NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 — Pria dari Hutan Bambu

Mei Lan menemukan bahwa obsesi datang dalam bentuk yang sangat spesifik: sebuah gudang padi tua, di ambang hutan bambu, dan sosok seorang pria asing yang berdiri mematung di sana.

Sejak pertemuan tatap muka singkat di batas sawah, bayangan Rho Jian—meski ia belum tahu nama pria itu—seolah menempel pada dinding batin Mei Lan. Setiap kali ia kembali ke alat tenunnya, pikirannya melayang ke hutan bambu. Gerakan benangnya menjadi kurang teratur, detak jantungnya menjadi nada yang tidak sinkron dengan tuk-tak alat tenun.

“Kenapa matamu terlihat seperti baru melihat hantu di hari terang?” Nona Yuhe bertanya suatu siang, saat mereka sedang menjemur kain sutra yang baru dicelup warna nila lembut.

Mei Lan pura-pura sibuk merapikan lipatan kain. “Tidak ada, Nona Yuhe. Hanya lelah karena Festival Panen. Terlalu banyak tuntutan, terlalu banyak mata.”

Nona Yuhe mendengus lembut, matanya yang tajam menatap Mei Lan penuh makna. “Bukan tuntutan Kepala Desa Liang yang membuatmu hilang fokus, Gadis Manis. Tapi ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang asing.”

Nona Yuhe adalah satu-satunya orang di desa yang memiliki intuisi setajam sutra yang baru ditenun. Ia tidak perlu bertanya; ia tahu sesuatu telah berubah.

“Warga desa mulai berbisik,” lanjut Nona Yuhe, suaranya direndahkan. “Tentang seorang pria asing yang tinggal di gudang padi tua di tepi hutan. Tempat itu sudah lama kosong. Mereka bilang dia membawa nasib buruk.”

Mei Lan merasakan panas menjalar di lehernya. “Hanya gosip, Nona. Mungkin dia hanya seorang pengembara yang singgah.”

“Pengembara tidak singgah di Gudang Padi Terkutuk. Pengembara mencari kedai yang ramai atau rumah penginapan yang hangat,” koreksi Nona Yuhe. Ia mengelus kepala Mei Lan, gerakannya penuh kasih sayang. “Jangan dekati dia, Mei Lan. Kita sudah cukup dengan masalah kita sendiri. Orang asing yang dingin dan diam itu, dia pasti menyimpan luka yang lebih besar dari yang kita sangka.”

Nasihat itu, bukannya menjauhkan, malah justru memperkuat rasa ingin tahu Mei Lan. Luka. Ia tahu betul bagaimana rasanya hidup dengan luka yang terus membusuk. Jika pria itu membawa luka, maka ia akan menjadi satu-satunya orang di desa yang bisa memahami rasa sunyi Mei Lan tanpa perlu berbicara.

Tiga hari berlalu dalam penantian yang menyiksa. Mei Lan menyadari bahwa satu-satunya kesempatan untuk melihat pria itu dari dekat, atau bahkan berbicara dengannya, adalah saat ia mengambil air di sungai. Sungai yang mereka sebut Sungai Embun, karena airnya yang sangat dingin dan selalu diselimuti kabut tipis hingga menjelang tengah hari. Letaknya jauh dari pusat desa, dan jalan menuju ke sana melewati batas hutan bambu—sangat dekat dengan gudang padi.

Pagi itu, Mei Lan menunggu hingga udara benar-benar dingin, memaksakan dirinya untuk menunda keberangkatan sampai ia yakin Rho Jian sudah keluar. Ia mengenakan jubah katun tebal, membawa dua timba kayu, dan bergegas.

Langkah kakinya di jalan setapak bebatuan terasa berisik, memecah keheningan pagi yang hanya diisi suara gesekan daun bambu. Aroma dedaunan yang membusuk, tanah, dan air sungai yang dingin menyeruak.

Ketika ia mencapai sungai, hatinya mencelos. Pria itu sudah ada di sana.

Rho Jian—nama yang ia berikan pada pria itu dalam benaknya—berdiri membelakanginya, di atas sebuah batu besar yang selalu ia gunakan sebagai pijakan. Ia hanya mengenakan celana panjang gelap. Bagian atas tubuhnya yang atletis dan kokoh terpapar penuh. Punggungnya lebar, dengan lekukan otot yang keras dan nyata, membuktikan bahwa ia bukan petani atau pedagang biasa.

