NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Leora berjalan tiga langkah di depan Leonard, menyusuri sudut mall yang lebih lengang. Suasana di sana lebih tenang, hanya suara langkah mereka yang terdengar teratur.

“Leonard,” ucap Leora pelan.

Leonard mengangkat pandangan. “Apa?”

“Cincin pernikahan… bagaimana?”

Leonard tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, seolah menimbang perlu atau tidak menjelaskan.

“Sudah diurus,” katanya akhirnya. “Hari ini.”

Leora berhenti melangkah, lalu menoleh. “Hari ini?”

“Setelah keputusan diambil,” jawab Leonard datar.

“Keputusan yang sama sekali tidak datang dengan antusiasme,” balas Leora ringan.

Leonard melirik sekilas. “Antusiasme tidak diperlukan.”

“Aku hanya memastikan,” lanjut Leora, kembali berjalan, “karena minggu lalu kau masih menolak duduk di meja yang sama untuk membicarakan pernikahan ini.”

Leonard terdiam sesaat. “Itu kondisi yang berbeda.”

“Berubah cepat sekali,” komentar Leora.

“Situasi memaksa,” jawabnya singkat.

Leora tersenyum kecil. “Jadi cincin itu juga bagian dari situasi?”

“Bagian dari penyelesaian,” kata Leonard.

“Siapa yang memilih?” tanya Leora.

“Pihak yang paham,” jawab Leonard tanpa ragu.

Leora mengangguk pelan. “Selama ukurannya tidak salah.”

“Itu tidak akan salah,” ucap Leonard.

“Dan modelnya?”

Leonard berpikir sepersekian detik. “Netral.”

Leora terkekeh kecil. “Kedengarannya… sangat Leonard.”

Ia tidak menyangkal.

Mereka melanjutkan langkah. Aroma kaldu hangat mulai tercium samar dari arah depan.

Leonard menurunkan langkahnya sedikit. “Kita cukup lama di sini.”

“Benar,” jawab Leora.

“Kau tidak berhenti sejak tadi,” lanjut Leonard, nadanya tetap datar.

“Aku menikmati prosesnya.”

“Biasanya orang berhenti kalau perutnya mulai menuntut,” katanya, tanpa menoleh.

Leora menatapnya sekilas. “Itu cara halusmu bertanya apakah aku lapar?”

Leonard menatap papan restoran ramen di sisi koridor. “Anggap saja kemungkinan.”

Leora tersenyum kecil. “Kalau begitu, kemungkinan itu tepat.”

Leonard mengangguk tipis. “Kita bisa masuk. Kalau kau mau.”

Tanpa menunggu jawaban panjang, langkahnya berbelok ke arah restoran.

Leonard membuka menu sekilas. Tidak lebih dari lima detik.

“Ramen,” katanya singkat pada pelayan. “Dan green tea.”

Pelayan mengangguk.

Leora justru membaca menu lebih lama. Jemarinya bergerak cepat, menunjuk beberapa pilihan.

“Aku mau ramen miso,” katanya, lalu menambah tanpa ragu, “gyoza, karaage, salmon don. Oh—dua cake. Yang cokelat dan keju. Minumnya chocolate matcha.”

Pelayan sempat terdiam sepersekian detik sebelum mencatat semuanya.

Leonard mengangkat pandangan. “Kau yakin?”

Leora tersenyum. “Sangat.”

Pelayan pergi. Leonard menyandarkan punggung, tatapannya kembali datar.

“Kau selalu seperti itu?” tanyanya.

“Seperti apa?” balas Leora santai.

“Berlebihan untuk satu waktu makan.”

Leora mengangkat bahu. “Aku menyebutnya efisien. Sekalian.”

“Tidak semua hal perlu dicoba sekaligus.”

“Justru hidup jadi membosankan kalau menunya satu,” jawab Leora ringan.

Leonard tidak menanggapi.

Beberapa detik hening.

“Aku dengar rapat regional Alastair Group dipercepat,” ujar Leora, mengalihkan topik. “Asia Tenggara.”

Leonard mengangguk tipis. “Ada pergeseran pasar.”

“Damian Group juga merasakannya,” lanjut Leora. “Investor mulai lebih sensitif.”

“Kau tetap tenang,” komentar Leonard.

