Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Tawaran Gila
Yuni menatap layar laptopnya.
Teko listrik di sebelahnya sudah berbunyi, tapi dia tidak bergerak.
Uap airnya membumbung, membuat stiker di dinding sebelahnya sedikit mengelupas.
Airnya mendidih, lalu mulai mendingin.
Kamar kosnya terasa semakin sempit.
Iklan itu.
"Partner Akting Jangka Pendek."
Bayaran yang ditawarkan.
Angka itu menari-nari di depan matanya.
Angka yang bisa menyelesaikan segalanya.
UKT Dika. Utang panen Ibu.
Napas Yuni tercekat.
Ini gila.
Ini salah.
"Berpura-pura menjadi pacar."
Dia akan menjual kebohongan.
Dia, Yuni, yang memegang teguh kejujuran di atas segalanya.
Dia yang tidak pernah menyontek seumur hidupnya.
Dia yang selalu mengembalikan kelebihan uang kembalian, meski hanya seratus perak.
Dan sekarang dia mempertimbangkan untuk melakukan penipuan besar-besaran.
Demi uang.
Tangan Yuni gemetar.
Bagaimana jika pemasang iklannya orang jahat?
Bagaimana jika ini... modus penipuan?
"Cerdas, bisa beradaptasi."
Penipu juga cerdas.
Yuni menutup laptopnya.
"Aku tidak bisa."
Dia bangkit. Berjalan mondar-mandir. Tiga langkah. Balik. Tiga langkah.
Dia menatap ponselnya.
Foto Dika tersenyum lebar saat diterima di fakultas kedokteran.
Senyum bangga Ayah dan Ibunya.
Dika adalah bintang mereka.
Jika Dika harus cuti...
Yuni tahu. Itu akan mematahkan semangat adiknya.
Mungkin selamanya.
Dan itu akan menghancurkan kedua orang tuanya.
Yuni berhenti mondar-mandir.
Dinding bernama UKT itu harus runtuh.
Dan Yuni adalah satu-satunya yang bisa meruntuhkannya.
Dia membuka laptopnya lagi.
Layar kembali menyala.
Iklan itu masih di sana.
Dia menarik napas panjang.
Dia tidak menjual harga dirinya.
Dia menjual... keahliannya.
Keahlian akting.
Dia anak sastra. Dia menganalisis karakter setiap hari.
Ini hanya... penerapan praktis.
Dia meyakinkan dirinya sendiri.
Dia membuka aplikasi email.
Jemarinya kaku di atas keyboard.
"Kepada Pemasang Iklan,"
Dia berhenti.
Terlalu kaku.
"Dengan hormat,"
Lebih buruk.
Dia menghapusnya.
Dia akan jujur. Singkat. Profesional.
"Perihal: Respon - Partner Akting Jangka Pendek."
"Saya membaca iklan Anda di forum kampus."
"Saya Yuni. Mahasiswi Fakultas Sastra, semester lima."
"IPK saya 3.75."
Dia menambahkan itu. Iklan itu bilang "cerdas".
"Saya adalah sukarelawan di perpustakaan pusat, jadi saya terbiasa bekerja secara profesional dan menjaga kerahasiaan."
"Saya juga dari fakultas non-teknik/bisnis, seperti yang Anda sebutkan."
Dia berhenti lagi.
Haruskah dia menyebutkan alasannya?
Tidak. Itu tidak profesional.
"Saya tertarik untuk mendiskusikan pekerjaan ini lebih lanjut."
"Terima kasih."
Dia membacanya ulang. Tiga kali.
Singkat. Jelas.
Terdengar seperti... dia.
Sebelum dia bisa berubah pikiran.
Sebelum keberaniannya menguap.
Dia mengklik "Kirim".
Email itu terkirim.
Hening.
Yuni merasa mual.
Dia baru saja melempar dadu untuk nasibnya.
Dia menutup laptopnya.
Tidak. Dia tidak bisa. Dia harus menunggu.
Dia bangkit, membuat tehnya yang sudah mendingin.
Rasanya pahit.
Di sisi lain kampus.
Di kamar asrama yang luasnya tiga kali lipat kamar kos Yuni.
Juan sedang mondar-mandir.
Rambutnya acak-acakan.
Kamar asramanya adalah zona pribadinya.
Tidak seperti rumah orang tuanya yang kaku, kamar ini berantakan.
Gulungan kertas cetak biru berserakan di lantai.
Gitar listrik bersandar di dinding.
Sebuah whiteboard besar penuh dengan rumus-rumus rumit untuk kompetisi robot.
Dia baru saja memposting iklan itu.
Setengah jam yang lalu.
Dia merasa bodoh.
Menjaring di forum kampus. Ide terbodoh yang pernah dia punya.
Tapi dia putus asa.
Siapa yang akan membalas iklan sekonyol itu?
Dan siapa yang bisa dia percaya?
Bagaimana jika yang membalas adalah mata-mata dari lingkaran sosialnya?
Atau lebih buruk, seseorang yang akan memerasnya?
Ponselnya berdenting. Notifikasi email.
Jantung Juan berdebar.
Dia membuka laptopnya.
Lima email baru.