Namun, yang membuat Mei Lan tertegun bukanlah kekokohan tubuhnya, melainkan deretan luka yang menghiasi kulitnya. Bukan luka baru, melainkan parut-parut lama—bekas sayatan pedang yang rapi namun dalam, dan beberapa bekas luka bakar yang sudah memutih, seolah-olah seluruh kisah masa lalunya ditulis dengan tinta rasa sakit di punggung itu.

Jian sedang membersihkan bekas luka yang terlihat paling segar—sebuah sayatan panjang di sisi tulang rusuknya—menggunakan kain bersih yang dibasahi air sungai. Gerakannya efisien, tanpa keluhan, seolah sudah terbiasa hidup berdampingan dengan rasa sakit.

Mei Lan berdiri mematung di tepian, timbanya terasa berat. Ia harus batuk, membuat kebisingan, atau bergerak. Tetapi tubuhnya menolak, terlalu terpesona oleh pemandangan yang intim dan memilukan ini.

Setelah beberapa saat, Jian menyelesaikan ritual membersihkan lukanya. Ia membuang napas, memejamkan mata sejenak, lalu perlahan berbalik.

Saat itulah pandangan mereka bertemu untuk kedua kalinya, dan kali ini, dari jarak yang sangat dekat.

Jian tidak menunjukkan keterkejutan, hanya sedikit ketegasan yang menandakan ia tidak ingin diganggu. Matanya yang cokelat gelap memindai Mei Lan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tidak menatap dengan nafsu, melainkan dengan penilaian yang dingin, seperti seorang prajurit yang menilai potensi ancaman.

Mei Lan merasa malu, tidak hanya karena ia melihat bagian atas tubuhnya yang terbuka, tetapi karena ia ketahuan telah menatap lukanya terlalu lama.

“Selamat pagi,” ucap Mei Lan, suaranya sedikit serak, memecah keheningan. Ia mencoba terdengar netral.

Jian tidak membalas sapaan itu. Ia hanya mengalihkan pandangannya dari wajah Mei Lan ke timba yang dibawanya.

Setelah jeda yang terasa lama, Jian akhirnya berbicara. Suaranya rendah, serak, seperti bebatuan sungai yang terkikis air selama bertahun-tahun.

“Jika Kau ingin mengambil air, jangan berdiri di sana seperti patung. Kau menghalangi jalan.”

Kalimat itu dingin dan langsung, tanpa basa-basi yang biasa ada dalam tata krama pedesaan. Itu adalah teguran, bukan sapaan. Mei Lan merasa harga dirinya sedikit tersentil.

Ia memaksa dirinya untuk berjalan ke tepi sungai, menjejakkan kakinya di atas bebatuan licin yang terasa membeku. Ia menunduk, mengisi timba pertamanya dengan air. Gerakannya hati-hati, berusaha keras agar tidak ada percikan air yang mengenai pria itu.

“Kau bukan dari Desa Awan Jingga,” kata Mei Lan setelah berhasil mengisi timba pertama. Ia berbicara tanpa memandang Jian.

“Bukan urusanmu,” jawab Jian, kembali dingin. Ia mengambil jubahnya yang tergantung di dahan pohon dan memakainya tanpa tergesa-gesa.

Mei Lan menarik napas dalam. “Semua orang di desa ini adalah urusan orang lain. Apalagi seorang asing yang tinggal di Gudang Padi Terkutuk. Mereka akan bergosip.”

Jian tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Biarkan saja. Gosip mereka tidak akan merusak tidurku.” Ia mengencangkan simpul jubahnya, menyembunyikan semua parut dan kekokohan tubuhnya di balik kain gelap.

“Mereka akan mencari tahu siapa Kau,” desak Mei Lan, kini memberanikan diri menatapnya. “Kepala Desa Liang tidak suka hal misterius. Terutama yang berada di luar kendalinya.”

Jian menatapnya lurus. Matanya yang dingin kini sedikit melebar, ada jejak peringatan di sana. “Aku tidak melanggar aturan mereka. Aku tidak meminta apa-apa dari mereka. Dan aku tidak membutuhkan perlindungan mereka. Mereka tidak perlu khawatir.”

“Mereka khawatir,” balas Mei Lan, kini berbicara lebih lembut. Ia menatap bukan pada kedinginan di mata Jian, melainkan pada kelelahan di sana. “Mereka takut pada apa yang tidak mereka pahami. Dan Kau, terlalu sunyi untuk bisa dipahami.”

