Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
Raya duduk lama di lantai kamar mandi. Dingin lantainya tak sebanding dengan dingin yang kini menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangannya tertuju pada dua garis merah itu, seolah menunggu keajaiban agar warnanya berubah, agar kenyataan ini hanya mimpi buruk yang bisa hilang jika ia bangun dari tidurnya.
Tapi tak ada yang berubah. Kenyataan tetap menghantamnya tanpa ampun.
Langkah kakinya lunglai saat ia akhirnya keluar dari kamar mandi. Kotak tes ia sembunyikan di bawah tumpukan pakaian dalam di lemari, jauh dari mata siapa pun. Ia tak ingin siapa pun tahu. Meskipun sebagian dalam dirinya tahu bahwa waktu akan membuat segalanya terbongkar.
Di dalam kamar, malam terasa begitu panjang. Ia tak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, bayangan malam itu kembali menghantuinya. Rasa sakit. Rasa takut. Dan suara Leo yang menyuruhnya diam, seakan keadilan bisa dibungkam oleh ikatan darah dan kekuasaan.
Pagi harinya, Raya berjalan ke sekolah seperti biasa. Tapi kini, setiap langkah terasa lebih berat. Ia terus memegangi perutnya, seolah sedang melindungi sesuatu yang belum ia terima sepenuhnya. Di kantin, aroma makanan yang biasa ia sukai membuatnya mual. Ia buru-buru menutup mulut dan berlari ke kamar mandi.
Dava yang melihat itu menyusulnya dengan cemas.
“Raya kamu kenapa?” tanya Dava, suaranya terdengar panik dari luar pintu bilik.
Raya tak menjawab. Ia hanya duduk di atas kloset, menahan tangis dan rasa mual yang tak kunjung reda.
“Raya…” suara Dava terdengar lirih.
“Kamu sakit, ya? Atau… ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”
Kalimat itu menusuk tepat di hati Raya. Ia ingin membuka pintu. Ingin berkata semuanya. Tapi lidahnya kelu. Ia takut jika kebenaran terucap, maka semuanya akan runtuh.
Saat ia akhirnya keluar, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya.
“Maaf, Dava… aku cuma masuk angin,” jawabnya pelan.
Dava menatapnya lama, tak percaya sepenuhnya. Tapi ia juga tak ingin memaksa. Ia hanya menggenggam tangan Raya, memberinya sedikit kekuatan dalam diam.
Raya menunduk saat tangan Dava menggenggamnya. Hangatnya genggaman itu menyalurkan rasa aman yang telah lama tak ia rasakan. Tapi sayangnya, kehangatan itu juga membuat dadanya semakin sesak. karena Dava terlalu baik, terlalu tulus, dan terlalu layak untuk tahu kebenaran yang begitu kelam.
Hari itu berlalu dalam kabut. Pelajaran demi pelajaran masuk telinga lalu menguap begitu saja. Pandangan Raya sering kosong, dan sesekali ia menatap keluar jendela, bertanya dalam hati apakah hidupnya akan kembali seperti dulu. Sebelum hari itu mencuri segalanya. Hari kematian ibunya.
Ketika bel terakhir berbunyi, Dava menawarkan diri mengantar Raya pulang, tapi ia menolak.
"Aku ingin sendiri dulu," katanya lirih. Dava tidak membantah, hanya mengangguk pelan, meski hatinya penuh tanda tanya.
Langkah Raya membawanya ke tempat yang entah mengapa terasa aman, taman kecil di belakang perpustakaan kota. Di sanalah ia duduk di bangku kayu tua, menatap angin yang menerbangkan daun-daun kering. Ia memegang perutnya, dan untuk pertama kalinya sejak dua garis itu muncul, ia berbisik pada sosok kecil yang belum ia kenal.
“Maaf… aku nggak tahu harus apa.”
Air mata kembali jatuh.
Suara langkah kaki yang lembut di atas kerikil membuat Raya mengangkat wajahnya. Ia buru-buru menyeka air matanya, berusaha tampak tenang meski jiwanya masih bergemuruh.
“Raya?” suara itu terdengar familiar. Dava.
“Kamu ngikutin aku?” tanya Raya pelan.
Dava duduk di sampingnya tanpa menjawab terlebih dahulu. Ia menatap langit yang mulai berwarna jingga, lalu menarik napas panjang.
