"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Baru
Bukankah setelah badai pasti akan muncul matahari? Begitulah seharusnya. Di tengah kemelut rumah tangganya yang belum menemui titik temu, Binar melengkungkan senyumnya saat mendapatkan pemberitahuan elmail. Antara percaya dan tidak percaya, ternyata dia diterima kerja di perusahaan yang sama dengan suaminya. Yap, mulai besok dia akan bekerja di Aksa Company. Rasa pesimisnya terbantahkan dengan dia diterima kerja di tempat ini. Kesalahpahaman itu diterima, menurutnya.
Binar meninggalkan ponselnya dan melemparnya ke atas ranjang dengan sembarangan, dia berjalan ke arah lemari pakaiannya dan mencari-cari baju yang bisa dia pakai untuk bekerja besok. Nihil, dikarenakan dia pindah ke rumah ini dengan keadaan tidak bekerja, maka semua baju kerja dia tinggalkan di rumah orang tuanya. Mau minta kirim orang tuanya juga tidak mungkin. Ngomong-ngomong, mengenai kembalinya dia bekerja pun kedua orang tuanya tidak tahu. Binar masih enggan memberi tahunya.
"Bagaimana kabarmu, nak? suamimu baik?" pertanyaan yang hampir pasti meluncur dari Ibunya dan ayahnya saat mereka berkomunikasi lewat ponsel.
"Baik, Bu, Yah" dan jawaban itulah yang muncul. Serta rentetan cerita bahagia yang dia karang sehingga orang tuanya tidak akan merasa sedih dengan keadaan dia yang sebenarnya.
Binar tersenyum pias, kembali menutup lemarinya.
Binar kembali melihat layar ponselnya dan memastikan sekali lagi bahwa informasi yang dia dapatkan benar adanya. Binar mencari kontak suaminya, mengetik sesuatu, lalu dia menghapusnya lagi. Baginya ini kabar yang menyenangkan, tapi entah jika untuk Tama. Binar masih dengan ponselnya, kali ini mengecek sisa tabungan pribadinya yang akan dia gunakan untuk "modal" bekerja. Binar masih bisa bernafas lega karena masih ada saldo yang bisa dia gunakan.
Tak banyak yang dia beli, kali aja nanti akan ada seragam tertentu dari kantor. Yang perlu disiapkan adalah untuk esok dan beberapa hari ke depan. Itu saja sudah cukup menguras kantongnya. Binar menenteng tas belanjaannya, berjalan-jalan untuk sekedar menikmati hari terakhirnya menganggur.
Bekerja adalah mimpinya saat ini, tapi dia harus belajar lagi dan menyesuaikan diri. Di tempat baru, dengan orang baru, dan yang membuat dia menahan nafas sejenak adalah mengingat orang berjas itu. Yang pernah dia temui di tempat ini. Ah.
***
Putra masih setia dengan ipadnya sambil mengecek jadwal yang ada di sana.
"Saya ingin bertemu dengan sekretaris yang baru, nanti sekalian bantu untuk mendeskripsikan kerjanya. Saya tidak mau dia bekerja dengan lambat, dia harus bisa mengikuti ritme kerja saya"
"Baik, pak" Putra mengangguk
"Oh ya Put, bagaimana dengan berita yang kemarin" Aksa berdehem, sebenarnya tidak ingin memikirnya secara serius, tapi ternyata juga mengusiknya.
"Masih sama, Pak"
Ck, padahal nanti malam Martin—laki-laki yang digosipkan dengan Aksa— mengajaknya menghadiri undangan. Aksa menarik nafas panjang, Martin adalah seorang selebgram yang banyak digandrungi penggemar, terlebih kaum hawa sekarang ini. Aksa mengenalnya di event setahun yang lalu, akhirnya menjalin hubungan pertemanan yang normal saja, saat hangout ya hangout, tidak ada yang aneh menurutnya. Entah gosip murahan dari mana yang membuatnya digosipkan menjalin hubungan terlarang dengan Martin.
"Padahal nanti malam ada undangan, dan setelahnya kita akan membahas kerja sama" Aksa memegang bolpoin dan memainkannya dengan tangan kirinya.
"Apakah Bapak juga memikirkan hal tersebut?"
"Sedikit," Aksa jujur.
