“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 31
Tubuh Ikram bereaksi, wajahnya mulai pucat saat kinerja otak dipaksa lebih dari porsinya.
Arinta melongo, dia bergumam lirih. “Dokter? Dia Dokter?”
Petugas administrasi mulai paham, dia langsung mengganti pertanyaan dengan bahasa formal seperti kepada calon pasien lainnya. Hal tersebut berhasil membuat Ikram sedikit nyaman.
Byakta Nugraha mendekati petugas administrasi. “Tolong sampaikan kepada asisten pemilik rumah sakit, kalau Byakta Nugraha telah tiba. Sebelumnya saya sudah membuat janji temu.”
"Baik, pak. Mohon tunggu sebentar ya?” Gagang telepon langsung diangkat dan menyambungkan dengan kontak asisten pemilik rumah sakit.
Ekspresi wajah Ambu bertambah keruh, kenyataan ini sedikit demi sedikit membuatnya tidak nyaman. Seperti ditampar oleh fakta – kalau identitas pria yang pernah ditolong itu bukan dari kalangan biasa.
Abah berusaha menetralkan rasa terkejut. Bisa membuat janji langsung dengan asisten pemilik rumah sakit, berarti pria berwajah tegas mengenakan kaos longgar, celana kolor selutut ini adalah orang berkuasa.
Dzikri berbisik ke petugas administrasi. “Nanti ada wanita yang akan mengisi formulir ini. Dia istrinya Dokter Ikram Rasyid.”
“Baik, pak.” Angguknya, lagipula dengan pemberitahuan kalau pemeriksaan ini mungkin lewat jalur vip, langsung melibatkan pemilik rumah sakit, maka tak ada masalah. Dia pun mengenal dokter Ikram.
Setelah menunggu hampir lima menit, dari arah tangga. Seorang pria tergopoh-gopoh menghampiri keluarga Meutia.
Deru napasnya terdengar kasar, dia baru saja menuruni anak tangga dari lantai tiga sampai bawah, dikarenakan lift selalu penuh.
Dia sedikit membungkukkan bahu. Jantungnya berdebar kencang bila berhadapan dengan pemilik saham lima persen di rumah sakit tempatnya bekerja. “Maaf, telah membuat juragan Byakta menunggu sedikit lama.
Byakta mengangguk singkat, lalu berjalan dibelakang sang asisten sahabatnya.
Rombongan itu naik lift yang sudah ditahan oleh petugas kebersihan.
***
Disinilah para anggota keluarganya Meutia, ada juga Ambu dan suaminya serta anak cucu.
Pria berumur lima puluh tahun lebih, sedang bercengkrama dengan Byakta Nugraha. Mereka sama-sama perintis selain juga memang pewaris tunggal kekayaan keluarga.
Beberapa saat kemudian, masuklah tiga orang berkisaran umur awal empat puluh tahunan. Mengenakan pakaian santai, dikarenakan ini hari Minggu, waktunya dokter spesialis libur.
“Dokter Ikram Rasyid? Alhamdulillah Anda masih hidup. Saya sempat tak percaya ketika dihubungi, dipinta datang untuk memeriksa kondisi rekan sejawat.” Salah satu dari mereka menghampiri Ikram yang menatap terkejut.
“Maaf, siapa yang Anda maksud dokter?”
“Astaghfirullah. Maafkan saya yang mulai pikun ini,” candanya. Seharusnya dia memperkenalkan diri terlebih dahulu.
“Perkenalkan, saya dokter Arif. Dokter ahli saraf.” Tangan kanannya terulur.
Ikram langsung berdiri, menyambut uluran tangan. “Saya … Ikram,” katanya ragu-ragu.
"Anda adalah seorang dokter umum, dokter Ikram Rasyid. Dulu pernah bertugas disini, kalau tak salah tiga tahun lamanya. Kemudian minta dimutasi ke kota kecil," beritahu dokter Arif.
Ekspresi Ikram sulit diterka, dia masih mencerna informasi mengejutkan ini.
Lalu, sosok lainnya bergantian mengulurkan tangan. “Saya dokter Ismail, seorang Psikiater. Tak lama lagi kita juga jadi rekan sejawat, karena Anda sedang menempuh program spesialis kedokteran jiwa (Psikiatri). Sudah separuh jalan.”
Informasi tambahan ini membuat Ikram termangu, sampai membutuhkan waktu menyambut uluran tangan itu. "Terima kasih atas informasinya, Dokter Ismail."
“Saya psikolog, Heri.” Dia menyalami hangat calon pasiennya.
Bukan cuma satu dokter, tapi tiga sekaligus. Melalui Byakta Nugraha – keluarga Meutia meminta penanganan khusus teruntuk Ikram Rasyid.
Ambu, seperti seseorang sesak napas. Matanya terus memperhatikan interaksi Ikram yang terlihat luwes berkenalan. Pria itu sangat berbeda ketika saat berada di kelurahan Sampan.
‘Dia terlihat bersinar, tidak kebanting dengan para dokter hebat itu,’ Arinta memuji sosok yang tidak disangka-sangka adalah seorang dokter, dan calon Psikiater.