“Nggak sengaja. Aku lewat sini waktu mau pulang. Terus aku lihat kamu.”
Keheningan kembali membungkus mereka. Hanya suara angin dan dedaunan yang jatuh menemani.
“Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja,” ucap Dava akhirnya.
“Tapi kalau kamu nggak mau cerita, aku ngerti. Aku cuma… mau ada di sini.”
Raya menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris tumpah lagi.
“Dava…” suaranya parau.
“Kalau aku bilang… aku hamil… kamu masih mau temenan sama aku?”
Dava menoleh cepat. Matanya membesar, jelas terkejut. Tapi ia tidak bicara.
Raya menarik napas gemetar.
“Aku nggak minta kamu ngerti… aku juga nggak ngerti kenapa ini bisa terjadi. Aku cuma… takut. Semua ini terlalu berat.”
Dava menatapnya lama. Lalu dengan hati-hati, ia menggenggam tangan gadis itu . Genggamannya sama seperti tadi pagi. hangat, lembut, dan penuh ketulusan.
“Yang jelas,” katanya perlahan,
“aku nggak akan ninggalin kamu.”
Raya menatapnya dengan mata basah. Dava mengangguk, seolah menegaskan kata-katanya.
“Aku nggak tahu harus gimana bantu kamu. Tapi kamu nggak sendiri, Ray. Selama kamu mau aku di sini… aku akan tetap ada.”
Tangis Raya pecah lagi, kali ini tanpa bisa ditahan. Karena untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa ada seseorang yang tidak lari darinya, bahkan ketika semuanya terasa gelap.
Langit telah gelap ketika Raya tiba di rumah. Langkahnya pelan, seperti ingin menunda waktu. Dava mengantarnya sampai di depan gerbang rumah mewah itu.
“Kalau butuh apa pun, segera hubungi aku,” katanya sebelum pergi.
Raya hanya mengangguk. Tak sanggup berkata apa-apa.
Begitu melewati pintu rumah, suasana langsung berubah. Sunyi. Raya melepas sepatu tanpa suara, melangkah perlahan menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti seketika saat melihat pintu kamarnya terbuka.
Tubuhnya menegang. Di dalam kamar, berdiri sosok yang tak ia harapkan, Leo. Ia berdiri membelakangi pintu, menatap keluar jendela yang mengarah langsung ke gerbang rumah. Kedua tangannya masuk ke saku celana, tubuhnya tampak santai, tapi aura di sekelilingnya begitu mengancam.
Raya mematung di ambang pintu, napasnya tertahan. Ia ingin lari, tapi kakinya seperti membeku.
Leo perlahan menoleh, matanya tajam menatapnya. Bibirnya terangkat sedikit, bukan senyuman. melainkan sindiran yang dingin.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara rendah, datar, dan mengandung amarah yang tersembunyi.
Raya menelan ludah. “Aku... habis dari perpustakaan.”
Leo mendengus pelan, lalu melangkah pelan mendekatinya. Tatapannya menusuk, seolah ingin menelanjangi kebohongan yang bahkan belum sepenuhnya terucap.
“Perpustakaan, ya?” gumamnya, seperti sedang mencicipi kata itu di lidahnya.
"Apa kau mengira, aku tidak melihat mu, pulang bersama bocah sialan itu. Hah!"
"Apa yang kalian lakukan,?"
Raya mundur selangkah, punggungnya menyentuh kusen pintu. Tubuhnya gemetar, tapi ia mencoba keras untuk tetap berdiri tegak. Dagunya terangkat, membalas tatapan Leo dengan tatapan tajam. Matanya memerah, karena menahan amarah, menahan tangis dan menahan segala emosi yang berkecambah didalam dirinya.
"Bukan urusan mu," ucapnya tajam, entah keberanian dari mana, sehingga ia bisa berucap seperti itu. Tetapi ia lelah, dengan semua beban masalah di hidupnya.
Tatapan Leo langsung berubah. Api kemarahan tampak membakar sorot matanya. Rahangnya mengeras, dan tanpa peringatan, tangannya melayang, menampar pipi Raya dengan keras.
PLAK!
Tubuh Raya terhuyung ke samping, wajahnya terasa panas terbakar. Rasa logam memenuhi mulutnya.
“Kau berani membentakku sekarang, hah?” bentaknya, suaranya meledak, memantul di dinding kamar sempit itu.