⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 7
"Nah nice, tempat parkir gue aman," ucap Aluna sambil memarkirkan mobilnya dengan senyum tipis.
Ia keluar dari mobil dengan langkah tegap, sepatu berderap di lantai lorong kelas yang mulai ramai.
“Pagi, Aluna,” sapa beberapa siswa.
“Hmm,” balas Aluna datar tanpa menoleh, langkahnya lurus, tatapan ke depan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi seperti biasa.
“Hari ini olahraga?” tanyanya pada Risa.
“Yoi,” jawab Risa sambil menyandarkan kepala di meja, malas.
“Davin masuk hari ini?” tanya Aluna lagi.
“Kayaknya,” sahut Tari dari belakang.
“Where’s he?”
“Belum datang kayaknya. Lo kangen sama Davin? Nanyain mulu,” goda Risa dengan tawa kecil.
“Biasa aja,Lo kenapa mager banget?” tanya Aluna, tatapannya lurus ke arah lapangan basket.
“Lagi dapet gue,” jawab Risa lemas.
“Gitu ya.” Aluna duduk di kursinya dengan elegan, lalu membuka novel, jari-jarinya mengetuk pelan meja.
“Al, papa lo belum nikah lagi?” tanya Tari tiba-tiba.
“Hmm, kenapa?” Aluna menoleh singkat.
“Jodohin sama ibu gue,” jawab Tari enteng.
“Nggak akan mau dia,” ucap Aluna tanpa ekspresi, matanya tak lepas dari halaman novel.
“Kenapa? Cantik anjir emak gue,” ujar Tari sambil tertawa.
“Entah lah, dia nggak mau cari cewek,” balas Aluna datar.
“Kenalin dulu!”
“Nanti gue coba,” sahut Aluna sambil tetap fokus membaca.
Tiba-tiba Davin dan Ray masuk kelas. Suasana langsung berubah sunyi. Ada hawa dingin, seperti mereka membawa aura dominan yang bikin semua orang menunduk.
“Hay, Aluna,” sapa Davin sambil mencolek dagunya dengan gaya menggoda.
“Apa kabar?” tanya Aluna tanpa emosi.
“Gue selalu baik,” jawab Davin terkekeh.
“Kenapa lo, Sa?” tanya Davin ke Risa.
“Sakit perut gue,” ucap Risa memegangi perutnya.
“Ke UKS yuk,” ajak Davin lembut.
“Gendong,” manja Risa.
“Dih,” seru Aluna sambil memutar bola matanya.
“Oke,” jawab Davin sambil merangkul Risa keluar kelas.
Beberapa menit kemudian, pelajaran olahraga dimulai. Lapangan basket penuh sorak-sorai.
Aluna mengikat rambutnya tinggi, poni lurusnya tetap sempurna. Gerakannya cepat tapi tetap elegan.
“Ayo main,” ajak Ray dengan senyum menggoda.
“Mau lawan gue?” tanya Aluna dengan tatapan tajam.
“Sure,” jawab Ray menantang.
“Ok.” Aluna menaikkan satu alis, tanda siap tempur.
Pertandingan berlangsung sengit. Bola berpindah cepat dari tangan ke tangan. Saat Davin datang, Aluna mendengus.
“Kok ada lo sih?” tanyanya kesal.
“Biarin,” jawab Davin, tersenyum santai.
“Nggak seru bertiga,” keluh Aluna ketus.
“Gue ikut,” tiba-tiba suara asing terdengar. Baskara berdiri di tepi lapangan.
“Lo siapa?” tanya Davin dingin.
“Gue murid baru. Kalo boleh mau gabung.”
“Nggak usah, nggak nerima teman baru,” potong Aluna dingin.
Davin menyeringai sinis. “Seru kayaknya,” katanya.
“Maksud lo?” tanya Baskara menantang.
“Lo lawan Aluna dulu deh. Kalo lo menang, lo masuk geng. Kalo kalah… siap-siap aja,” ucap Davin sambil melempar bola ke arah Baskara.
“Ok,” jawab Baskara, menatap Aluna lurus tanpa gentar.
