Xiao Chen, terlahir tanpa bakat sehingga ia sangat sulit berkembang. Dan pada akhirnya kehilangan ibunya.
Ketika ia sekarat dan akan mati. ia mendapatkan sebuah kristal aneh yang membuat dirinya kembali ke masa lalu untuk menghilangkan semua penyesalan.
Simak kisah perjuangan Xiao Chen dalam menghadapi kekejaman dunia terhadap orang tanpa bakat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Pedang Pertama dan Si Rambut Perak
"Kak, sepertinya kita harus meminta tabib mengobatimu sekalian. Luka dari cakaran monyet karena tendangan orang itu sepertinya kembali terbuka." ucap Jun Fei cemas saat melihat rembesan darah segar menodai pakaian Xiao Chen di bagian dada.
Xiao Chen meringis sedikit, namun ia menggeleng tegas. "Tidak perlu, Jun Fei. Ini hanya luka luar biasa. Tubuhku akan pulih sendiri seiring kultivasi. Lebih baik kita gunakan sisa uang ini untuk hal yang lebih penting, seperti kebutuhan Ibu dan senjatamu."
Mereka duduk menunggu giliran dengan sabar, mengabaikan tatapan sinis dari pasien kaya lainnya. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya nama mereka dipanggil.
Mereka masuk ke ruangan Tabib Zhou. Berbeda dengan kemewahan luar yang angkuh, ruangan kerja Tabib Zhou terasa hangat dan sederhana. Pria tua berjanggut putih itu tersenyum lembut, memancarkan aura ketenangan.
"Ada keperluan apa, anak-anak muda?" tanyanya ramah, tanpa sedikit pun nada merendahkan.
Xiao Chen maju dan membungkuk hormat. "Tuan Zhou, saya ingin memohon Anda untuk datang ke rumah kami di pinggiran hutan. Ibu saya sakit parah. Saya akan membayar jasa Anda."
Xiao Chen meletakkan empat koin emas di atas meja—hampir seluruh sisa uang tunai koin yang ia miliki selain Batu Qi.
Tabib Zhou menatap koin emas itu, lalu menatap mata Xiao Chen dan Jun Fei bergantian. Ia melihat ketulusan dan kepedihan di sana. Ia tersenyum, lalu mengambil dua koin saja dan mengembalikan sisanya.
"Anak yang luar biasa. Di usia semuda ini, kalian sudah memiliki uang sebanyak ini demi orang tua. Simpan dua koin ini. Dua koin sudah lebih dari cukup untuk biaya kunjungan dan obat awal," ucap Tabib Zhou bijak. "Setelah klinik tutup sore ini, aku akan segera datang ke sana. Kalian boleh menunggu di kota atau pulang duluan."
Xiao Chen dan Jun Fei saling tatap, mata mereka berbinar. "Terima kasih, Tuan! Saya sangat berterima kasih atas kebaikan hati Anda!"
"Ini memang tugasku sebagai tabib, Nak. Menyembuhkan bukan hanya soal uang, tapi soal kemanusiaan." balas Tabib Zhou.
Setelah urusan dengan Tabib Zhou selesai dan hati mereka terasa lebih ringan, Xiao Chen dan Jun Fei keluar dari klinik untuk berjalan-jalan di kota.
Mereka mampir ke pasar, membeli kebutuhan yang selama ini hanya bisa mereka impikan: beberapa kilo daging segar, sayuran hijau, beras berkualitas, dan pakaian kain katun yang nyaman untuk menggantikan kain perca mereka.
"Sekarang, ayo kita beli hal terpenting untukmu." kata Xiao Chen, menunjuk ke sebuah toko senjata besar bernama 'Paviliun Besi Tempa'.
Mereka masuk ke sana. Aroma besi dan oli menyengat hidung. Pegawai toko awalnya melirik malas, mengira mereka pengemis. Namun, ketika Xiao Chen dengan santai menepuk kantong uangnya yang berbunyi gemerincing, sikap pegawai itu berubah 180 derajat menjadi sangat ramah.
"Silakan, Tuan-Tuan Muda! Kami punya koleksi terbaik!"
Xiao Chen menyuruh Jun Fei memilih. "Pilihlah, Jun. Gunakan instingmu. Senjata adalah perpanjangan jiwa seorang kultivator. Aku yakin kau akan menemukan yang memanggilmu."
Jun Fei berjalan menyusuri rak-rak senjata. Matanya melewati kapak besar, tombak, dan pedang-pedang lebar yang berat. Hingga akhirnya, langkahnya terhenti di sudut ruangan.
"Yang itu, Kak!"
Jun Fei menunjuk sebuah pedang lurus yang ramping. Bilahnya tidak terlalu panjang, namun terbuat dari Baja Dingin yang memancarkan kilau kebiruan. Gagangnya sederhana, dibalut kulit hitam yang kokoh.
"Pilihan yang bagus. Itu pedang yang mengutamakan kecepatan dan presisi, bukan kekuatan kasar." komentar Xiao Chen setuju.
"Harganya dua koin emas dan lima puluh perak, Tuan Muda." ucap pegawai toko.
Xiao Chen merogoh sakunya. Itu tepat menghabiskan sisa koin emas dan perak hasil "pajak" preman kemarin. Ia membayarnya tanpa ragu. Kini kantongnya kosong dari emas, hanya tersisa Batu Qi yang ia sembunyikan untuk kultivasi.
"Terima kasih, Kak!" Jun Fei memeluk pedang itu seolah itu adalah harta karun terbesarnya. Melihat senyum tulus adiknya, Xiao Chen merasa puas. Investasi ini sangat murah untuk mendapatkan loyalitas seorang jenius pedang masa depan.
Mereka berjalan pulang melewati gang samping untuk memotong jalan. Tiba-tiba, suara keributan menghentikan langkah mereka.
BUGH!
"Mati kau! Jangan bersikap sok dingin dan bisu di hadapan kami, keparat!"
Di sebuah gang sempit, tiga anak berusia belasan tahun sedang memukuli seorang bocah kecil yang terlihat baru berusia tujuh tahun.
Xiao Chen dan Jun Fei menepi, memperhatikan dari balik tumpukan kotak kayu.
Bocah yang dipukuli itu memiliki penampilan yang sangat mencolok: rambutnya berwarna perak kusam, kulitnya pucat seperti mayat, dan pakaiannya compang-camping.
Namun, yang membuat Xiao Chen merinding bukanlah penampilannya, melainkan ekspresinya.
Meskipun ditendang di perut dan wajahnya lebam, bocah itu tidak menangis, tidak berteriak, dan tidak berekspresi. Matanya kosong, sedingin es, menatap para pengeroyoknya seolah-olah mereka hanyalah debu yang tidak berarti.
Xiao Chen membelalakkan matanya. Ingatan masa depannya berputar cepat.
"Rambut perak... Ekspresi mati rasa... Aura dingin yang belum bangkit itu..." gumam Xiao Chen.
Ia mengenali bocah itu.
Di masa depan, bocah ini dikenal sebagai "Asura Es Tanpa Jiwa" seorang pembunuh bayaran legendaris yang pernah membekukan satu kota hanya karena suasana hatinya sedang buruk.
"Itu dia... Ye Han."
Xiao Chen menyeringai lebar, sebuah ide gila kembali muncul di kepalanya.
"Jun Fei," bisik Xiao Chen. "Siapkan pedang barumu. Kita akan menambah satu lagi anggota keluarga."