Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji di Tengah Hujan
Malam itu, hujan turun lebih deras dari biasanya.
Langit seperti marah, dan setiap petir yang menyambar membuat kaca jendela kamarku bergetar.
Aku tahu, ini bukan hujan biasa.
Setiap kali waktu bergetar, langit pun ikut menangis.
Riku memohon agar aku tidak pergi. Tapi aku sudah memutuskan.
Kalau aku benar-benar Penjaga Gerbang Waktu, maka aku tak bisa terus sembunyi di balik ketakutan.
Kaisar sekarat, dan Permaisuri sudah menutup semua jalan masuk bagi tabib mana pun.
Tapi aku tahu satu lorong rahasia — lorong yang dulu pernah kutemukan waktu pertama kali tersesat di istana.
Aku menyelinap dalam gelap, menutupi wajah dengan jubah abu-abu.
Setiap langkah terdengar pelan di atas lantai kayu lembab.
Penjaga di dekat ruang Kaisar tertidur karena jamu penenang yang kuberikan lewat Riku sore tadi.
Satu-satunya hal yang mengiringi perjalananku hanyalah suara hujan dan degup jantungku sendiri.
Begitu aku masuk ke kamar Kaisar, udara dingin menyambutku.
Wangi dupa bercampur dengan aroma logam dan darah tua.
Tubuh Kaisar terbaring di ranjang besar, kulitnya kebiruan, napasnya nyaris tak terdengar.
Dan di sebelahnya berdiri Aiko, memegang mangkuk berisi cairan hitam.
“Aiko?” suaraku bergetar.
Dia menoleh pelan.
“Oh, tabib dari dunia lain akhirnya datang juga,” katanya sinis. “Terlambat. Kau seharusnya tidak di sini.”
“Apa yang kau berikan padanya?”
“Obat dari Permaisuri. Untuk ‘menenangkan’ jiwanya.”
Aku menatap mangkuk itu tajam. “Itu bukan obat. Itu racun.”
Dia tersenyum dingin. “Kau pintar, Mika. Sayang sekali, kepintaranmu akan mengakhiri hidupmu sendiri.”
Dia mengangkat tangan, tapi sebelum sempat melakukan apa pun, aku melempar wadah air dari meja ke arahnya.
Cairan itu menumpahkan dupa, dan nyala lilin kecil berubah jadi semburan api.
Aiko mundur panik. “Kau—!”
Aku tak menunggu. Aku berlari ke sisi ranjang Kaisar dan menggenggam tangannya.
“Yang Mulia, tolong bertahan,” bisikku. “Izinkan aku mencoba sesuatu.”
Tanganku bergetar. Aku tak tahu apa yang kulakukan — hanya mengikuti insting yang seolah datang dari dalam jiwaku.
Simbol di tanganku mulai bersinar biru lembut.
Udara di sekeliling bergetar, dan suara hujan di luar tiba-tiba menghilang.
Dunia jadi hening.
Lalu sesuatu di dadaku terbuka — seperti pusaran besar waktu yang menarik semua cahaya di sekitarku.
Kaisar mengerang pelan, tapi warnanya mulai berubah.
Biru di kulitnya memudar, digantikan warna merah muda samar.
Namun di saat yang sama, kepalaku seperti dihantam badai.
Gambar-gambar berkelebat di mataku: peperangan, api, dan seorang wanita — Reina — berdiri di tengah hujan, menatap seseorang dengan air mata.
Dan di belakangnya, seorang lelaki yang mirip Akira, memegang pedang berdarah.
Aku menjerit, tubuhku jatuh ke lantai.
Ketika aku sadar, ruangan itu penuh orang.
Permaisuri Mei berdiri di depan, wajahnya pucat tapi dingin.
Akira berlutut di sampingku, menahan bahuku.
“Mika! Kau bisa dengar aku?”
Aku mengangguk pelan, meski kepala masih berputar.
Kaisar duduk di ranjang, wajahnya kini segar, meski lemah.
“Dia menyelamatkanku,” katanya pelan. “Jangan sentuh dia.”
Tapi Permaisuri tak mendengarkan.
Dia menatapku dengan mata penuh kebencian.
“Dia menggunakan sihir terlarang di ruang suci! Kau tahu apa yang sudah kau lakukan, gadis dari dunia asing!?”
Aku mencoba menjelaskan. “Aku hanya ingin menyelamatkan nyawa—”
“Dengan membuka gerbang waktu?!” potongnya. “Kau sudah membawa energi yang seharusnya tidak ada di dunia ini!”
Akira berdiri, menghadang di depanku.