Pertandingan dimulai.
Aluna memutar bola di ujung jarinya. "Berharap apa lo, dari geng kita?” ucapnya, lalu menembak bola dengan presisi sempurna.
“2-0!” sorak Davin.
“Jago juga lo,” ucap Baskara ketus.
Mereka lanjut bermain.
“Seru kayaknya di geng lo bisa bully orang,” ucap Baskara sinis, lalu membalas tembakan.
“2-2,” teriak Davin lagi.
“Oh ya? Kalo gitu coba ini,” Aluna menembak dari jarak jauh—dan masuk.
“5-2.”
“See? The game is beginning,” ucap Aluna dengan senyum sinis yang dingin, cukup buat bulu kuduk berdiri.
“Shit,” gumam Baskara pelan.
“Kita mulai sayang, ada umpan baru,” ucap Davin sambil merangkul Aluna dari belakang.
“Bikin gue semangat hidup, tau nggak,” balas Aluna sambil tersenyum kecil.
“Lo senyum, Al. Lo senyum!” seru Ray terkejut.
“Sial, cantik juga dia kalau senyum,” pikir Baskara.
“Tunggu pulang sekolah,” bisik Aluna di telinga Baskara sebelum pergi.
Baskara hanya terpaku, menatap punggung Aluna yang menjauh dalam rangkulan Ray.
“Lo ngapain sih, Bas?” tanya Robi.
“Seru anjir,” jawab Baskara, memainkan bola di tangannya.
“Seru apaan? Mereka itu monster!” panik Robi.
“Udah terlanjur. Tadi gue mau kalahin cewek sialan itu, malah jago banget dia,” kesal Baskara.
“Aluna itu jago segalanya, Bas! Basket, voli, panahan, bahkan nembak!” ujar Robi gemetar.
“Udah, terlanjur. Gue hadapi,” ucap Baskara dingin.
Sore harinya, Aluna dan teman-temannya duduk di mobil Baskara.
“Itu mobil gue,” ucap Baskara.
“Siapa bilang Mobil kita,” balas Aluna santai sambil memain-mainkan kukunya.
“Ya awas, gue mau pulang!”
“No, lo lupa kita ada janji pulang sekolah,” jawab Aluna tajam.
“Terus gue harus ngapain?”
“Ikuti kita. Ray, masuk—takutnya dia kabur.”
“Ok, babe,” ucap Ray dengan senyum tengil.
Perjalanan membawa mereka ke sebuah kafe mewah.
“Kita pesan, lo yang bayar,” ucap Aluna, bersandar di sofa, melipat tangan di dada.
Baskara menelan ludah. Wajahnya pucat. Makanan di kafe itu bahkan lebih mahal dari uang jajannya seminggu.
“Ada yang lain nggak?” tanyanya gugup.
“Nggak ada. Ini baru awal,” jawab Aluna tenang tapi mengancam.
Baskara buru-buru menghubungi ayahnya, untungnya langsung ditransfer.
Mereka makan pun dengan menu yang mahal.
“Udah nggak sakit?” tanya Davin pada Risa.
“Nggak,” jawab Risa tersenyum.
“Makan yang banyak, mumpung gratis,” bisik Davin sambil nyengir.
“Kenapa lo nggak makan?” tanya Tari pada Aluna.
Aluna hanya menatap Baskara tanpa ekspresi. “Ada duit nggak buat bayarnya?” tanya Aluna datar.
“Ada, tenang aja.”
“Makan punya gue. Lo pasti laper. Gue nggak laper.”
“Nggak, gue masih kenyang.”
Aluna menatap teman-temannya yang sudah selesai makan.
“Kita pulang, gaes,” ucapnya, lalu berdiri anggun dan melangkah pergi.
Baskara menghela napas, lalu memakan sisa makanan Aluna.
Saat Aluna keluar dari kafe, ia bertabrakan dengan seorang wanita.
“Kalo jalan liat-liat dong!” bentak wanita itu.
“Tante yang nggak lihat, fokus ke HP,” balas Aluna ketus.
Wanita itu menoleh cepat tak menyangka dengan jawaban Aluna.
