Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OTW Paris
Daren menemui Tristan untuk terakhir kalinya. Saat persiapan hampir selesai, pemuda itu sudah berada di kediaman sahabatnya.
"Hay, Bro."
Tristan menyambutnya dan bergabung di sofa.
"Berkas Dinda udah beres, dia mungkin lagi packing."
"Syukurlah kalau gitu."
Daren memandangi Tristan dan itu membuat sang empu tak nyaman.
"Kenapa?"
"Ultah Nana bentar lagi, tapi ultah lo."
"Gua nggak akan merayakannya."
"Lo di Indonesia kan saat ultah lo berlangsung?"
"Entahlah."
Daren tahu Tristan sedang menghindarinya.
"Ngomong-ngomong, Dinda cantik ya." Tristan tak menggubris. Daren sengaja membahas gadis itu agar Tristan mau sedikit lebih peka terhadap orang-orang di sekitarnya.
"Dia cewek pekerja keras, mentalnya itu. Menurut lo, kalau gua dan Dinda deket, gimana?"
"Kayak nggak ada cewek lain aja." Tristan berdecak, mencebik mendengar keinginan sahabatnya itu.
Daren tersenyum penuh arti dan kembali menimpali.
"Cewek lain sih banyak, tapi yang semangat cari uang tuh langkah."
"Jangan ganggu dia, gua ngga mau tu anak risih jadi asisten gua karena ada lo yang kegatelan."
"Dih, gitu amat lu ama gua, ketimbang Dinda doang. Ya udah deh, selamat bersenang-senang di Paris. Jangan lupa bawa oleh-oleh."
Tristan tampak cuek dan memeriksa segalanya, Dinda telah laporan dan siap untuk jalan.
[Pak Bos, saya sudah siap.]
[Tunggu saya di bandara, kita bertemu di sana.]
[Baik.]
Tristan menatap Daren.
"Gua cabut ya."
"Mau gua anter nggak?"
"Nggak usah, bye!"
Tristan pun berangkat. Dia menggunakan jasa taksi karena tak ingin Daren mengikutinya.
"Dasar!"
Daren lantas melaporkan semuanya pada Tuan Bagaskara. Ayah Tristan yang menetap di Singapura.
***
Sementara itu Dinda telah menunggu di Bandara, gadis itu melihat jam tangannya dan tampak bosan. Dua menit kemudian Tristan tiba dan menarik koper.
Pemuda itu mencari keberadaan Dinda yang berangkat lebih awal.
"Pak Bos!" Tristan menoleh.
Dinda tampak beda kali ini, rambutnya yang biasanya di ikat rapi dibiarkan tergerai indah, gadis itu melambaikan tangan dengan senyuman khasnya.
"Pak Bos, aku di sini."
Tristan seketika tertegun.
"Kamu, Dinda?"
Sang asisten meraba penampilannya.
"Iya, emang ada yang salah bos?"
Tristan menggelengkan kepala.
"Nggak ada, ayo jalan."
Dinda sangat senang, ini adalah perjalanan pertamanya keluar negeri. Dia menarik kopernya dan melakukan serangkaian pemeriksaan.
Melihat penampilan Dinda, Tristan seolah menghadapi orang lain, dia tidak seperti asisten yang dua Minggu ini menemaninya.
"Luka Pak Bos udah sembuh ya?"
"Hem, lumayan."
Dinda tersenyum saat pengecekan body, dia lolos lalu menunggu Tristan di belakang sana.
"Sudah, ayo pergi."
"Bos keren banget, pasti sudah sangat sering keluar negeri. Pemeriksaan seperti itu tampaknya udah biasa banget."
"Aku pernah bilang agar kamu berhati-hati, lihat sekarang kamu mulai mengakui jika saya itu keren."
Dinda tersenyum. Senyuman gadis itu pun terlihat begitu bahagia.
Tristan mengurus segalanya dan mereka menaiki pesawat.
"Bos, nih tangganya ngga mungkin lepas, kan?"
"Mungkin-mungkin aja, kenapa?"
"Boleh saya pegangan?"
Tristan mengangguk, berpikir Dinda akan berpegang pada pada realing tangga. Nyatanya gadis itu langsung memeluk lengannya dan menggandeng nyaman.
"Apa yang kau lakukan?"
"Bos, saya ngeri ketinggian."
Tristan berdecak.
"Lepas!"
Dinda cemberut, dia melepaskan tangan bosnya dan hampir tergelincir. Gadis itu panik dan hampir menubruk orang yang ada di belakangnya.
"Hati-hati!" Tristan menarik lengannya dan Dinda menatap kaget.
Tristan akhirnya mau tak mau menggenggam tangan gadis itu lagi.
"Saya ngga tahu kalau kamu seaneh ini."
