Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBELAS : MENGGODA MANDALA
Gita tertunduk sejenak, sebelum memberikan piring berisi makanan kepada Mandala. Setelah itu, dia berlalu mengambil segelas teh hangat, kemudian menyajikannya ke hadapan Mandala, yang sudah duduk di salah satu meja.
Keheningan berlangsung. Mandala fokus pada makanan yang sedang disantap sedangkan Gita duduk terdiam dengan wajah sedikit menunduk, menatap sepasang kaki lancip dengan jemari bersih, bagai wanita yang sering melakukan perawatan di salon kecantikan mahal.
Sejoli itu larut dalam pikiran masing-masing. Tak ada perbincangan, seolah keduanya tidak saling mengenal. Baik Mandala maupun Gita, merasakan ada jarak yang teramat jauh, meskipun berada dalam satu ruangan.
Canggung, malu, atau entah apa sebutannya. Bibir dan lidah Gita terasa begitu berat untuk berucap. Padahal, dalam hati ada keinginan kuat untuk mengungkapkan banyak hal kepada Mandala, meski pria itu duduk membelakanginya.
Perlahan, Gita mengangkat wajah. Dipandanginya punggung tegap pria yang kini menjabat sebagai wakil mandor tersebut. Sebagai wanita normal, ada ketertarikan luar biasa dalam hatinya. Menggoda dan terus menggelitik keteguhan, menyuruhnya mengabaikan kepantasan serta etika.
Gita mengembuskan napas pelan. Gadis cantik bermata indah itu terus melayangkan tatapan kepada Mandala, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun gerakan si pria.
“Mas Maman ….”
Mandala yang baru selesai minum, terdiam sejenak. Namun, dia tidak menoleh.
“Aku ….” Gita menggigit bibirnya, tak berani melanjutkan kata-kata yang akan diungkapkan.
“Jadi berapa semua?” tanya Mandala, seraya berdiri dari duduk. Dia berbalik, lalu mendekat kepada Gita yang ikut berdiri.
“Aku ingin bicara,” ucap Gita lirih. Ditatapnya Mandala dengan sorot penuh arti.
“Aku ingin membayar,” ucap Mandala menanggapi datar.
“Setelah membayar, Mas Maman pasti langsung pergi dari sini.”
“Kenapa aku harus berlama-lama di sini? Aku kemari hanya untuk makan.”
Entah mengapa, perasaan Gita jadi begitu rapuh. Bagaikan ranting kering yang jatuh ke tanah, dia takut dipatahkan oleh keadaan. Namun, Gita tidak kuasa menahannya lagi.
Tiba-tiba, Gita menghambur ke pelukan Mandala. Dia mendekap erat pria itu sambil membenamkan wajah di dadanya. Gita seperti takut ditinggalkan.
Apa yang Gita lakukan justru membuat Mandala jadi serba salah. Dia tak langsung membalas pelukan gadis itu. Mandala hanya terpaku dengan sorot aneh.
“Ada apa?” tanya Mandala pelan dan dalam.
“Aku hanya ingin memelukmu, Mas,” jawab Gita, seraya terus membenamkan wajah di dada Mandala.
“Bagaimana jika ada yang melihat kita? Aku tidak mau berurusan dengan Pak Rais.”
“Aku tidak peduli. Lagi pula, kenapa dengan Pak Rais?”
“Gita, kamu ….”
“Aku dan Pak Rais memang memiliki hubungan istimewa. Tapi, bukan seperti yang semua orang pikirkan,” ucap Gita agak manja.
“Maksudmu?” Mandala sedikit menunduk, menatap Gita yang setengah mendongak padanya.
“Kami tidak pernah pacaran, Mas,” ungkap Gita serius, seraya melepaskan pelukannya.
Namun, Mandala hanya menanggapi dengan sorot aneh, seakan tak ingin menelan mentah-mentah pengakuan Gita.
“Aku tidak akan meminta Mas Maman untuk percaya. Akan tetapi, aku merasa perlu memberikan penjelasan tentang yang sebenarnya.”
“Apa kamu melakukan ini pada semua orang, yang mengira bahwa di antara kalian ada hubungan istimewa?”
Gita menggeleng yakin.
“Kenapa?”
“Aku merasa tak harus melakukannya. Lagi pula, aku tidak peduli dengan apa pun yang mereka pikirkan.”
“Lalu, kenapa kamu melakukan ini padaku?” Mandala menatap lekat gadis cantik berambut panjang itu.