Jian terdiam. Keheningan yang terjadi terasa tebal dan penuh ketegangan, seperti udara sebelum badai. Kali ini, ia tidak menolak pandangan Mei Lan. Ia membiarkan wanita itu melihatnya.

“Dan Kau,” kata Jian perlahan, suaranya kini sedikit bernada tanya, bukan teguran. “Kau tidak takut pada apa yang tidak Kau pahami?”

Mei Lan mengangkat bahunya. “Saya takut pada apa yang saya pahami. Pada adat. Pada tuntutan. Pada janji palsu.” Ia memasukkan timba kedua ke dalam sungai, membiarkan air dingin itu merayap ke pergelangan tangannya.

“Saya adalah penenun,” lanjut Mei Lan, masih menatap Jian. “Saya menghabiskan hidup saya dengan untaian benang. Benang tidak pernah berbohong. Saya bisa merasakan kerapatan benang sutra yang bermasalah hanya dengan sentuhan. Dan Kau…” Ia berhenti, mencari kata-kata yang tepat. “Kau seperti untaian benang yang putus di tengah-tengah tenunan yang sangat rumit. Itu menarik perhatian saya.”

Jian menyipitkan mata. Ekspresi wajahnya yang biasanya kaku kini menunjukkan sedikit kekaguman, atau mungkin keheranan. Ia tidak menyangka gadis desa yang anggun ini bisa berbicara dengan metafora yang begitu tajam.

“Nama saya Mei Lan,” katanya, membungkuk sedikit tanpa melepaskan tatapannya.

Jian membalasnya dengan jeda yang singkat, tetapi kali ini, ia tidak menahan namanya.

“Rho Jian,” gumamnya, nyaris tidak terdengar.

Mei Lan tersenyum tipis, tulus. “Senang bertemu denganmu, Rho Jian.”

Jian tidak membalas senyuman itu. Ia hanya mengangguk kecil, hampir imperceptible, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju gudang padi. Dalam sekejap, ia menghilang di balik kerimbunan hutan bambu.

Mei Lan ditinggalkan sendirian di sungai. Air di timbanya terasa lebih dingin dari sebelumnya, tetapi ada rasa hangat yang aneh menjalar di dadanya. Ia tidak mendapat sambutan hangat, tidak mendapat kata-kata ramah. Hanya teguran dan pernyataan yang jujur. Namun, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa terlihat.

Ia telah melihat luka Jian, dan Jian telah melihat rasa sunyi di matanya. Itu adalah pertukaran yang adil, dan bagi Mei Lan, pertukaran itu terasa jauh lebih berharga daripada semua kata-kata manis yang pernah diucapkan calon suaminya yang dulu.

Mei Lan kembali ke desa, tetapi desa telah berubah menjadi sarang desas-desus.

Saat ia berjalan melewati pasar, para wanita tua yang biasanya sibuk memilih sayuran kini berbisik di balik tangan mereka. Kata kunci yang ia tangkap adalah: asing, gudang padi, berbahaya, dan Pengikat Takdir.

“Pengikat Takdir?” Mei Lan bergumam pada Nona Yuhe saat mereka kembali bekerja.

“Legenda lama, Mei Lan,” jelas Nona Yuhe, menggerus pewarna alami dari akar kunyit. “Setiap desa di lembah ini punya legenda tentang ‘Pengikat Takdir.’ Di desa kita, itu adalah legenda tentang tanda yang dibawa oleh seseorang dari luar, yang datang membawa perubahan—baik itu keberuntungan besar, atau kehancuran total.”

“Dan mereka mengaitkannya dengan pria di gudang padi?”

“Tentu saja. Siapa lagi?” Nona Yuhe menghela napas. “Lihat saja. Dia tinggal di tempat yang ditinggalkan. Dia terlihat seperti prajurit yang melarikan diri. Dia tidak ramah. Sudah pasti dia adalah Pengikat Takdir mereka, dan mereka menunggu kehancuran apa yang akan ia bawa.”

Mei Lan terdiam, mengingat luka-luka di punggung Jian. Luka itu bukan luka pembawa kehancuran; itu adalah luka korban kehancuran.

Sore itu, Shan Bo menunggunya di depan rumah. Ia membawa beberapa tangkai bunga seruni liar yang baru dipetik dari lereng bukit.

Shan Bo adalah pemuda yang baik. Wajahnya jujur, tangannya kasar karena bekerja di ladang, dan ia mencintai Mei Lan tanpa pamrih. Itu adalah masalahnya—cinta Shan Bo terlalu terbuka dan terlalu mudah dibaca.

