“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13
"Semoga saja aku bisa berduaan di dalam sana," gumamnya Ardhanza yang memperbaiki letak handuk kimono putih yang dipakainya.
Ardhanza hendak masuk ke dalam kamar pribadi Ardhanza yang ada di ujung ruangan khusus di dalam ruangan kerjanya Ardhanza, tapi Ardhila buru-buru berbicara untuk mencegah kakaknya mengekor hingga ke dalam.
“Kakak mau kemana?” Tanyanya Ardhila yang berpura-pura tidak tahu tujuannya Ardhanza.
Ardhanza seketika itu mengerem laju langkah kakinya,” mau ganti baju, kenapa emangnya?”
Inara diam-diam memperhatikan pembicaraan kakak beradik itu sambil memakai pakaiannya tapi raut wajahnya terlihat menahan kekesalannya.
“Brengsek! Aku harus kembali menemui kakek aki-aki itu untuk menambah dosis ramuan cintanya, tapi masalahnya aku harus membayar obatnya dengan membahagiakannya di atas ranjang. Masa tubuhku yang cantik dan seksi ini dengan perawatan ratusan juta harus aku serahkan pak tua bagkotan itu dijamahnya.”
Inara memasang telinganya dengan baik-baik secara diam-diam, pura-pura sibuk merapikan gaunnya padahal dia sedang memperhatikan percakapan kakak-beradik itu dari pantulan cermin besar di ruangan pribadi Ardhanza.
Senyumnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan badai yang ditahan paksa agar tidak sampai ketahuan oleh orang lain apa yang dipikirkannya saat ini.
Begitu pintu tertutup dan keduanya pergi, raut wajahnya berubah, rahangnya mengeras, alisnya menegang, suaranya mendesis penuh amarah.
“Brengsek…” makinya dalam hati.
Inara sampai melempar ponselnya ke atas sofa saking kesalnya dengan calon adik iparnya itu yang selalu menjadi pengusik dan pengacau rencananya.
“Kalau begini caranya, aku harus balik lagi menemui kakek aki-aki itu harus nambah dosis dari ramuan cintanya. Biar Abang Ardhanza nggak melirik perempuan lain selain aku. Kalau bisa aku meminta obat untuk kedua adiknya dan omanya agar cepat-cepat merestui hubungan kami dan menurut apapun yang aku katakan.”
Tangannya terhenti di resleting gaunnya, menahan jijik dan marah yang bersamaan datang membuatnya semakin geram.
“Oh Tuhan… bayarnya harus pakai diriku. Harus bikin dia senang di ranjang. Hah! Masa tubuh secantik ini, yang aku rawat ratusan juta sebulan, harus disentuh sama lelaki tua bau tanah itu?” kesalnya tertahan.
Inara menunduk, menahan kekesalannya yang berubah menjadi api dendam yang semakin tertanam di dalam hatinya.
“Sialan!! semua demi mempertahankan Ardhanza sang duda kaya raya tajir melintir aku nggak bakalan sudi melakukan hal ini, amit-amit jabang bayi deh disentuh oleh pria tua itu. Semua demi memastikan aku tetap jadi satu-satunya di hidupnya makanya semuanya butuh pengorbanan yang tak sedikit,” cicitnya.
Ia menghapus air matanya cepat-cepat, seolah malu terlihat lemah bahkan oleh bayangan dirinya sendiri didalam cermin besar yang ada di hadapannya.
“Nggak ada yang boleh merebut dia dariku dan tidak ada berlaku untuk selamanya, sekalipun aku harus masuk ke neraka untuk mempertahankannya, aku akan lakukan.” tekadnya.
Di dalam pantulan cermin tersebut, senyuman dingin mulai muncul menggantikan amarahnya yang menggebu-gebu.
Dan Inara sudah siap menjalankan rencananya yang sudah disusunnya jauh-jauh hari sebagai langkah selanjutnya.
Ardhila berdiri dari posisi duduknya,”kakak, bukannya Mbak Luna di dalam sana sedang berganti pakaian dan kalian bukan suami istri belum waktunya berduaan loh, apa kakak nggak takut kalau Oma Hilda tahu apa yang selama ini kakak lakukan.”
Ardhanza mengerang kesal karena rencananya ingin berduaan dengan kekasih hatinya calon istrinya itu. Ardhanza tidak bakalan berkutik jika nama neneknya yang disebut.