“Kamu kurang ajar ya!”
“Loh, aku cuma bilang kenyataan. Kenapa tante marah?” balas Aluna sinis.
Wanita itu—Vera—menatapnya kesal.
“Minta maaf setidaknya!” katanya tegas.
“Nggak, aku nggak salah. Iya kan, gaes?” tanya Aluna pada teman-temannya.
“Iya, Tante yang fokus ke HP,” jawab Davin.
“Jadi aku yang harus minta maaf, gitu?” tanya Vera ketus.
“Nggak juga, udah aja. Kelar harusnya nggak usah banyak bicara,” balas Aluna santai.
Vera memutar bola matanya. “Kamu nggak dididik orang tua kamu ya?” bentaknya.
“Papa aku sibuk,” jawab Aluna tenang.
“Ibu kamu mana? Kamu nggak punya ibu ya?”
Ucapan itu seperti petir di dada Aluna.
Teman-temannya saling pandang, tahu betapa rawannya topik itu.
“Kenapa bawa-bawa ibu saya?” tanya Aluna dingin.
“Karena kamu kurang sopan. Apa ibu kamu ngga ngajarin kamu?”
“Ibu aku ngajarin kok. Tapi kan aku nggak salah. Ngapain juga minta maaf?” suara Aluna bergetar menahan marah.
“Hayu, Al,” ucap Ray lembut, meraih tangannya.
“Ekh bentar, kita belum beres,” kata Vera keras.
“Apalagi sih,” desis Aluna kesal.
“Kamu harus minta maaf!”
“Nggak mau!” teriak Aluna.
“Kurang ajar ya kamu!” Vera menampar Aluna keras.
Semua membeku.
Lalu dari arah parkiran—
“Aluna!” suara Axel menggelegar.
Ia berlari, wajahnya marah sekaligus cemas.
“Kamu apain anak saya?!” bentak Axel ke Vera.
Vera membeku. Baru sadar siapa gadis itu.
“Itu… itu anak kamu, Xel?” suaranya tercekat.
“Kamu gak apa-apa, sayang?” Axel mengusap pipi Aluna yang memerah.
“Siapa ini, papa?” tanya Aluna dingin, penuh amarah.
“Dia…” Axel terdiam, bingung menjelaskan.
“Pulang!” bentak Aluna, ia langsung masuk ke mobilnya dengan penuh emosi.
Axel menuruti, tapi Vera panik. “Ekh, Axel, tunggu!”
Aluna menginjak gas, nyaris menabrak Vera.
“Al, jangan!” teriak Ray dari jok samping.
Tapi Aluna tak peduli. Mobilnya melaju dan menyerempet Vera hingga terjatuh,ia mundur lagi ingin menabrak vera tapi axel menahan nya berserta ray dari dalam.
“Gila, anjir tuh cewek!” ucap Baskara sambil terkekeh.
“Anjing lo! Berani tampar gue, berani ambil papa gue!” teriak Aluna histeris di dalam mobil.
Axel keluar lagi, memberi uang ke tukang parkir. “Tolong bawa dia ke rumah sakit,” katanya cepat.
“Turun, sayang. Jangan nyetir saat emosi,” bujuk Axel.
“NGGAK!!” teriak Aluna keras.
“Aluna Kayara, cantik, turun dulu,” ucap Axel pelan, menahan sabar.
“Al, gue aja yang nyetir,” bujuk Ray.
“NGGAK!” Aluna menjerit, wajahnya merah penuh amarah.
“Al, buka pintunya, itu Papa lo,” ucap Ray lembut.
Tapi Aluna tetap menekan klakson keras-keras, memaksa Vera menyingkir.
Baskara hanya berdiri, tersenyum miring melihat semua kekacauan itu.
Beberapa orang sudah merekam kejadian dengan ponsel mereka.
Begitu Vera tersingkir, Aluna langsung melajukan mobilnya cepat sekali.
Axel mengikuti dari belakang, matanya cemas, hatinya kalut—takut kehilangan putri kesayangannya.
Bersambung....
tapi aku suka ama anaknya🤣