“Kepala Desa Liang sudah mengatur pertemuan lagi untuk malam Festival,” kata Shan Bo, suaranya sedikit tegang. “Kau tidak boleh pergi, Mei Lan. Biar aku yang bicara dengan mereka.”

“Jangan, Shan Bo,” tolak Mei Lan dengan lembut, mengambil bunga itu. “Aku yang harus berhadapan dengan masalahku sendiri.”

Shan Bo menatapnya, matanya dipenuhi kecemasan. “Kau tidak sendiri, Mei Lan. Aku selalu di sini.” Ia ragu sejenak, lalu matanya menyipit penuh kecurigaan. “Apakah ini ada hubungannya dengan pria asing itu?”

Mei Lan terkejut. “Shan Bo, apa yang Kau bicarakan?”

“Jangan berbohong,” desak Shan Bo. “Aku melihatmu. Kau berdiri di dekat sungai saat fajar. Kau menatap ke arah hutan bambu. Aku tahu, Mei Lan. Aku tahu cara Kau menatap ke arah itu, sama seperti Kau dulu menatap... pada tunanganmu.”

Rasa sakit memukul Mei Lan. Pertunangan itu. Shan Bo selalu mengungkitnya secara tidak sengaja, menusuk luka lama yang ia coba sembunyikan.

“Shan Bo, itu tidak benar,” kata Mei Lan, suaranya menjadi dingin.

“Dia berbahaya, Mei Lan. Dia tidak akan membawa apa-apa selain masalah. Lihat saja gudang padi itu!” Shan Bo meraih pergelangan tangan Mei Lan, tatapannya memohon. “Tinggallah di sini. Aku akan menjagamu dari adat, dari Kepala Desa, dari semua orang. Jangan cari masalah di hutan bambu.”

Mei Lan menarik tangannya perlahan, tetapi tegas. “Terima kasih atas perhatianmu, Shan Bo. Tapi kau tidak bisa menjagaku dari diriku sendiri. Dan untuk pria asing itu, aku hanya menenun benang sutra. Itu saja.”

Ia masuk ke dalam rumah, meninggalkan Shan Bo yang berdiri terpaku di halaman, matanya menatap tajam ke arah hutan bambu, tatapan cemburu yang dalam dan beracun.

Di dalam, Mei Lan duduk di depan cermin kuningan. Ia menatap pantulan dirinya: gadis penenun yang anggun, pendiam, dan diikat oleh luka serta adat. Ia kemudian melihat ke sudut ruangan. Kain sutra yang ia tenun pagi ini memiliki beberapa helai benang yang longgar.

Jian. Rho Jian.

Sosok itu sudah menjadi bagian dari tenunan hidupnya, benang gelap yang disisipkan secara tidak sengaja, merusak kerapatan yang sempurna, tetapi juga membuat polanya menjadi lebih menarik dan jauh lebih rumit. Ia tahu nasihat Nona Yuhe benar, dan kekhawatiran Shan Bo tulus.

Tetapi malam itu, Mei Lan tidak bisa tidur. Ia bangkit, berjalan ke jendela, dan memandang ke arah hutan bambu. Bulan sabit yang tipis menggantung di atas atap gudang padi.

Di tempat terpencil di Desa Awan Jingga, ada dua jiwa yang sama-sama sunyi. Dan keheningan itu, bukannya menjauhkan, malah seolah-olah menciptakan resonansi yang menarik mereka. Luka lama Mei Lan—rasa malu, aib, dan sunyi yang dalam—kini menemukan cermin pada diri Rho Jian.

Ia tahu, ia tidak boleh kembali ke sungai itu. Ia tahu, ia harus menjaga jarak. Tetapi rasa rindu yang manis dan perlahan itu sudah mulai berakar di hatinya. Mei Lan memejamkan mata, merasakan dinginnya embun yang merayap dari lantai kayu.

Ia harus pergi ke sungai besok, setidaknya untuk memastikan pria itu baik-baik saja, setidaknya untuk memastikan lukanya tidak berdarah lagi. Itu adalah tugas kemanusiaan, bukan ketertarikan. Ia meyakinkan dirinya.

Namun, degupan jantungnya yang tak karuan di kegelapan malam mengkhianati alasan logisnya. Itu adalah panggilan sunyi, dan Mei Lan, si penenun, tidak pernah pandai menolak benang takdir yang sudah mulai terentang.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!