Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SB, sang peretas jenius
Udara malam itu terasa lembap, menyimpan hawa dingin yang merayap pelan di sepanjang kulit.
Shinta Bagaskara berdiri di depan rumah besar bergaya joglo modern yang berdiri megah di bawah cahaya lampu taman. Atap limasan bertingkat, pilar jati yang kokoh, dan ukiran halus di daun pintunya seolah berusaha mengingatkan siapa pun yang datang: rumah ini bukan milik sembarangan orang.
Shinta menarik napas panjang, lalu menekan bel.
Drring...
Suara bel menggema pelan, namun tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam.
Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Masih sepi.
Ia menurunkan tangannya perlahan. Bayangan wajahnya terpantul di kaca jendela—gadis muda dengan mata tajam tapi redup, berdiri kaku di bawah temaram lampu.
Dari belakangnya, suara langkah pelan terdengar.
Fajar Pramudya berdiri tak jauh, jas hitamnya tampak kontras dengan pekat malam. Alisnya berkerut, rahangnya menegang. Ia hendak melangkah maju, namun baru dua langkah, suara engsel berderit pelan.
Pintu besar itu akhirnya terbuka.
Seorang perempuan paruh baya muncul—seragam pelayan rapi, namun ekspresinya dingin, hampir menghina.
“Ah, nona muda akhirnya pulang juga.” Suaranya melengking sinis. “Tuan dan Nyonya sudah lama menunggu, tahu?”
Nada suaranya tajam seperti pisau.
Namun Shinta hanya menatapnya sebentar, tanpa ekspresi.
“Begitu, ya,” katanya datar, lalu melangkah masuk dengan tenang.
Setiap langkahnya terukur, tak tergesa tapi penuh keyakinan, meski dalam dadanya, ada perasaan getir yang sulit diusir.
Bagi orang luar, mungkin ia hanya gadis muda biasa. Tapi bagi rumah ini—ia adalah bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar diinginkan.
Fajar masih berdiri di depan gerbang, menatap punggung Shinta yang menghilang di balik pintu kayu besar itu.
Dari dalam, samar-samar terdengar suara pelayan yang memanggil-manggil seseorang. Ia tak bisa mendengar jelas, tapi cukup untuk tahu: sambutan itu jauh dari hangat.
Fajar menatap ke arah rumah itu, matanya menyipit.
Ia menggumam pelan, seolah menyebut mantra yang hanya dimengerti dirinya sendiri.
“Haryo Bagaskara… Laraswati Bagaskara…”
Sudut bibirnya menegang, dan ada nada dingin di balik suaranya.
“Sepertinya, keluarga Bagaskara memang butuh sedikit ‘batu sandungan’.”
Ia menyandarkan punggung pada mobil hitamnya, satu tangan masuk ke saku jas. Tatapannya tetap tertuju ke arah rumah besar itu, namun pikirannya melayang pada satu nama.
Shinta…
Setiap kali memikirkan gadis itu, dadanya terasa sesak.
Gadis tujuh belas tahun yang memikul beban dunia di pundaknya.
Sejak kecil ia berjuang sendirian, tanpa kasih, tanpa tempat bersandar. Bahkan biaya sekolah dan kebutuhan hidupnya ia perjuangkan sendiri—dengan cara yang tidak pernah dibayangkan siapa pun.
“Gadis sekuat itu,” gumamnya lirih, “seharusnya tidak perlu bertahan sendirian.”
Fajar memejamkan mata sesaat, mengatur napasnya yang terasa berat.
Kasih sayang… biar aku yang memberikannya, Shinta.
Ia bersumpah dalam hati—ia akan menjaganya. Hingga gadis itu hidup seperti yang seharusnya: seorang putri kecil yang dicintai dunia.
---
Begitu Shinta masuk ke ruang tamu, suasana seketika hening.
Tiga orang yang tadi tertawa dan mengobrol di sofa langsung membeku.
Tatapan pertama yang menyambutnya bukanlah kehangatan, melainkan kejengkelan yang tertahan.
“Sudah pulang,” suara Haryo Bagaskara datar, seolah hanya membaca berita.
Laraswati yang duduk di sebelahnya menoleh sekilas. Alisnya melengkung, bibirnya mengerucut dalam ekspresi jijik yang tak ditutupi. Ia bahkan menatap Shinta seperti menatap noda di permadani mahal.
Sementara itu, Dira Bagaskara—dengan gaun pastel dan rambut bergelombang sempurna—tersenyum manis.
“Kakak, sudah malam begini baru pulang.” Nadanya lembut, tapi senyumnya dingin. “Kamu ke mana saja? Aku khawatir, tahu. Soalnya kamu baru datang ke Kota Hastinapura, takutnya nyasar.”
Shinta berhenti sejenak di depan sofa, menatap Dira dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Senyum tipis muncul di wajahnya—bukan ramah, melainkan sarkastik.
“Kalau aku sampai nyasar,” ucapnya datar, “menurutmu siapa penyebabnya?”