Email pertama: "Hei, ini beneran? LOL. Juan ya? Kena dare apa lo?"
Juan mengernyit. "Hapus."
Email kedua: "Kasih info dong, bayarannya berapa? Bisa nego? Foto full body terlampir."
Juan bahkan tidak membuka lampirannya. "Hapus."
Email ketiga: "Aku cantik loh, Kak. Mau jadi pacar beneran juga boleh ;)"
Dia bergidik. "Hapus."
Dia hampir kehilangan harapan. Ini ide buruk.
Email keempat: Spam.
Email kelima: "Perihal: Respon - Partner Akting Jangka Pendek."
Juan berhenti.
Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
Email ini berbeda.
Bahasanya profesional.
Dia membukanya.
"Saya Yuni. Mahasiswi Fakultas Sastra."
Bagus. Sastra. Sangat jauh dari dunianya di teknik.
Kecil kemungkinan mereka punya teman yang sama.
"IPK 3.75."
Juan terkesan. Cerdas. Itu yang dia butuhkan. Seseorang yang tidak bodoh.
Seseorang yang bisa diajak berdiskusi skenario.
"Sukarelawan perpustakaan."
Bagus sekali. Artinya dia pendiam. Low-profile.
Bukan tipe yang akan berkoar-koar di media sosial.
"Fakultas non-teknik/bisnis."
Dia membaca iklannya dengan teliti.
Ini adalah kandidat terbaik.
Mungkin satu-satunya kandidat serius.
Dia tidak punya waktu untuk mewawancarai sepuluh orang.
Dia harus bergerak cepat.
Dia mengetik balasan.
"Yuni. Terima kasih atas emailnya."
"Saya adalah pemasang iklan."
"Bisakah kita bertemu besok untuk diskusi singkat?"
"Jam 10 pagi."
"Di Kafe Kaca, di belakang Fakultas Sastra."
Tempat itu netral. Tidak terlalu ramai.
Cukup terbuka sehingga gadis itu tidak akan merasa terancam.
Dia menekan tombol kirim.
Dia menatap layar.
Yuni. Dari Sastra.
Semoga ini berhasil.
Ponsel Yuni berdenting di atas meja.
Dia tersentak.
Dia tidak menyangka akan dibalas secepat ini.
Hanya lima belas menit.
"Besok. Jam 10 pagi. Kafe Kaca."
Jantungnya berdebar sangat kencang hingga terasa sakit.
Ini nyata.
Dia membalas singkat: "Baik. Saya akan ke sana."
Malam itu, Yuni tidak tidur.
Dia tidak bisa.
Pikirannya berpacu antara UKT Dika dan laki-laki misterius yang akan ditemuinya.
Dia membuka lemari pakaiannya.
Lemari kain kecil di sudut ruangan.
Isinya tidak banyak.
Kaus. Kemeja flanel. Jaket denimnya.
Tidak ada yang terlihat... profesional.
Dia mengeluarkan kemeja putih polos.
Kemeja yang dia pakai untuk ujian lisan.
Setidaknya itu terlihat rapi.
Dia menyetrikanya.
Dia tidak punya setrika. Dia meminjam setrika dari kamar sebelah, kamar Mbak Rini.
Dia menyetrikanya dengan hati-hati.
Jam 9:50 pagi.
Yuni sudah duduk di Kafe Kaca.
Kafe itu semi-terbuka. Tidak terlalu mahal, tapi Yuni tetap tidak mampu.
Dia hanya pernah melewatinya. Tidak pernah masuk.
Aroma kopi dan pastry panggang memenuhi udara.
Membuat perutnya yang kosong keroncongan.
Dia hanya minum teh pahit tadi pagi.
Dia memesan air putih.
Pelayan menatapnya aneh, tapi dia tidak peduli.
Dia duduk di meja sudut, membelakangi dinding.
Memungkinkan dia melihat siapa saja yang masuk.
Tangannya berkeringat.
Dia mengelapnya di celana jeans-nya.
Dia mengenakan kemeja putih dan jeans gelap.
Rambutnya diikat ekor kuda. Rapi.
Dia menaruh novel yang sedang dibacanya di meja. Hanya untuk pegangan.
Agar terlihat... normal.
Jam 10:00 tepat.
Pintu kafe terbuka.
Seorang laki-laki masuk.
Dia memakai hoodie abu-abu polos. Topinya menutupi rambutnya.
Dia menunduk, melihat ponselnya.
Lalu dia mengangkat kepala.
Yuni menahan napas.
Dia.
Laki-laki dari kantin teknik.
Juan.
Wajah dari majalah kampus. Si populer.
Hati Yuni jatuh ke perutnya.
Ini jebakan.
Ini pasti lelucon mahasiswa teknik yang kaya.
Mengerjai mahasiswi miskin dari sastra.
Dia ingin lari.
Tapi kakinya terpaku di lantai.
Juan melihat sekeliling kafe.
Matanya tertuju pada Yuni.
Satu-satunya gadis yang duduk sendirian dengan segelas air putih.
Dia berjalan ke arah meja Yuni.
Dia terlihat berbeda dari di kantin.