Dinda berdecak, dan mereka tiba di kelas bisnis. Pramugari menerima tiketnya lalu mengarahkan mereka ke kursi masing-masing.
Tempat duduknya berdampingan membuat Dinda merasa sangat bersyukur.
"Silahkan."
"Terimakasih."
Dinda tak hentinya terpesona dengan apa yang dilihatnya.
"Emm, Pak Bos. Ini sangat menakjubkan."
Tristan mengangguk cuek.
"Permisi Nona dan Tuan, apakah anda ingin meminum sesuatu sebelum kita lepas landas?" Pramugari datang menawarkan.
"Ya, berikan saya air putih hangat," ucap Tristan.
"Kalau Nona?"
"Em, aku mau jus jeruk."
"Baiklah, tunggu sebentar."
Dinda tersenyum sangat manis.
"Oh iya, apakah kalian juga menyediakan desert?"
Tristan menoleh pada asistennya seolah mengatakan.
"Ayolah, apa kau harus makan sekarang?"
"Ada apa, Bos? Apa ada yang salah?"
Tristan menggelengkan kepala. Pramugari hanya tersenyum melihat kebersamaan mereka.
"Baiklah, Nona. Akan segera kami siapkan. Permisi."
"Wow, ini hebat banget." Dinda melihat ke sekeliling dan mendapati banyak tombol di kursinya.
"Gila, kita duduk kakinya ngga nyampe lantai. Eh, ini bisa naik turun juga, udah kayak tempat tidur aja."
"Bisa diem, nggak?" Dinda terhenyak mendengar ucapan bosnya.
"Sorry, Bos."
Tristan ingin ketenangan, dia bersandar nyaman di tempatnya dan sesekali mengecek perkejaan.
"Galak banget." Gadis itu meracau dan Tristan kembali menatapnya.
"Permisi pesanannya."
Jus dan desert datang, air hangat untuk Tristan pun datang.
"Terimakasih."
Pramugari pergi dan Dinda menikmati kuenya.
"Kamu sangat suka dengan makanan manis ya?" tanya Tristan.
"Iya Pak Bos, soalnya saya juga manis, hehe."
Garing, begitulah kedengarannya.
Tristan kembali fokus dan tak lama, pengumuman lepas landas terdengar.
Dinda menyelesaikan menghabiskan makanannya dan Pramugari datang membereskan peralatan makan yang kotor.
"Apa pesawatnya mulai bergerak?"
Tristan mengangguk.
Dinda kembali shock, dia ingin berpegangan tapi takut bosnya akan marah.
"Duh, kok gue takut ya." Dinda meracau. Dia memasang seat beltnya dan berdoa semoga Tuhan melindunginya.
Saat pesawat mulai terbang, Dinda yang cemas bukan main lantas memejamkan mata, Tristan tiba-tiba menggenggam jemarinya membuat gadis itu menoleh.
"Santai saja, ini hanya sebentar." Dinda kembali menutup mata karena takut, dia mengangkat tangan Tristan dan meletakkannya di keningnya. Hal itu cukup menghibur sang bos sampai pesawat menjadi stabil.
Suara pramugari kembali menyapa penumpang, Dinda menyadari jika semuanya baik-baik saja dan melepaskan genggaman bosnya.
"Terimakasih, Bos."
"Dinda, saya sepertinya mulai terganggu dengan panggilan itu." Dinda menatap bingung.
"Panggilan apa?"
"Jangan memanggil saya bos, seolah saya ini adalah seorang preman yang kejam."
"Loh Bos, bagiku justru terdengar keren. Pak Bos Tristan."
Kata keren yang di tekan Dinda membuat Tristan berhenti membahasnya.
"Kalau bukan bos, saya jadinya manggil apa?"
"Pak saja."
"Pak Tristan."
"Itu terdengar biasa saja, tidak ada yang spesial."
"Emang bagi kamu saya ini special?"
Dinda terpaku, Tristan baru saja menggodanya. Mereka saling menatap dalam waktu yang lama.
"Bos jangan melakukan itu, jangan sembarang menunjukan pesonamu."
Dinda membalasnya dan Tristan tahu itu.
"Kamu menarik juga, aku suka."
Dinda tersenyum dan akhirnya memilih untuk mendengarkan musik lewat headsetnya. Debar jantungnya mulai tidak aman saat sang Bos mengeluarkan jurus merayunya.
"Sial, kenapa tingkah pak bos terlihat aneh."
Dinda tak lagi berani membuka mata, takut Tristan melanjutkan serangannya untuk sekedar menggoda.
"Apa kau tidur?"
Tristan mengajaknya bicara, namun Dinda tak menghiraukan.
"Ya Tuhan, cepat sekali tidurnya."
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,