Dia benar-benar tidak menyangka kalau pria kesehariannya sangat sederhana, bukanlah orang biasa.
Rasa kagum Abah bertambah, kini dia telah menemukan jawaban dari banyaknya pertanyaan, praduga, tentang sikap dan pembawaan diri seorang Ikram Rasyid.
Sesudah perkenalan singkat itu. Ikram dibawa ke bagian pemeriksaan menyeluruh pasien ( Medical Check-Up).
Dia akan menjalani serangkaian tes yang mencakup; pemeriksaan fisik, tes laboratorium (darah, urin), cek tekanan darah, pemeriksaan jantung, rontgen untuk mengetahui kondisi paru-paru, dan pemeriksaan lainnya.
Baru esok hari, dokter ahli saraf, psikiater, dan psikolog, akan menentukan pilihan cara penyembuhan terhadap dokter Ikram Rasyid.
.
.
Di lantai bawah, jemari Meutia bergetar saat mengisi formulir data diri suaminya. Dia hafal betul Nomor Induk Kependudukan, tanggal kelahiran Ikram.
Setelahnya mereka menyusul ke ruang pemeriksaan, tetap tidak menampakkan wajah, bersembunyi di tempat aman.
“Sabar sedikit lagi, Tia. Ini yang terbaik untuk Ikram, sebab dia takkan sanggup kalau kita memberikan kejutan bertubi-tubi, disaat otaknya mungkin ada jaringan saraf yang butuh ditangani tim medis.” Nirma memeluk bahu sahabatnya. Sebagai seorang mantan perawat, sedikit banyaknya dia tahu tentang kesehatan.
Meutia mengangguk, tersenyum lebar. Jenis senyum ikhlas, dia menerima kondisi ini. Tak mengapa untuk sementara waktu seperti bayangan mengikuti langkah suaminya. Semua itu demi kesembuhan ayah dari putra-putri mereka.
“Sepertinya masih lama selesainya, apa tak sebaiknya kita cari tempat nyaman. Nanti juga Dzikri pasti menemui dan mengatakan tentang pemeriksaan itu.” Dhien mengusulkan.
“Ke kantin saja. Kalian pasti lapar, kita pun belum ada makan siang.” Meutia memeluk lengan saudaranya.
Mereka lalu berjalan menuju kantin rumah sakit yang ada di lantai satu.
***
Ketiga wanita bersuamikan pria mapan, dan setia itu memesan menu sesuai selera.
Tidak lama kemudian – jus Alpukat, Mangga, Sirsak, memenuhi meja para wanita. Untuk menu makan siang, ada; soto, nasi sayur, nasi ayam.
Meutia makan dengan pikiran tertuju pada Ikram. Batinnya terus meyakinkan kalau suaminya itu pasti bisa melewati serangkaian tes menyakitkan tanpa mengalami kendala. Dan berharap hasilnya bagus.
‘Ya Rabb, kali hamba mohon – tolong berikan kesembuhan bagi bang Ikram. Mendengarnya berkata tak memiliki uang, hati hamba hancur, apalagi melihatnya berusaha menerima keadaan kalau semisal hasil tes kesehatan itu tidak sesuai harapan.’
Saat sedang menikmati makan siang, tiba-tiba Dhien menyenggol lengan Meutia. Mengode untuk melihat ke arah belakang tempat duduk mereka.
Meutia langsung menoleh, sorot matanya berubah tegas dengan raut kesal tertuju pada Arinta dan ibunya.
Hal sama pun dilakukan oleh Arinta, niat hati ingin makan siang. Malah ketemu dengan wanita yang mengaku-ngaku istrinya pria diinginkannya.
Ambu bertanya dengan tatapan aneh. Tidak biasanya Arinta memasang ekspresi kesal. “Ada apa, Rin? Mengapa berhenti ...?”
"Dia wanita yang mengaku-ngaku istrinya Yunus, Ambu. Dia juga yang menghalangiku kala hendak memaksa papanya Denis pulang ke kelurahan Sampang." Di belakang tubuh, tangan Arinta mengepal.
"Ayo kita datangi dia! Karenanya keadaan jadi rumit!"
.
.
Bersambung.
Alhamdulillah, cover nya udah diganti lagi. Yang kemarin aku kurang sreg 🥰
suskes trs y kak, dtunggu novel kak cublik yg lain'y 😎🥰
setiap katanya penuh semangat khas "Medan kali" , harapannya kedepan lebih banyak bahasa sehari-hari warga Medan atau Langkat khususnya digunakan mbak jadi kesannya memang benar kisah nyata.
Pemirsa pembaca yang Budiman masih menunggu kelanjutan kisah dari desa jamur luobok yang lain. Mungkin kisah si three Musketeers from desa jamur luobok " ayek dkk" .
🙏🙏🙏
terimakasih kaka.. ditengah gundah gulana kaka akan kabar keluarga di tanah air yg terkena musibah, tapi kaka tetap menulis sampai akhir kisah meutia ini. semoga semua karya kaka bisa jadi ladang pahala untuk kakaa.. salam sayang online dari jauh 🤗🤗🥰🩷