Tidak ada tawa. Tidak ada rombongan.
Dia terlihat... lelah.
Sama lelahnya seperti Yuni.
Rambutnya sedikit berantakan. Ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya.
"Yuni?" tanyanya.
Suaranya dalam. Tenang.
Yuni hanya bisa mengangguk.
"Juan," katanya, mengulurkan tangan.
Yuni menjabatnya. Singkat. Tangannya dingin.
Juan duduk di depannya.
Dia tidak memesan apa-apa.
"Oke," kata Juan, langsung ke intinya. "Terima kasih sudah datang."
Yuni masih terdiam.
Dia merasa sangat bodoh. Tentu saja itu Juan. Siapa lagi yang butuh "partner akting" dengan bayaran gila?
Hanya orang kaya yang punya masalah aneh.
"Iklan itu nyata," kata Juan.
"Saya butuh seseorang untuk berpura-pura jadi pacar saya."
Yuni akhirnya menemukan suaranya. "Kenapa?"
Suaranya serak.
Mata Juan menatapnya. Tajam.
"Alasan keluarga," katanya. "Tidak relevan untuk pekerjaan ini."
"Yang relevan adalah, ini pekerjaan profesional."
"Dan saya melihat profilmu. Sepertinya cocok."
Juan meletakkan ponselnya di meja.
"Ini tawarannya," katanya.
"Durasi: Satu bulan. Dimulai hari ini."
"Tugas: Menemani saya di depan umum di kampus sesekali. Kantin. Perpustakaan."
"Membuat 'cerita' bahwa kita pacaran."
"Puncaknya: Acara keluarga saya. Tiga hari dua malam. Di luar kota. Akhir bulan depan."
"Di sana, kamu harus meyakinkan keluarga saya. Terutama Oma saya."
Yuni menelan ludah.
"Aturan," lanjut Juan.
"Nomor satu: Kerahasiaan absolut. Tidak ada yang boleh tahu. Temanmu. Temanku."
"Nomor dua: Tidak ada perasaan. Ini transaksi. Murni."
"Nomor tiga: Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu. Genggaman tangan di depan umum mungkin perlu. Tidak lebih."
Yuni mendengarkan.
Laki-laki ini... serius.
Sangat serius.
"Kenapa saya?" tanya Yuni lagi.
"Karena kamu Sastra. Jauh dari lingkaran saya. Karena IPK-mu tinggi, jadi saya asumsi kamu bisa menghafal skenario dan berimprovisasi."
"Dan..."
"Dan apa?"
"Dan kamu membalas email saya," kata Juan datar.
Implikasinya jelas. Kamu butuh ini.
Yuni merasa terhina. Tapi itu benar.
"Bayarannya," kata Yuni. Dia harus tahu.
"Seperti di iklan," kata Juan.
Dia menyebutkan angka itu.
Angka yang membuat Yuni pusing.
"Saya akan bayar 50% di muka setelah tanda tangan kontrak. 50% setelah acara keluarga selesai."
Yuni menggeleng.
Juan mengangkat alis.
"Saya tidak bisa," kata Yuni.
Juan tampak kecewa. "Oke. Kalau begitu..."
"Bukan," potong Yuni. "Bukan begitu."
"Bukan 50%."
Juan bersandar. "Lalu?"
"Saya butuh sebagian uangnya... sekarang."
"Maksudmu 50% di muka?"
"Bukan. Saya butuh jumlah spesifik."
Yuni menyebutkan angka UKT Dika.
"Saya butuh angka itu. Hari Jumat ini."
Mata Juan menyipit.
"Itu... lebih dari 50%," kata Juan, menghitung cepat. "Itu hampir 70%."
"Saya tahu. Tapi itu syarat saya," kata Yuni, kaget dengan keberaniannya sendiri.
"Bagaimana saya tahu kamu tidak akan lari dengan uang itu?" tanya Juan.
"Bagaimana saya tahu Anda tidak akan menipu saya?" balas Yuni.
Mereka saling menatap.
Juan melihat sesuatu di mata Yuni.
Bukan keserakahan.
Itu keputusasaan. Tapi keputusasaan yang jujur.
Dan keteguhan.
Dia tidak memohon. Dia bernegosiasi.
"Untuk apa uang itu?" tanya Juan.
Yuni ragu.
Dia teringat Ibunya. Dika.
"Alasan keluarga."
Dia menggunakan kata-kata Juan kembali.
Juan tersenyum tipis. Untuk sepersekian detik.
"Oke," katanya. "Tawaran yang adil."
"Saya akan siapkan draf kontrak. Kita bertemu lagi besok."
"Kita tanda tangan. Saya akan transfer jumlah yang kamu minta itu."
"Sisanya... saya bayar setelah misi selesai."
Juan berdiri.
"Besok. Jam yang sama. Di sini."
Dia tidak menunggu jawaban Yuni.
Dia berbalik dan berjalan keluar kafe.
Meninggalkan Yuni sendirian dengan air putihnya.
Yuni duduk di sana.
Tangannya di atas meja. Tidak lagi gemetar.
Dia baru saja melakukan negosiasi bisnis.
Tawaran gila itu...
Dia terima.