“Karena panik tidak menaikkan nilai saham.”

“Benar,” kata Leonard. “Itu yang membedakan eksekutor dan pengamat.”

Leora menatapnya sekilas. “Minggu lalu kau terdengar lebih seperti pengamat.”

Leonard tahu maksudnya. Ia tidak langsung menjawab.

“Minggu lalu,” lanjut Leora pelan, “kau menolak semua yang dibicarakan ayahmu dan ibumu.”

“Itu konteks berbeda,” jawab Leonard datar.

“Penolakan tetap penolakan.”

Leonard menatap meja. “Aku menolak tekanan. Bukan hasil akhirnya.”

Leora mengangguk kecil. “Setidaknya itu terdengar lebih jujur.”

Makanan datang. Uap hangat mengepul di antara mereka.

Leonard mulai makan tanpa banyak komentar.

Leora menatap pesanannya yang memenuhi meja, lalu tersenyum puas. “Kalau ini rapat direksi, aku sudah kena tegur.”

Leonard melirik. “Karena tidak fokus.”

“Atau karena terlalu antusias,” Leora terkekeh. “Lihat ini, menunya seperti pesta kecil.”

Leonard berhenti mengunyah sejenak. “Hah. Kekanak-kanakan.”

Leora tertawa singkat. “Aku tahu.”

Mereka makan dalam diam beberapa saat. Tidak canggung. Tidak hangat. Hanya… stabil.

Di luar restoran, mall tetap bergerak.

Dan di meja kecil itu, dua dunia berbeda sedang belajar berada di ruang yang sama—tanpa harus sepakat, tanpa harus berubah.

Mereka keluar dari restoran ramen hampir bersamaan. Leonard berjalan lebih dulu, langkahnya tetap rapi dan terukur, sementara Leora menyusul dengan tenang, tangannya membawa paper bag kecil berisi dessert yang tadi ia pesan.

Mall mulai lebih ramai. Beberapa pengunjung masih melirik, para pengawal menjaga jarak yang pas—cukup dekat untuk sigap, cukup jauh untuk tidak mencolok.

Belum jauh mereka melangkah, sebuah suara menghentikan langkah Leonard.

“Leonard?”

Leonard berhenti. Menoleh setengah badan.

Seorang pria berdiri di hadapannya—berpenampilan rapi namun santai, senyum tipis di wajahnya. Tatapannya cepat berpindah ke arah Leora.

“Sudah lama,” lanjut pria itu. “Kau jarang terlihat di mall sendiri.”

Leonard mengangguk singkat. “Roy.”

Roy melirik Leora tanpa sungkan. “Dan ini…?”

Leonard tidak langsung menjawab. Ia melangkah setengah langkah ke depan, posisi tubuhnya otomatis sedikit menutup jarak Leora dengan Roy.

“Temanku,” katanya datar. “Leora.”

Leora mengangguk sopan. “Senang bertemu.”

Roy mengangkat alis, jelas tertarik. “Cantik sekali, apa ini calon istri mu? ”

Ia tertawa kecil, lalu menatap Leonard lagi. “Menarik. Bukankah minggu kemarin kau terlihat jalan dengan Jaesica Qie?”

Hening.

Beberapa pengawal menegang, namun Leonard tidak bereaksi apa pun. Wajahnya tetap dingin, seolah nama itu tidak memancing apa-apa.

Leora, justru, yang lebih dulu bersuara.

“Oh,” katanya ringan, nyaris seperti basa-basi. “Kalau begitu, aku datang di waktu yang… wajar.”

Roy menoleh ke arahnya, sedikit terkejut.

Leonard melirik Leora sekilas. Singkat. Tidak ada penjelasan.

“Itu urusan lama,” ucap Leonard. Pendek. Tidak defensif.

Roy menyeringai tipis. “Kau memang tidak pernah berubah.”

Leora tersenyum kecil, bukan senyum canggung, bukan pula senyum terluka. Lebih seperti senyum seseorang yang sudah memahami pola.

“Tidak apa-apa,” ujarnya tenang, seolah membaca situasi tanpa perlu detail. “Aku mengerti.”

Roy menatap Leora lebih lama, lalu kembali ke Leonard. “Kau tenang sekali.”