"Mungkin, sekretaris baru bisa menjadi solusi Pak,"
"Maksudnya?" Aksa menatap Putra, asistennya yang berusia 27 tahun itu.
Binar memakai kemeja putih warna formal, dibalut dengan blazer warna hitam dan rok selutut warna hitam. Tidak lupa mengenakan sepatu dengan hak lancip dengan tinggi 7 cm. Binar memilih mengikat rambutnya agak tinggi.
"Selamat pagi, Pak" Binar memberikan salam sambil mengangguk. Putra mengekor di belakangnya. Untuk hari ini, Binar menyiapkan sejak semalam, yang paling utama adalah menyiapkan mental untuk bertemu dengan bosnya. Dan inilah. Tak lupa Binar menyunggingkan senyumnya, membuat image yang bagus di depan atasannya.
"Saya sudah membaca profil kerja kamu, nampak bagus, semoga tidak mengecewakan saya," Aksa menatap Binar dengan tatapan tegas, tatapan itu seolah sedang mengulitinya. Sementara dia menepikan pertemuan pertama dengan wanita yang ada di hadapannya itu. Dia masih mengingat bahwa dia dianggap bapak-bapak oleh wanita itu. Senyum kecilnya melengkung, lalu kembali pada berkas yang dia tanda tangani.
"Siapkan saja mentalmu, kita tidak hanya akan berjalan, bahkan kita akan berlari lebih dari sprint"
"Baik, Pak" Binar mengangguk.
Binar keluar dari ruangan tersebut menuju pantry, tidak ada tugas di luar tugasnya. Maksudnya tidak ada kewajiban dia menyiapkan kopi atau apa, murni masalah pekerjaan, dan haru siap dengan pekerjaan yang ada di luar kota apapun. Binar menyanggupi dari awal, toh Tama tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ah Tama, nama itu kembali di ingatannya. Ada di gedung berapakah suaminya itu.
Binar mengaduk kopi di cangkir putih, lalu dia duduk di kursi tak jauh dari sana. Menyesapnya sedikit demi sedikit. Panjang lebar dia mendengar penjelasan Putra mengenai jobdesk nya dengan Aksa.
"Malam ini Pak Aksa ada pertemuan bisnis setelah menghadiri undangan, jadi dampingi beliau.
"Malam Pak?" tanya Binar agak sedikit kaget.
"Ya, karena ritme bekerja Pak Aksa memang tidak bisa ditebak, kadang malam, kadang dinihari, sesuka hatinya, apakah keberatan mbak Binar? Putra memberi penekanan di kata terakhir.
Otak Binar tidak boleh kalah, dia harus mengambil resiko ini.
"Ada banyak bisnis yang tengah beliau pegang, biasanya beliau akan suka sidak di waktu sesukanya, maka dari itu pak Aksa berpesan agar mbak Binar selalu siap"
"Oh" Binar agak sedikit terkejut.
"Tapi Pak Aksa tidak sekejam itu kok, dia pasti akan memberi kelonggaran nantinya," Putra memberi kalimat penghiburan.
"Baik, Pak" Binar mengangguk.
Binar menyesap cairan kopi terakhir di cangkir itu, lalu mencuci cangkirnya dan mengembalikannya ke rak basah. Perlahan dia mengeringkan tangannya, lalu hendak kembali.
Sebuah suara menghentikan langkahnya, suara desahan yang khas dari balik dinding yang membatasi antara pantry dengan lorong. Nampak di depan netranya, ya, tidak salah lagi, itu adalah Tama dengan seorang perempuan tengah saling memagut.
Binar menatap kejadian tersebut dengan nanar, tapi tidak ada teriakan darinya, Dia masih tegar berdiri dan menyaksikan dengan seksama. Namun sayangnya wajah si wanita tidak terlihat olehnya.
Binar menarik nafas panjang, tangannya dan kakinya agak tremor. Meski sudah mengikhlaskan semuanya, namun ternyata nyesek juga melihat pemandangan barusan. Feelingnya tidak salah, Tama main serong di belakangnya. Tama memiliki cinta yang lain. Tama tak lagi menginginkannya. Binar kembali menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, bermaksud menenangkan dirinya sebelum menemani Aksa rapat siang ini.