Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I Wanna Grow Old With You
Seharian nangis nyatanya gak berdampak apapun pada masalah yang ada. Justru malah membuat wajah sembab dan berantakan. Sayang skincarenya mahal. Itu kata Adelina pagi ini.
Di depan cermin, ia mengamatai wajahnya. Mata sembab dan wajah yang tak karuan.
“Ya Allah ... wajah cantikku ...” gumamnya seraya menangkup kedua pipinya.
“Nyesel gue nangis mulu, jadi kayak babi gini ni muka.”
“Salah sendiri nangis mulu gak berhenti,” sahutku saat tengah memilih kemeja untuk kupakai ke kampus.
Pipinya menggembung mendengar ucapanku. “Gimana gak nangis, udah dibilang jalang, dikeluarin dari sekolah. Sial banget idup sekali doang!”
Aku menoleh. Pelan kuusap pucuk kepalanya. Gemas banget sama wajahnya yang mirip babi sekarang.
“Sekarang masih mau nangis lagi?” Dia menggeleng cepat.
“Kenapa? Kan masalahnya belum selesai?”
“Capek nangis mulu. Masalah gak kelar, malah bikin muka kayak babi. Sayang, skincarenya mahal.”
Aku mengacungkan jempol. Pinter juga ni anak.
Bel rumah berbunyi dibarengi dengan suara salam. Seorang perempuan, terdengar dari suaranya. Aku menatap Delina dengan alis yang terangkat. ‘Siapa pagi-pagi gini yang bertamu?’ seolah bertanya seperti itu padanya.
Dia mengangkat bahu lantas berjalan ke luar dari kamar. Tak lama terdengar suara berisik dari arah ruang tamu. Dari celah pintu kamar, aku mengintip siapa yang pagi-pagi begini datang ke rumahku.
Dua gadis yang tak asing lagi, Raina dan Senja. Dua gadis berbalut seragam SMA itu menangis bombay. Tampak Adelina yang sudah kembali menangis. Padahal baru saja dia bilang gak mau nangis lagi.
Dasar bocah!
...🍉🍉...
Lagu I Wanna Grow Old With You dari Westlife mengalun menemani perjalanan pagiku menuju kampus. Sesekali aku ikut menyenandungkan lirik demi liriknya. Wajah Delina terus terbayang dalam benakku, seakan lagu itu aku tujukan padanya.
I wanna grow old with you. Seakan mewakili perasaanku yang ingin terus bersamanya. Aku ingin menjadi saksi bagaimana ia nanti akan mengandung benihku dalam rahimnya. Bersama dengannya merawat buah hati kami. Aku ingin ia yang menemaniku saat rambutku memutih. Saat semua indraku tak lagi berfungsi dengan benar. Dan kemudian mati dalam dekapannya.
“Pagi, Pak!” sapa salah satu mahasiswi saat aku keluar dari mobil. Mahasiswi yang tak kutahu namanya itu tersenyum malu-malu.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Langkah lebar membawaku menuju ruangan dosen. Tempatku beristirahat dan memeriksa hasil kerjaan para mahasiswa. Tak sedikit tatapan menggoda yang dilempar ke arahku saat aku berjalan menyusuri lorong.
Tak hanya dari para mahasiswi, kadang beberapa dosen perempuan yang kurang belaian pun secara terang-terangan menggodaku. Bukannya seneng, justru aku malah risih dengan tatapan mereka. Keliatan banget jomblo karatan.
Aku menghempaskan tubuhku di kursi kerja. Melirik jam di pergelangan, lima belas menit lagi aku ada kelas. Kurogoh hape di saku celana. Memantau perkembangan gosip Adelina saat ini. Untunglah, semua sudah beres.
Akun gosip itu sudah membuat klarifikasi dan meminta maaf pada Adelina. Berita itupun sudah di hapus. Lumayan juga kerja si Ardan. Gak sia-sia aku bersahabat dengannya selama bertahun-tahun.
Aku beralih dari instagram ke aplikasi chatting. Mengetik pesan pada gadis yang saat ini sangat kurindukan. Aneh, padahal baru satu jam kami berpisah. Tapi, rasanya kayak udah setahun. Rindu banget.
Enaknya chat apa ya?
^^^Del.^^^
Centang dua abu-abu di bawah pesanku tak lama berubah warna biru. Aku mengulum senyum. Seneng rasanya. Padahal baru dibaca belum dibales.
Iya, Mas.
^^^Kamu pernah gak ditelpon sama orang yang lagi kamu rindu?^^^
Enggak pernah.
^^^Sama. Saya juga belum pernah.^^^
^^^Coba kamu telpon saya. Biar kita sama-sama tau rasanya.^^^
Adelina is calling
Sepuluh menit terakhir sebelum mengajar, habis untuk bertukar rindu dengan Adelina. Rasanya ada yang penuh di hati waktu bisa denger suara dia lagi. Kayak hape yang abis batre terus langsung ketemu colokan. Lega banget.