Leora menjawab sebelum Leonard sempat membuka mulut. “Karena ini bukan cerita baru.”

Leonard tidak menyangkal. Ia hanya berkata, “Kami harus pergi.”

Roy mengangkat kedua tangannya sedikit. “Tentu. Sampai jumpa lagi, Leonard.”

Leonard mengangguk satu kali. Tidak lebih.

Mereka melangkah menjauh. Beberapa langkah pertama dilalui dalam diam.

“Kau tidak perlu menjelaskan,” kata Leora akhirnya, suaranya tetap stabil.

Leonard tidak menoleh. “Aku memang tidak berniat.”

Leora tersenyum tipis. “Bagus. Itu menghemat waktu.”

Leonard meliriknya sekilas. “Kau tidak keberatan?”

Leora mengangkat bahu ringan. “Ini hasil perjodohan. Aku tidak datang dengan ilusi.”

Leonard tidak menjawab. Namun langkahnya sedikit melambat hanya sedikit, hampir tak terlihat. Mereka keluar dari mall Alastair bersama, tanpa drama, tanpa klarifikasi panjang.

Hanya dua orang yang sama-sama sadar:

pernikahan besok bukan tentang masa lalu

melainkan tentang bagaimana mereka akan berjalan ke depan.

Mobil hitam itu melaju meninggalkan area mall. Pintu tertutup rapat, memutus suara luar. Di dalamnya, hanya ada dengung mesin yang stabil dan jarak sunyi di antara mereka.

Leonard duduk tegak, pandangannya lurus ke depan. Tidak ada ekspresi. Tidak ada penjelasan lanjutan sejak mereka masuk ke mobil.

Leora menyandarkan punggungnya, menatap jalanan dari balik kaca jendela. Ia tidak langsung bicara. Memberi ruang. Memberi waktu.

Leonard yang lebih dulu memecah diam.

“Apa yang kau lihat barusan,” ucapnya datar, “bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan.”

Leora tetap menatap keluar. “Aku tidak membesarkannya.”

Leonard melanjutkan, nadanya tetap dingin, nyaris defensif.

“Roy hanya teman lama. Dan soal Jaesica—”

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung tanpa emosi,

“wajar kalau aku dekat dengan perempuan lain.”

Leora akhirnya menoleh.

“Ini perjodohan,” kata Leonard lugas. “Bukan sesuatu yang aku minta. Kau tahu itu. Aku tahu itu.”

Mobil melaju lebih cepat sedikit.

“Aku tidak akan berpura-pura menjadi pria yang tiba-tiba berubah hanya karena status,” lanjutnya. “Aku tidak hidup seperti itu.”

Leora menelan ludahnya pelan. Bukan karena marah—lebih karena ia sudah memperkirakan kalimat itu akan datang.

Tenang, katanya dalam hati.

Kau sudah tahu siklusnya. Kau bisa menghadapi ini.

Ia menarik napas, lalu berbicara dengan nada stabil.

“Aku mengerti,” ucap Leora tenang. “Dan aku tidak berniat mengatur masa lalumu.”

Leonard tidak menoleh.

“Lagipula,” lanjut Leora, suaranya ringan tapi tegas,

“aku juga tidak terlalu memikirkan perempuan mana yang dekat denganmu.”

Leonard sedikit mengernyit, nyaris tak terlihat.

“Bahkan kalau aku jujur,” Leora menoleh lurus ke depan, sejajar dengannya,

“aku… bodo amat.”

Leonard akhirnya melirik sekilas.

“Yang penting sekarang,” lanjut Leora,

“aku adalah calon istrimu. Itu saja posisiku.”

Tidak ada nada menuntut.

Tidak ada kecemburuan.

Hanya pernyataan fakta.

Mobil kembali hening.

Leonard tidak menjawab. Tidak membantah. Tidak juga mengiyakan. Ia kembali menatap jalan, rahangnya mengeras sedikit—sebuah reaksi kecil yang cepat ia kendalikan.

Sikap cuek itu kembali.

Namun untuk pertama kalinya hari itu, kata-kata Leora tidak berlalu begitu saja.

Dan Leora tahu diam Leonard kali ini bukan karena tidak peduli, melainkan karena ia tidak siap menanggapi.

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!