cara yang benar."
Serena menggeleng cepat. "Nggak, aku nggak mau! Aku ingin tetap sama kamu, aku nggak bisa berpisah dari kamu, Al."
"Perjanjian tetaplah perjanjian, itu nggak bisa diubah dalam waktu singkat. Perjanjian kita hanya sampai Naysila pergi dari rumah ini, dan sekarang dia sudah pergi. Itu artinya, perjanjian kita telah selesai."
"Nggak bisa! Aku nggak mau, Al! Aku ingin tetap di sini, sama kamu. Aku bisa menjadi wanita seperti yang kamu idamkan. Aku akan berusaha menggantikan posisi Naysila sebaik mungkin. Aku berjanji!" Serena mulai menangis, tangannya semakin erat menggenggam tangan Alden, seolah tak mau melepaskan pria itu begitu saja.
Sayangnya, Alden melepaskan tangan Naysila dan berkata, "Maaf, tapi perlu aku tegaskan lagi bahwa aku tidak pernah menyukai kamu. Walaupun aku tidak pernah mencintai Naysila dan dia sudah pergi, tapi kamu nggak akan pernah bisa menggantikan posisinya. Naysila terlalu sempurna untuk digantikan posisinya oleh wanita seperti kamu."
Serena terduduk lemas di lantai, tubuhnya gemetar menahan tangis. Kata-kata Alden barusan terasa seperti sembilu yang menusuk langsung ke jantungnya, dingin, tegas, dan tanpa celah untuk harapan.
Air matanya jatuh tak terbendung, membasahi pipi dan bibirnya yang bergetar. Ia merasa hancur, seolah baru saja dilempar kembali ke titik terendah dalam hidupnya. Segala usaha dan perasaan yang perlahan tumbuh dalam hati, semuanya seperti tak ada artinya bagi Alden.
"Aku nggak akan pernah bisa menggantikan Naysila..."
Kalimat itu bergema berulang kali di kepalanya, menyayat perlahan. Bukan hanya tentang penolakan, tapi juga penghinaan terhadap keberadaan dirinya. Ia tahu dari awal bahwa hubungan mereka hanya perjanjian, tapi ia tak benar-benar jatuh cinta pada pria yang mempekerjakannya untuk sebuah sandiwara.
"Kenapa... kenapa kamu gak bisa lihat sedikit saja perasaanku, Al?" bisiknya lirih.
Alden sama sekali tak menatapnya, tatapannya lurus ke pintu kamar yang terbuka lebar. "Karena mungkin... sebenarnya hatiku sudah dipenuhi oleh Naysila, sehingga aku nggak pernah bisa merasakan ataupun melihat rasa yang ada dari wanita lain untukku," kata Alden.
Serena bangkit kembali, berdiri di hadapan Alden dan menatap pria itu dengan mata yang masih basah. Ia mengusap air mata di pipi dengan jari jemarinya.
"Al, aku tahu aku bukan wanita baik-baik. Tapi aku berjanji, kalau kamu memberikan aku kesempatan untuk menjadi istri kamu, aku akan berusaha semaksimal mungkin merubah segalanya. Aku akan berusaha menjadi sosok Naysila, walaupun nggak sama persis. Aku akan berusaha, Al... tolong berikan aku kesempatan," Serena pantang menyerah untuk meyakinkan Alden.
Namun, Alden menggeleng. "Sampai kapanpun gak akan pernah ada yang bisa menggantikan Naysila. Kamu tetaplah Serena, dan kamu nggak akan pernah bisa berubah menjadi Naysila."
Serena menangis semakin kencang setelah mendapatkan jawaban dari Alden. Wanita itu tak percaya bahwa Alden sama sekali tak mau memberikan kesempatan padanya. Padahal, ia sudah bertekad untuk berubah.
Alden tak mau melihat drama Serena terlalu lama. Ia melangkahkan kaki dan berkata, "Segera kemasi barang-barangmu. Aku akan mengantarkan kamu ke sebuah tempat yang sudah aku pastikan aman buat kamu. Mulailah hidup baru di sana, jangan bertingkah dan jangan pernah ganggu lagi kehidupanku."
Selepas mengatakan itu, Alden keluar dari kamar tanpa menutup pintu. Meninggalkan Serena yang masih menangis tersedu-sedu di kamar Naysila.
Alden langsung turun ke lantai satu dan keluar dari rumahnya. Ia masuk ke mobil dan menunggu Serena bersiap. Alden malas mendengar permohonan dari Serena, sebab itu tak akan pernah bisa mengubah keputusannya terhadap wanita itu.
Alden menatap cincin kawin Naysila di telapak tangannya. Cincin yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran jarinya itu, terlihat berkilau. Cincin itu pernah melingkar di jari manis istrinya, tapi kini cincin itu berada dalam genggamannya sebagai tanda perpisahan.
"Nay... kenapa rasanya sangat berat? Aku sendiri gak yakin, apakah aku bahagia dengan semua ini?"
Air mata Alden kembali jatuh, dan ia hanya bisa mengusapnya dengan tangan. Di saat yang bersamaan, tiba-tiba sebuah mobil muncul dengan sorot lampu yang terang, menerangi kaca depan mobil Alden.
Alden menutup matanya karena silau selama beberapa saat, hingga akhirnya ia membuka matanya kembali dan melihat orang tuanya keluar dari mobil.
Alden cukup terkejut melihat kedatangan kedua orang tuanya itu, sebab tak biasanya mereka berkunjung jika tak ada keperluan, apalagi dengan lokasi yang cukup jauh.
Melihat kedua orang tuanya berjalan dengan langkah tergesa menuju ke arah mobilnya, Alden pun membuka pintu mobil dan keluar. Ia juga bergerak untuk menghampiri keduanya, untuk bertanya langsung.
Saat Alden telah berhadapan dengan kedua orang tuanya, ia hendak bertanya. Tetapi belum sempat ia bertanya, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
'PLAKKK!'