Hari ini aku ada dua kelas. Setelah selesai mengajar di salah satu kelas di jurusan tekhnik, ini kelas terakhirku lalu aku bisa segera pulang dan bertemu istriku. Gak sabar pengen cepet peluk dia.
Pelan kudorong pintu kelas. Di dalamnya para mahasiswaku sudah menunggu. Kakiku melangkah lebar menuju meja dosen di depan kelas. Salamku terjeda saat kurasakan celana bahan yang kugunakan ditarik-tarik pelan.
Aku terperanjat saat melihat siapa yang ada di bawah sana. Di kolong meja, gadis itu tengah duduk berjongkok sambil nyengir. Mata bulatnya mengerjap. Di tangannya ada sebuah kertas bertuliskan ‘Semangat ngajarnya Pak Dosen. Aku di bawah untukmu’.
DAMN!
Rasanya aku ingin mengumpat saat ini juga. Bagaimana bisa gadis nakal ini ada di bawah meja? Di kelas ini?
“Ngapain kamu di situ?” tanyaku pelan. Sangat pelan, nyaris tak terdengar oleh telinga.
“Ehem!”
Pandanganku segera beralih setelah mendengar deheman dari salah satu mahasiswa. Aku menatap mereka gugup. Apa mereka tahu keberadaan Delina di sini?
Cepat-cepat aku memberikan bahan yang telah kupersiapkan semalam lalu memberikan tugas dadakan pada mereka. Melihat mahasiswaku tengah fokus dengan tugas yang kuberikan, aku sengaja menjatuhkan pulpen ke bawah. Kemudian berjongkok untuk mengambilnya.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku pada Delina.
Antara senang dan takut. Senang karena aku bisa menatap wajah yang sedari tadi kurindukan beberapa jam lebih cepat. Dan takut jika ada yang tahu keberadaan Delina di sini. Apalagi berita tentangnya baru saja meredam.
Gadis dengan bando di kepala itu menyuruhku mendekat. Kemudian menempelkan bibirnya di telingaku. Glup. Sentuhan ringan saja mampu membuat darahku berdesir.
“Daripada telponan, mending ketemu langsung aja. Biar rindunya ilang,” bisiknya.
Dia akan kembali menarik wajahnya yang segera kutahan dengan tanganku. Kami saling tatap. Lekat. Tanganku beralih dari tengkuknya, mengusap pelan pipi putihnya yang sekarang telah merona merah.
Delina memejamkan matanya. Bibirnya ia manyunkan. Tawaku tertahan melihatnya seperti bebek.
Tlak!
Sentilan pelan mendarat mulus di jidatnya. “Jangan nakal. Kamu yang anteng di sini. Tunggu saya selesai ngajar,” ucapku kemudian berdiri.
“Gue pikir mau kayak semalem lagi,” gumamnya seraya mengusap jidatnya.
...🍉🍉...
Langit sore emang waktu paling pas untuk dinikmati. Apalagi bersama orang yang paling disayang. Lengkap.
Ditemani sekotak es krim rasa coklat, aku dan Delina menghabiskan waktu sore ini di sebuah taman di pinggir danau. Mataku serasa dimanjakan oleh ciptaan nyata Tuhan yang sangat sempurna. Senja dan Adelina. Tentu saja Adelina lebih indah dibanding senja itu sendiri.
“Maaf Kak, numpang ngamen ya.” Seorang anak laki-laki dengan gitar di tangannya mendatangi kami.
Delina tersenyum menjawab pengamen itu. Ada rasa panas di hati waktu ngeliat Delina senyum ke orang lain. Senyum itu harusnya cuma buat aku.
Cemburu sama bocil?
Mana harga dirimu, Al!
“Nih,” ucapku menyodorkan selembar uang berwarna biru.
Pengamen cilik itu menatapku bingung. “Tapi aku kan belum nyanyi, Kak,” jawabnya tanpa mengambil uang di tanganku.
“Ambil aja, gak usah nyanyi. Sini gitarnya, biar saya yang nyanyi.” Dia keliatan masih bingung. Aku mengambil gitar di tangannya dan menggantinya dengan uang itu.
“Emang Mas Al bisa nyanyi?” tanya Delina, ragu.
“Kamu dengerin saya nyanyi, kamu juga,” ucapku pada pengamen cilik dengan kaos coklat dan celana jeans sobek selutut itu.
Aku mulai memetik senar gitar. Petikan-petikan yang membentuk sebuah melodi indah di telinga. Delina nampak terkejut melihatku. Mungkin dia gak nyangka kalau aku bisa main gitar.
Seraya menatap lekat sepasang mata indahnya, aku mulai menyanyikan salah satu lagu favoritku.
...
I wanna grow old with you
I wanna die lying in your arms
I wanna grow old with you
I wanna be looking in your eyes
I wanna be there for you
Sharing in everything you do
I wanna grow old with you
...