Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24.
Kang Pono dan warga mendekati Arjo dan Kodasih.. Membantu membersihkan tubuh mereka dan memberi air minum..
Kodasih .. untuk pertama kalinya.. menarik napas panjang, bebas.
Tubuh muda Kodasih yang masih gemetar merangkak pelan ke arah Arjo, sambil menangis...
“Arjo… sekarang aku ingat pesan mu dan Mbah Jati… tapi aku sudah terlanjur ke rumah Mbah Ranti.. dan... aku.. aku... menyerap ilmu Mbah Ranti.. hu... hu...hu...”
Arjo menunduk sedikit sambil mengusap tubuhnya yang terluka.
“Iya, Nyi .. kenapa Nyi Kodasih nekat melakukan nya?”
Kodasih diam menunduk.. “A.. a. Aku.......” ucap Kodasih lirih tak sanggup melanjutkan kalimatnya, air mata terus meleleh..
Sesaat dia mendongak menatap Arjo yang masih membersihkan lukanya.. “Tapi Jo aku sudah bisa mengalahkan Mbah Ranti... mungkin dia sudah mati..”
Warga yang masih ada di joglo, membelalak kedua matanya.. heran, kagum namun juga takut menjadi satu, setelah mendengar ucapan Kodasih..
Akan tetapi bersamaan dengan itu terdengar suara penuh dendam di atap joglo...
“Durung rampung… Dasiihh…”
(Belum selesai Dasiihhhh)
Lalu suara itu hilang... namun Kodasih yang mendengar langsung pingsan.
Warga ketakutan dan lari sambil berdoa, sebagian menutup telinga.. Tak ada yang berani melihat ke belakang.
Pada akhirnya, hanya tiga orang yang tinggal di dalam bangunan itu: Arjo , Kang Pono dan Kodasih yang masih pingsan..
🌑🌑🌑🌑
Hari berikutnya.. Malam kembali turun, merayapi dusun Akar Wangi, dengan langkah sunyi seperti makhluk raksasa yang tidak ingin terlihat. Angin yang sejak sore tadi berkecamuk perlahan mereda, menyisakan udara yang menggantung berat dan berbau tanah basah.
Di tengah kegelapan itu berdirilah Joglo Kodasih.. atau lebih tepatnya, bangkai Joglo Kodasih.. yang remuk seperti tulang tua yang retak di banyak bagian. Balok penyangga miring, genting berjatuhan, dan bilah bambu berserakan seperti patahan tulang. Namun bangunan itu masih mencoba bertahan, seolah menolak mati sebelum menyaksikan apa yang akan terjadi malam ini.
Warga dusun sudah menjauh sejak muncul lagi suara roh menggema penuh dendam dari joglo kemarin malam.
Sebuah obor kecil menyala di sudut ruangan, namun nyalanya tak mampu menembus gelap pekat yang menggantung seperti kabut hidup. Cahaya oranye obor itu bergetar, menari di dinding yang retak, menciptakan bayang-bayang panjang yang bergerak seperti makhluk lapar. Asap tipisnya naik ke atas, memutar, seolah menyusun lingkaran tak terlihat.
Di tengah ruangan, Kodasih duduk bersila. Tubuh nya gemetar tak henti, seperti seseorang yang sedang menahan kedinginan yang tidak berasal dari angin, melainkan dari sesuatu yang menempel di dalam tulang. Bayangan yang kemarin berhasil disingkirkan oleh Arjo... atau lebih tepatnya, yang lolos darinya... masih bersembunyi di balik gelap, menunggu saat kekuatannya melemah.
Arjo, dengan wajah tegang dan mata setajam mata lelaki yang sudah terlalu lama berurusan dengan roh, berlutut di lantai. Ia menggambar sebuah lingkaran besar menggunakan arang hasil pembakaran ujung tongkat bambunya.
Gerakannya mantap, perlahan, setiap garis dibuat seolah tiap guratan adalah batas antara hidup dan mati. Ketika lingkaran selesai, ia mulai menambahkan tiga simbol kuno.. huruf Jawa tua yang hanya dipahami oleh sedikit orang yang masih memegang ilmu gaib.
“Maya,” gumamnya saat menggurat simbol pertama.. ilusi, bayangan, apa yang tampak tapi bukan.
“Driya,” simbol kedua... tubuh, kehendak, ketahanan.
“Setya,” simbol terakhir... kesetiaan pada diri sendiri, inti dari kekuatan manusia ketika menghadapi dirinya sendiri.
Ketiganya tampak pudar, namun ketika tersentuh cahaya obor, terlihat seperti berdenyut halus.
Arjo menatap Kodasih. “Panjenengan siap, Nyi?”
(Engkau siap, Nyi..?)