Ia melihat tajam ke arah adik pertamanya itu,” jangan sampai apa yang kami perbuat kamu laporkan kepada Oma Hilda. Kalau tidak aku nggak bakalan restui kamu dengan Rifki.”
Ardhanza malah balik mengancam adiknya itu, tapi Ardhila malah tertawa terbahak-bahak mendengarnya sama sekali tidak terbebani oleh gertakan kakaknya itu.
Ardhila kembali menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas sofa dengan santai,” aku nggak takut, kalau mas Rifki keberatan dan memutuskan hubungan perjodohan kami gampang kok tinggal cari pria lain yang lebih baik dari dia.”
Ardhila memainkan kukunya dan masih tertawa kecil melihat kemarahan kakaknya yang tak bisa dilampiaskan.
Inara marah dalam hatinya mendengar pembicaraan mereka,” fuck you! Kenapa juga anak itu harus muncul dan mengatur-ngatur urusan kami. Kalau dia nggak muncul kami pasti sudah merasakan kebahagiaan dan bakalan dinikahkan secepat mungkin.”
Ardhanza bergantian mengganti pakaiannya dengan Inara di dalam ruangan, setelah Ardhila melarang Ardhanza kakaknya bersama dengan Inara perempuan yang tak pernah disukai olehnya.
Inara memperlihatkan senyuman termanisnya ketika berjalan ke arah sofa tempat Ardhila duduk.
“Maafin, yah… kami mungkin kelepasan jadi nggak sadar,” ucap Inara lembut sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, tepat berhadapan dengan Ardhila yang sedang memainkan ponselnya di atas meja.
Ardhila mengangkat wajah sepintas lalu kemudian tanpa sedikit pun terlihat senyumannya, tatapannya dingin dan jelas-jelas menatap jengah Inara.
“Kelepasan atau kebablasan itu terjadi karena kemauan kalian sendiri, bukan karena keadaan. Jangan menyalahkan keadaan, Mbak. Seharusnya Mbak sadar kalau apa yang kalian lakukan itu sangat salah besar. Kalian bukan muhrim dan belum menikah, paham kan ucapanku.”
Inara berpaling sekilas, pura-pura mengedipkan matanya agar terlihat tenang, padahal rahangnya mengeras menahan kesal.
“Bullshit! Bocah kecil sok suci ceramahin aku. Memangnya aku minta dia kasih tahu mana yang baik dan nggak baik, nggak kan? Gayanya kayak ustadzah saja sok mendidik orang,” batinnya menggerutu tajam.
Namun di wajahnya, senyum manis tetap terpampang nyata makin besar, makin palsulah raut wajah itu.
“Ardhila sayang,” suara Inara terdengar lembut, nyaris seperti memohon.
“Nggak ada yang sempurna dalam hidup ini. Kami sama sekali nggak bermaksud buruk. Tadi semuanya terjadi begitu saja.” kilahnya Inara.
Sementara dalam hatinya, “Kalau bukan adik Ardhanza, udah dari tadi aku tampar nih anak biar tahu diri. Sok peduli, padahal cuma cari masalah saja denganku. Percuma cantik kalau mulutnya nggak bisa dijaga.”
Inara tetap menampilkan wajah ramah, seolah sama sekali tidak tersinggung.
Padahal batinnya sudah berkobar seperti bara api yang menyala-nyala.
Inara masih memasang senyum ramah yang keterlaluan lebarnya, seolah sama sekali tak terusik oleh ucapan barusan.
Padahal jemarinya yang bersedekap di pangkuan sudah mengepal sampai buku-buku jarinya terlihat memutih.
“Astaga, Ardila… kamu kok serius banget sih ngomongnya,” suara Inara terdengar lembut, dibuat-buat seramah mungkin, bahkan seperti sedang menenangkan seorang anak kecil.
“Aku dan Abang nggak ada niat buruk kok. Semua terjadi begitu saja. Yang penting kan hati kami saling mencintai apa itu nggak cukup?” Tanyanya Inara.
Ardhila meletakkan ponselnya, menatap lurus tanpa ada senyuman dan tanpa ada sekedar basa-basi.
“Cinta bukan alasan untuk melakukan dosa, Mbak. Kalau benar cinta, kenapa nggak dijaga sampai halal? Atau jangan-jangan kamu lebih takut kehilangan momen daripada menjaga kehormatan kamu sendiri?” ujarnya yang bernada menyindir.
Inara hanya terkekeh pelan, gaya anggunnya sama sekali tak runtuh.
