Andra dan Trista terpaksa menikah karena dijodohkan. Padahal mereka sudah sama-sama memiliki kekasih. Pernikahan kontrak terjadi. Dimana Andra dan Trista sepakat kalau pernikahan mereka hanyalah status.
Suatu hari, Andra dan Trista mabuk bersama. Mereka melakukan cinta satu malam. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Trista dan Andra terpaksa menyembunyikan kedekatan mereka dari kekasih masing-masing. Terutama Trista yang kekasihnya ternyata adalah seorang bos mafia berbahaya dan penuh obsesi.
"Punya istri kok rasanya kayak selingkuhan." - Andra.
"Pssst! Diam! Nanti ada yang dengar." - Trista.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26 - Berbeda Dari Sebelumnya
Pagi datang dengan tenang. Matahari menembus tirai rumah Trista, menciptakan cahaya lembut yang menghangatkan ruang makan. Trista duduk di meja, menyendok bubur ayam hangat sambil sesekali menguap. Malam tadi benar-benar menguras tenaga, bukan hanya karena Andra, tapi juga karena hampir ketahuan Tika.
Tak lama, Andra muncul dari arah dapur sambil membawa dua gelas jus jeruk.
“Pagi, Tris,” sapanya ringan.
Trista mengangguk pelan. “Pagi… Kau tidur nyenyak?”
“Cukup,” jawab Andra sambil duduk di sebelahnya. “Meski sempat mikir… kalau aku jatuh dari jendela kemarin, mungkin sekarang sudah pindah dunia.”
Trista tersedak bubur. “Tolong jangan bercanda kayak gitu! Aku nggak mau punya suami pocong.”
Andra tertawa pelan, lalu menatap istrinya itu sebentar. Ada kehangatan yang lebih jelas daripada sebelumnya. Mereka belum terbiasa bersikap seperti ini, tapi entah kenapa, pagi itu keduanya tampak lebih dekat.
Tiba-tiba ponsel Andra berdering. Nama Mama muncul di layar.
“Oh, ini Mama,” ujar Andra sebelum mengangkat.
“Halo, Ma?”
Suara lembut Sari Mahendra langsung terdengar. “Andra, sayang, malam ini kamu dan Trista makan di rumah ya. Papa sama Mama mau bicara sesuatu.”
Andra melirik Trista yang sedang makan dengan santai.
“Tentu. Kami datang,” ujar Andra mantap.
“Bagus. Jangan telat ya.”
Telepon ditutup.
Andra menatap Trista. “Malam ini kita makan di rumah orang tuaku.”
Trista memutar sendoknya. “Boleh. Kita pergi bareng?”
“Kita pergi bareng,” jawab Andra sambil tersenyum lembut.
Setelah selesai sarapan, keduanya memanggil Tika ke ruang tengah. Kebetulan wanita itu sedang sibuk bersih-bersih.
“Tika!” panggil Trista, “malam ini aku dan Andra keluar. Kau jaga rumah, ya. Kalau ada paket atau apa pun, simpan di meja.”
Tika mengangguk. “Siap, Mbak.”
Lalu dia menatap mereka berdua bergantian dengan tatapan curiga tapi juga geli.
“Kok duduknya deket banget pagi ini?” celetuknya sambil menyipitkan mata.
Trista hampir tersedak air. “Sudah kerja saja!”
Tika mengangguk. Dia segera lanjut bekerja.
...***...
Rumah keluarga Mahendra berdiri megah dengan lampu-lampu hangat menerangi halaman. Setelah memarkir mobil, Andra turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk Trista.
“Terima kasih,” ucap Trista, agak kikuk.
“Tentu,” jawab Andra sambil tersenyum.
Gestur kecil itu saja sudah membuat beberapa keluarga yang sedang berdiri di pintu tampak terkejut.
Sari Mahendra membeku sejenak, lalu berbisik pada suaminya, Ridwan. “Tuh liat, Wan… Andra bukain pintu istrinya…”
Ridwan mengangkat alis. “Anak kita? Yang dulu bilang dia nggak mau dijodohkan itu?”
“Yang sama itu,” jawab Sari, hampir saja tidak percaya.
Di sebelah mereka, sudah datang lebih dulu kedua orang tua Trista, Gina dan Bimo Ananda. Mereka tampak sama terkejutnya.
Begitu Trista dan Andra naik ke teras, Sari langsung memeluk Trista.
“Sayang, kamu cantik sekali malam ini,” ujar Sari.
Trista tersenyum malu. “Terima kasih, Tante— eh, Mama.”
Sari langsung berbinar. “Aduh, akhirnya kamu panggil Mama juga!”
Andra berdehem sambil menahan tawa. “Ma, jangan berlebihan.”
“Sudah, masuk dulu,” ujar Ridwan dengan suara berat namun hangat.
Mereka masuk ke ruang makan. Aroma masakan rumahan memenuhi ruangan, sup buntut, ayam panggang, sambal, dan beberapa hidangan favorit keluarga Mahendra.
Ketika duduk, Andra secara refleks menarik kursi untuk Trista. Gina dan Bimo menatap pemandangan itu dengan mata nyaris keluar.
“Kau lihat itu, Bim?” bisik Gina menutup mulutnya. “Dulu kalau dipaksa ketemu saja mereka seperti kucing dan anjing!”
Bimo mengangguk berat. “Sekarang kayak pasangan baru jadian…”
Makan malam pun dimulai. Percakapan mengalir hangat. Tidak ada ketegangan, tidak ada rasa canggung. Yang ada justru suasana seperti keluarga yang sudah lama akur.
Ridwan menatap Andra. “Kerjaan gimana?”
“Baik, Pa. Lancar,” jawab Andra.
Bimo menggoda, “Dan rumah tangga gimana? Aman?”
Andra melirik Trista. “Sangat aman,” jawabnya lembut.
Trista mencubit pelan pahanya dari bawah meja, tapi pipinya memerah. Keluarga di meja itu saling pandang, lalu tersenyum.
Sari menatap Trista. “Kalian benar-benar terlihat cocok, sayang. Mama senang sekali melihat kalian seperti ini.”
Gina ikut mengangguk setuju. “Iya. Trista kelihatan lebih cerah sekarang.”
Trista menunduk malu. “Kami… sedang belajar saling memahami.”
“Dan hasilnya bagus,” sahut Ridwan sambil tersenyum tipis.
Andra tak bisa menahan diri untuk menggenggam tangan Trista di bawah meja. Awalnya Trista sempat terkejut, tapi dia tidak menolak. Ia justru meremas balik perlahan.
Sari, yang kebetulan melihat gerakan kecil itu, langsung menutup mulutnya supaya tidak menjerit kegirangan.
Makan malam berlanjut dengan tawa, cerita masa kecil Andra yang memalukan, dan beberapa candaan khas keluarga. Tidak satu pun yang melihat adanya kebencian atau jarak seperti dulu saat keduanya baru dijodohkan. Yang mereka lihat adalah dua orang yang tampaknya mulai menemukan rumah dalam diri satu sama lain.
Ketika makan malam selesai, Sari memeluk Trista lama sekali.
“Trista… Mama senang sekali kamu ada di keluarga ini,” ujarnya tulus.
Trista membalas pelukan itu. “Terima kasih, Ma.”
Andra berdiri di belakang mereka, menatap istrinya dengan sorot mata yang sulit disembunyikan, sorot mata yang benar-benar jatuh cinta.
Ridwan menepuk bahu Andra. “Cintai dia baik-baik.”
Andra tersenyum. “Tentu, Pa.”