Nada suaranya dingin seperti embun beku.
Dira tersentak kecil, tapi cepat menutupi gugupnya dengan tawa kecil. Ia mencubit ujung bajunya, berlagak polos.
“Aku kira Kakak ada urusan. Aku cari nggak ketemu, jadi bilang ke Papa Mama. Makanya aku biarkan mobil pulang duluan.”
Shinta hanya menatap tanpa ekspresi.
Ia tahu permainan Dira terlalu baik—pura-pura lembut, pura-pura peduli, tapi selalu memutar fakta hingga seolah-olah ia yang salah.
Dulu aku percaya kamu benar-benar peduli… betapa bodohnya aku.
Kali ini, Shinta tidak tertarik berdebat. Ia melangkah naik, meninggalkan mereka begitu saja.
Namun suara Haryo menghentikannya di pertengahan tangga.
“Shinta.”
Nada suaranya datar, tapi tegas.
“Belakangan Papa sibuk sekali. Jadi pesta penyambutanmu itu… kita batalkan saja. Papa Mama tahu kamu anak kami, itu sudah cukup. Kamu anak yang pengertian, kan? Tidak mempermasalahkan hal sepele seperti ini?”
Sebuah kalimat yang terdengar logis, tapi penuh penghinaan halus.
Ia bahkan tak berusaha menyembunyikan betapa enggannya mengakui Shinta di depan orang lain.
Shinta menoleh sedikit.
“Sesukamu,” jawabnya singkat, suaranya nyaris bergetar tapi matanya tetap tajam.
Ia melanjutkan langkahnya ke atas.
Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang runtuh di dalam dirinya.
Sesukamu, katanya dalam hati, karena memang tak pernah ada tempat untukku di rumah ini.
---
Di kamar, Shinta duduk di depan meja belajar yang bersih. Ia menatap jendela, lalu mengembuskan napas panjang. Kota Kota Hastinapura berkelip di kejauhan—terlihat indah, tapi dingin. Sama seperti hatinya malam itu.
Ia menyalakan laptop tipis berwarna perak. Layar menyala, menampilkan logo hitam sederhana, lalu sebuah forum terbuka: Black Empire—tempat berkumpulnya para peretas kelas dunia.
Nama pengguna yang tertera di pojok layar: SB.
Shinta menyandarkan punggung, bibirnya menipis.
Postingan tantangan yang ia buat sore tadi sudah ramai. Puluhan komentar memenuhi layar, sebagian besar berisi cemooh.
> “SB? Siapa itu, bocah baru?”
“Pasti cuma iseng. Dunia hacker bukan taman bermain anak SMA.”
“Ayo, lawan aku kalau berani.”
Shinta tersenyum miring. Jemarinya mulai menari cepat di atas keyboard.
> [SB: Tantangan diterima.]
Sekejap, notifikasi berdatangan.
> [Hacker001 menantang SB]
[SeribuWajah menantang SB]
[AkuSiHitam menantang SB]
Ia memilih satu secara acak.
Target: sistem virtual dengan tiga lapisan pertahanan.
Forum langsung ramai.
“Dia gila! Nyerang sistem itu sendirian?”
“Baru nyentuh satu lapis aja udah kelempar!”
“Haha, anak baru ini bakal nyesel!”
Shinta tidak peduli.
Ia menatap layar dengan tenang. Jemarinya terus menari—cepat, presisi, dan tenang seperti aliran air.
Sementara itu, lawannya—ID “AkuSiHitam”—tertawa puas di sisi lain dunia.
“Anak ingusan,” gumamnya sambil mengetik. “Lihat aja, aku kasih pelajaran—”
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimat itu, layar komputernya bergetar.
Satu detik. Dua detik.
Kemudian—gelap total.
Ia terdiam.
Lalu berteriak marah, menghantam meja keras-keras.
“Sialan!!”
Komputernya diretas balik.
Aib terbesar bagi seorang hacker.
Forum langsung meledak.
> “Kenapa dia offline?”
“Jangan-jangan diserang balik?”
“Astaga... SB itu siapa, sih?!”
Beberapa detik kemudian, progress bar Shinta yang tadinya stagnan mulai bergerak cepat—meluncur nyaris tanpa hambatan.
Satu lapisan pertahanan runtuh.
Lalu lapisan kedua.
Dan akhirnya, lapisan terakhir.
Tiga lapisan dalam waktu kurang dari empat menit.
Sistem ambruk total.
Keheningan melanda ruang obrolan.
Lalu, satu demi satu, komentar bermunculan—tak lagi menghina, melainkan kagum bercampur takut.
> “Dia berhasil…”
“SB—siapa pun dia, dia jenius.”
“Gila, ini bukan level amatir.”
Shinta menatap layar yang memantulkan cahaya lembut ke wajahnya.
Sudut bibirnya terangkat samar.
Malam itu, dunia hacker baru saja mengenal nama baru—
SB, sang peretas jenius yang akan mengubah segalanya.