Namun dibalik kepalanya banyak kata yang terucap dalam diamnya memerankan karakter calon istri yang baik hati dan santun.
“What the hell!? Anak kecil sok suci! Sadar nggak sih siapa aku? Aku calon kakak iparmu! Bukannya hormat malah ceramah panjang lebar. Memangnya aku minta diajari norma hidup?” Inara membatin.
Sesekali tatapan matanya tertuju kepada arah pintu keluar ruangan pribadi CEO Ralf Dewantara Corp,tapi orang yang diharapkan muncul malah tak terlihat batang hidungnya.
“Oh please… kalau bukan karena Ardhanza punya adik model begini, hidupku pasti lebih tenang. Baru juga mau hidup enak, udah ada saja pengganggu. Tunggu ya, bocah kalau kamu pikir bisa menjatuhkan aku, kamu salah besar dan aku bukan lawan yang kamu bisa remehkan dan rendahkan.” Inara membatin.
Senyum Inara kian melebar, seperti iblis yang bertopeng malaikat yang terus berpura-pura bermain peran.
“Ardhila, Mbak ngerti kok kamu sayang sama Abang kamu. Tapi jangan salah paham dulu ya. Aku nggak pernah ingin menjerumuskan siapa pun. Apa yang terjadi antara aku dan Abang, terjadi karena perasaan bukan karena aku merencanakan hal buruk.” imbuhnya Inara.
Ardhila menghela napasnya dengan panjang, jelas tak berpura-pura jadi perempuan yang manis itu.
“Mbak Inara, aku cuma mau Abang bahagia dengan cara yang benar. Dan kalau Mbak benar-benar sayang sama Abang berhentilah membuatnya menodai diri karena hawa nafsu. Kalau hubungan ini mau berlanjut jadikan halal. Kalau nggak, sudahi dan hal itu simple.” tuturnya.
Hening satu detik, dua detik dan tiga detik.
Inara masih tersenyum, tetapi tatapan matanya menusuk seperti pisau.
“Berlagak paling suci, paling peduli, paling ngerti semua aturan. Kalau kamu pikir omongan kamu bisa menghentikan aku, itu hanyalah mimpi! Aku akan menikahi abangmu, entah kamu suka atau nggak. Dan kalau perlu, aku pastikan kamu bakal menyesal sudah ikut campur.” monolognya Inara.
Namun yang keluar dari mulutnya justru nada lembut penuh kepalsuan:l, “Terima kasih sudah mengingatkan, Ardhila… Mbak bakal pikirkan semuanya.”
Ardhila mengangguk, tapi hatinya tahu, perempuan di depannya bukanlah sosok manusia yang berhati baik seperti yang ingin ia tunjukkan namun manusia yang hidup dalam topeng kebohongan dan kemunafikan.
Dan Inara pun kembali bersandar santai, tetap tersenyum, terlihat manis dan pastinya tetap munafik. Dengan rencana jahat berdiam diri di balik sorot matanya.
Beberapa saat kemudian..
Inara diantar oleh Ardhanza hingga ke apartemennya. Awalnya Inara ngotot ingin ikut ke rumah sakit swasta bertemu dengan Pak Herman tapi, karena Dirga dan Alice sekretaris dan asisten pribadinya Ardhanza, Ardila ikut dalam mobil yang sama sehingga kemauannya itu ditolak mentah-mentah.
“Maaf yah Mbak Inara nggak bisa ikut soalnya ini urusan pekerjaan bukan mau healing jadi Mbak lain kali saja ikutan bersama kami,” bisiknya Ardhila ketika Inara berjalan di depannya.
Inara hendak menimpali ucapannya Ardhila tapi, karena Ardhanza menatapnya tajam sehingga Inara terdiam dan hanya memperlihatkan senyumannya sedangkan Dirga dan Alice saling pandang dan ingin tertawa melihat kejengkelan Inara yang tertutupi senyuman termanisnya.
Ardhanza dan rombongannya berjalan ke arah ruangan meeting dengan pengelola rumah sakit milik pemerintah dan kepala rumah sakit tersebut.
Ardhanza berjalan cepat-cepat ke arah ruangan Pak Herman, tapi tiba-tiba dari arah berlawanan tanpa terduga ada seseorang yang berjalan cepat menuju ke arah loby rumah sakit. Hingga tabrakan tak terelakkan.
Bruk!!
Prang!!
“Argh tidak mau jatuh!” Teriak orang itu yang tubuhnya terjungkal ke arah belakang.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.