“Cukup, Ibu. Kalau bukan karena Mika, Ayah sudah mati malam ini.”
“Dan kalau bukan karena Mika, mungkin dunia ini masih utuh!” teriak Permaisuri.
Tatapan mereka saling bertabrakan — tajam, menyakitkan.
“Akira,” katanya lebih lembut, “kau tahu sendiri kebenarannya. Gadis ini adalah pantulan dari Reina. Waktu hanya sedang mengulang kesalahan yang sama.”
“Dan kalau memang begitu,” jawab Akira tegas, “aku akan mengulang kesalahan itu sejuta kali kalau itu berarti menyelamatkan orang yang kucintai.”
Ruangan hening.
Bahkan hujan pun seperti berhenti.
Permaisuri memejamkan mata, lalu berkata dingin, “Kalau begitu, mulai hari ini, kau bukan lagi anakku.”
Kaisar yang baru sadar berusaha bangkit. “Mei! Jangan gila!”
Tapi dia sudah pergi, langkahnya menggema keras di lantai kayu.
Setelah semua orang keluar, Akira menatapku.
“Kenapa kau selalu mengambil risiko sebesar itu?” katanya lirih.
“Karena aku tidak bisa diam melihat orang mati di depan mataku.”
Dia duduk di lantai, di sampingku, wajahnya lelah tapi lembut.
“Kau hampir kehilangan nyawamu, Mika. Energi waktu itu… bisa membunuhmu kalau kau pakai terlalu lama.”
Aku menatap telapak tanganku yang masih memancarkan cahaya samar. “Aku tahu. Tapi saat aku menyentuhnya, aku melihat sesuatu.”
“Melihat apa?”
“Reina. Dan seseorang yang mirip kau. Mereka berdua berdiri di tengah hujan. Dia menangis, dan lelaki itu menusuk dirinya sendiri.”
Akira menatapku lama.
“Itu akhir dari kisah leluhurku,” katanya akhirnya. “Kaisar Ryou membunuh dirinya sendiri setelah kehilangan wanita dari dunia langit.”
Aku menggigil. “Jadi yang kulihat adalah masa lalu.”
“Mungkin.”
Dia memegang tanganku pelan. “Atau mungkin peringatan.”
Aku menatapnya dalam.
“Akira, kalau kutukan itu nyata, kalau waktu memang ingin memisahkan kita—”
Dia cepat-cepat memotong, “Aku tidak akan biarkan.”
“Tapi—”
Dia menempelkan jarinya ke bibirku.
“Jangan bilang hal-hal yang membuatku takut.”
Aku terdiam.
Dia menatapku dengan mata yang jujur, rapuh, dan dalam.
“Mika, aku tidak tahu berapa lama waktu akan memberi kita kesempatan. Tapi malam ini, di tengah hujan ini, aku ingin berjanji padamu.”
Aku menatapnya, jantungku berdetak keras. “Janji apa?”
“Kalau waktu memisahkan kita, aku akan mencarimu di setiap hujan.”
Dia menarik napas pelan. “Karena hujan selalu membawamu padaku.”
Air mataku jatuh begitu saja.
Aku mengangguk. “Dan aku berjanji akan menunggumu — di mana pun waktu menaruhku nanti.”
Kami saling menatap lama.
Hujan turun di luar, membasahi jendela, tapi dunia di antara kami terasa hangat.
Tidak ada istana, tidak ada sihir, tidak ada kutukan — hanya dua orang yang menolak menyerah pada takdir.
Dia menyentuh pipiku, lalu menunduk perlahan.
Untuk pertama kalinya, bibir kami bersatu — lembut, getir, tapi penuh makna.
Cahaya dari tanganku menyala lagi, tapi kali ini tidak menyakitkan.
Hangat. Seperti waktu berhenti hanya untuk mengizinkan kami berdua ada.
Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Begitu aku membuka mata, aku melihat sesuatu di luar jendela — tirai putih yang bergoyang pelan.
Dan di baliknya… sosok Reina berdiri, menatap kami dengan senyum aneh.
Namun kali ini, tubuhnya setengah transparan, berpendar biru.
Aku menggenggam tangan Akira erat.
“Dia datang lagi…” bisikku.
Akira menatap ke arah yang sama. “Biarkan dia. Aku tidak akan biarkan masa lalu mengambil masa depanku.”
Tapi di luar, petir menyambar, dan Reina menghilang — meninggalkan hanya satu kalimat yang bergaung di pikiranku.
“Janji di tengah hujan… adalah janji yang waktu akan uji.”
Dan entah kenapa, aku tahu — malam ini hanyalah awal dari ujian itu.