Gita tidak langsung menjawab. Dia menelan ludah dalam-dalam, demi membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering karena rasa gelisah. “Aku takut Mas Maman berpikir buruk," ucapnya kemudian.
“Tentangmu?”
Gita mengangguk. Raut gelisahnya tampak begitu polos, menggambarkan usia muda yang terkadang labil dalam menentukan rasa serta keputusan.
Mandala tersenyum kecil, meski ekspresinya tetap mengesankan keseriusan. Sorot mata pria berkulit sawo matang itu juga benar-benar khas dan sulit ditebak.
“Baiklah. Aku menghargai apa yang kamu lakukan sekarang. Walaupun belum sepenuhnya memahami, tapi ….”
“Pak Rais adalah ayah angkatku, Mas,” ungkap Gita sungguh-sungguh.
Mandala sempat tertegun sejenak, sebelum kembali menguasai keadaan. Antara percaya dan tidak, bertarung dalam dada. Namun, di balik dua hal itu ada rasa penasaran yang cukup menggelitik keingintahuannya.
“Apakah ini rahasia atau ….”
Gita mengangguk.
“Kenapa?”
“Dia takut ada seseorang yang mengatakan itu kepada keluarganya,” jelas Gita pelan.
“Bukankah itu justru terlalu berisiko?”
“Aku hanya mengikuti apa yang Pak Rais putuskan karena beliau adalah penyelamatku.”
Mandala memicingkan mata. “Penyelamatmu? Dalam hal apa?”
Gita sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. Namun, diurungkan karena melihat isyarat dari Mandala, yang menempelkan telunjuk di bibir. Gadis itu menatap penuh tanda tanya.
“Siapa saja yang tidur di sini?” tanya Mandala memastikan.
“Hanya aku dan Ratih,” jawab Gita teramat pelan.
Mandala terdiam sejenak, barulah mengalihkan perhatian ke bagian dalam warung. Ditatapnya tangga menuju lantai dua, yang berada dekat pintu dapur.
Mandala melangkah hati-hati. Derap kakinya bahkan tak menimbulkan suara sama sekali, bagai penyusup yang sudah sangat terlatih. Begitu juga dengan bahasa tubuh pria berperawakan tinggi tegap tersebut. Mandala seperti bisa membaca situasi yang akan dihadapi.
Sementara itu, Gita hanya memperhatikan dengan ekspresi teramat serius. Dia tak tahu apa yang akan Mandala lakukan.
Sesaat kemudian, Mandala menoleh kepada Gita, setelah memperhatikan lantai dua dari dekat tangga. Dia menunjuk ke atas sebagai isyarat.
Gita mengangguk. Dia masih belum mengerti dengan sikap Mandala. Gita terus menatap keheranan, hingga pria itu kembali ke hadapannya. “Ada apa?” tanyanya pelan.
“Ada orang lain lagi di atas.”
Gita terdiam dengan tatapan aneh. “Um, si-siapa?” tanyanya.
“Kamu pasti lebih tahu,” jawab Mandala serius.
Gita jadi terlihat serba salah karena ucapan Mandala.
“Apa yang kalian lakukan setelah warung ini tutup?” tanya Mandala penuh selidik.
“Apa maksud Mas Maman?” Bukannya menjawab, Gita justru balik bertanya.
“Kamu tahu betul maksudku, Gita.”
Gita tidak menanggapi. Dia bagai kehilangan kata-kata.
“Apa yang harus kupercaya darimu?” Mandala menatap lekat. Ada rasa kecewa yang tersirat dari sorot matanya.
Mandala merogoh ke dalam saku celana jeans, mengeluarkan selembar uang pecahan senilai Rp20.000. “Ambil saja kembaliannya,” ucap Mandala, seraya berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Menyadari Mandala hendak pergi dari sana, Gita segera menutup pintu, menghalanginya agar tidak ke mana-mana.
“Apa-apaan ini, Gita?” Mandala menatap tak suka.
“Bisakah tetap di sini, Mas?” Gita menatap penuh harap.
“Untuk apa?”
Gita tidak menjawab. Dia makin mendekat ke hadapan Mandala. Diraihnya tangan pria itu.
Tanpa diduga, Gita meletakkan tangan, menahan dan sedikit menekan, seolah ingin membuat Mandala merasakan gumpalan daging yang membusung indah itu demi menggodanya.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua