Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAGI MENYAMBUT...
"Mas, kamu darimana?"
Asha membuka pintu rumah, setibanya Adit akhirnya pulang ke rumah esok paginya. Ia meraih lengan Adit dengan tatapan cemas dan khawatir. Sementara, Adit menatapnya setengah kosong, nyaris lemah.
"Mas, jawab dong?" Desak Asha, kali ini ia menggoyang-goyangkan lengan suaminya. "Kenapa kamu gak pulang semalam, Mas?"
Adit menelan saliva. Ia menarik napas lalu bergerak, menoleh memandang Asha perlahan. "Sayang," Ucapnya kemudian.
Wajah Asha yang teduh… mata itu masih memandangnya dengan penuh harap—penuh keyakinan yang tak tergoyahkan, seolah Adit adalah satu-satunya tempat ia bisa bersandar. Tapi justru itu yang menusuk perasaannya paling dalam. Harapan Asha adalah belenggu bagi hatinya yang sedang goyah, namun kali ini rasanya telah hancur.
Dengan napas lirih, Adit mendekat. Tangannya terulur pelan, ragu namun akhirnya berhasil menyentuh pipi Asha. Sentuhannya sangat hati-hati, seolah kulit lembut itu bisa retak hanya karena sedikit tekanan. "Maafin aku." Sambungnya, suaranya pelan namun penuh tekanan. "Aku..."
Adit tertelan lagi. Tenggorokannya terasa kering seolah seluruh kata yang ingin ia ucapkan menggumpal dan menolak Keluar. Ia setengah menunduk, menatap lantai yang tiba-tiba terasa seperti jurang yang siap menelannya kapan saja.
Bahkan jika ada sedikit saja keberanian di pagi ini… rasanya ingin ia bersimpuh di hadapan Asha. Meminta maaf. Mengakui semuanya pada malam kemarin. Keputusan cepat dan tergesa yang akhirnya membawa ia ke dalam lingkaran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lingkaran yang mungkin setiap harinya akan perlahan menyempit, menjerat pergerakannya, menyesakkan napasnya.
"Mas?"
Adit memejamkan matanya sejenak, lalu kembali menatap wajah Asha lagi. jakunnya nampak bergoyang naik turun seirama dengan dentum jantung yang berdebar menyiksa. "Maafin aku, sayang. Semalam aku... aku lembur kerja."
Kalimat itu akhirnya lolos dari bibir Adit. Asha menghembuskan napasnya penuh lega, seolah semua kekhawatiran yang ia pendam sejak tadi terangkat begitu saja.
Namun tidak bagi Adit Kalimat yang menyelamatkan suasana itu, justru menambah bobot batu di dadanya. Keheningan yang menyusul begitu berat sampai bunyi napas sendiri terdengar sangat menyakitkan.
Asha tersenyum kecil—senyum kelegaan yang tak pantas ia dapatkan dari kebohongan itu. “Oh, Mas kerja…" Ucapnya. "Pantas aja aku telepon kamu... chat kamu... nungguin kamu, gak ada jawaban sampai malam kemarin."
Nada suaranya berubah manja, hangat, dan tanpa sedikit pun rasa curiga.
"Maafin aku ya, sayang."
"Iya, Mas. Gak apa-apa. Aku ngerti, kok."
Tidak bagi Adit.
Dalam hati Adit, justru badai itu semakin menggila. Kepalanya menunduk makin rendah. Kebohongan itu, meski terdengar sederhana, seperti sebuah noda yang menetes dan siap menyebar, membentuk bercak lebih gelap yang tak bisa ia bersihkan.
"Sayang," Lirih Adit kemudian. "A-Aku ke kamar dulu, ya."
"Mas gak mau makan dulu?"
Adit menggeleng dengan senyuman. "Aku kayaknya mau istirahat dulu sebentar. Gak apa-apa, kan?"
Asha membalas senyuman itu.
Senyum Adit yang ia anggap tulus—senyum yang selama ini menjadi sumber kekuatannya melewati hari-hari berat. Asha tak pernah meragukannya. Tidak sekali pun. Karena bagi Asha… Adit adalah rumah. Tempat ia pulang dengan hati penuh rasa syukur. Ia menggenggam lebih erat tangan Adit, seolah ingin memastikan bahwa meski badai di luar sana mengamuk, hubungan mereka tetap hangat dan aman. "Iya, Mas. Gak apa-apa. Kamu capek banget kayaknya. Bekerja keras demi aku. Makasih ya, Mas."
Adit mengangguk, "Oh, ya. Vitamin kamu... aku udah beli. Sebentar," Katanya sambil merogoh sesuatu yang dari tas kantornya— suara gesekan kertas, kunci, dan barang-barang di dalam tas terdengar pelan namun cukup memecah keheningan yang menyiksa.
“ini,” Ucap Adit sambil menyodorkan vitamin itu pada Asha.
Asha menerima dengan wajah berbinar—mata yang dipenuhi rasa terharu. "Makasih ya, Mas."
"Kalau gitu, aku ke kamar dulu ya."
Asha hanya mengangguk. Anggukan lembut yang penuh percaya diri terhadap suaminya. Anggukan yang justru menjadi cambuk paling menyakitkan bagi Adit. Tanpa banyak kata lagi, Adit akhirnya berbalik. Langkahnya berat—namun ia tetap memaksakan kaki menjauh… hingga akhirnya hilang dari pandangan Asha.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan.
Asha menoleh refleks dari tempatnya. Maya kemudian keluar lebih dulu—wajahnya tampak lelah, gerakan tangannya tergesa seakan ingin segera masuk rumah. Make-up-nya sedikit luntur, rambutnya acak-acakan seperti habis terburu-buru. Dibelakangnya, Ratna turun dengan ekspresi datar
Asha masih terpaku di tempatnya, saat keduanya kini berjalan mendekatinya.
Keduanya berhenti sejenak. Maya menatap Asha. Ratna pun melakukan hal yang sama. Tak ada senyuman. Tak ada sapaan ramah pagi. Hanya tatapan singkat yang terlalu cepat untuk disebut wajar… dan terlalu kaku untuk disebut kebetulan.
Asha menelan ludah. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menekan dari dalam. Ia ingin menyapa mereka… bahkan jika bertanya dengan nada biasa saja untuk mempertanyakan kepulangan mereka di waktu yang tidak biasa. Namun hatinya mengerut takut, dan bibirnya tak berani membuka suara.
"Kenapa kamu memandang kami seperti itu?!" Ucap Ratna dengan nada setengah meninggi.
"Ti-Tidak, Tante." Geleng Asha, tertunduk kemudian.
"Bersihkan seluruh rumah hari ini juga! Biar Bik Yuni hari ini yang tugasnya cuma masak. Ngerti?!"
"Iya, Tante. Aku paham. Tapi... Jam tiga Asha ada jadwal ngajar di kampus."
Mata mendesis. "Helooooow, Asha! Jam dua, kan?" Tambahnya. "Kamu itu dosen, tapi gak pinter ngitung dan prediksi waktu! Jam enam ke jam dua itu lama, lho! Ya, gimana caranya kek supaya rumah ini bersih sebelum jam tiga!"
Ratna menjentikkan ibu jari. "Lihat?! Anak saya yang lulusan S1 aja punya pikiran seperti ini. Kamu... lulusan S2 gak bisa pikir panjang!"
"Tapi, Tante..."
"Gak ada tapi!" Sambar Ratna cepat. "Saya gak mau tahu, ya. Rumah harus bersih!"
Asha kembali diam dan masih berdiri mematung, meremas jemari sendiri agar tetap tenang. Tatapannya kini hanya mengikuti Maya dan Ratna yang berjalan melewatinya tanpa lagi ada suara, bahkan permisi.
****