Kodasih menggenggam kedua tangannya keras keras, kuku kukunya menancap ke kulit telapak tangan. Suaranya kecil ketika menjawab, “Aku… tidak mau lari lagi, Jo. Aku sudah meminum kendi itu. Aku sudah mengambil ingatanku. Bayangan itu bagian dari aku.”
Arjo menghela napas panjang. Ada kekhawatiran di dalam matanya, namun ada juga sesuatu yang lain.. kebanggaan, atau mungkin keyakinan bahwa Kodasih memang harus melewati ini untuk kembali utuh.
“Saiki tugasmu… nguwasani bayanganmu, dudu ngelari.”
(Sekarang tugasmu menguasai bayanganmu, bukan melarikan diri.)
Ia duduk di depan Kodasih, menata akar akaran, daun daun kering, bunga kenanga, dan beberapa benda kecil lain yang tampak seperti potongan ritual. Kenanga mengeluarkan bau menyeruak, bercampur dengan aroma arang hangus dan tanah basah dari lantai. Bau itu menempel pada kulit, merayap ke hidung, seperti aroma yang mempersiapkan jiwa untuk memasuki tempat yang tidak sepenuhnya berada di dunia ini.
Kodasih memejamkan mata. Nafasnya pendek, bergetar. Di balik kelopak matanya, ia melihat sosok bayangan yang sejak tadi mengikutinya: tinggi, kurus, hitam pekat seperti tinta malam, wajahnya meniru wajah Kodasih tapi tanpa mata, tanpa mulut. Ia merasakan keberadaannya bahkan ketika tak sedang melihat.
Joglo bergemeletuk pelan, seolah bangunan tua itu merasakan apa yang akan terjadi...
Arjo menutup mata. Bibirnya mulai bergerak, menggumamkan mantra dalam bahasa Jawa tua, suaranya dalam dan resonan, seperti gema yang turun dari langit langit.
“Sira ayu, sira peteng…
Sira wujud, sira ilang…”
(Kau cantik, kau gelap… Kau nyata, kau hilang…)
Mantra itu belum selesai ketika lantai joglo mulai bergetar halus, seperti detak jantung bumi yang bangun dari tidur panjang. Udara tiba tiba menjadi dingin hingga uap napas Kodasih terlihat. Dari celah celah lantai, sebuah asap hitam muncul.. bukan seperti asap pembakaran, tetapi seperti kabut rawa: berat, lembab, berbau tanah basah dan akar busuk.
Kodasih menelan ludah, napasnya tercekat.
Dari balik asap itu, bayangan muncul.
Bukan lagi raksasa seperti beberapa jam lalu. Kini ia mengambil bentuk yang lebih… manusiawi. Wujudnya adalah sosok wanita tinggi, tubuhnya hitam pekat sampai tidak memantulkan cahaya. Permukaannya licin seperti cat basah.
Wajahnya menyerupai Kodasih, namun hilang seluruh detailnya. Tidak ada mata, tidak ada hidung, tidak ada mulut.. hanya kontur wajah kosong yang tampak lebih mengerikan daripada wajah apa pun yang bisa dilukis manusia.
Rengkuhan bayangan itu memanjang seperti asap hidup, bergerak perlahan ke arah Kodasih.
“Daaasiiiiiih… balikke aku… awake dewe loro ning siji.. ”
(Dasiiihhh... kembalikan aku.. kita dua tapi satu..)
Suaranya bukan berasal dari mulut, melainkan dari ruang di antara bayangan nya. Suara itu seolah dihasilkan oleh udara yang dipelintir.
Kodasih memejamkan mata dan menahan jeritan.
Arjo menghentakkan tongkatnya yang ujungnya menghitam karena telah dibakar, ke lantai.
TOK!
Bayangan itu berhenti mendadak. Tubuhnya bergetar seperti ditahan oleh tali yang tak terlihat.
“Dengarkan baik baik Nyi..,” kata Arjo dengan suara yang lebih keras.
“Bayangan iki dudu musuhe. Iki kowe. Iki rasa iri sing Panjenengan simpen puluhan taun. Juga rasa sedihmu, kecewamu, dendammu.”
(Bayangan ini bukan musuh. Ini Panjenengan, Ini rasa iri yang Panjenengan simpan berpuluh puluh tahun. Juga rasa sedih mu , rasa kecewa mu, rasa dendam mu).
Kodasih menunduk. Air mata mengalir pelan dari kedua sudut matanya.
Arjo memandang bayangan itu lagi. “Bayangan ini menjadi liar… karena engkau tidak pernah mau menerima dirimu seutuhnya.”
Bayangan itu bergerak seperti merangkak, tubuh nya melengkung, tangannya yang panjang memburu tanah. Ia mendekati Kodasih seperti seorang ibu yang merindukan anak nya,...atau ...
... seorang makhluk lapar yang menemukan mangsa nya.
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