ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 : Kabar untuk Sang Nenek
Udara pagi di rumah keluarga Leonhart begitu tenang, hingga hanya denting sendok di atas piring porselen yang terdengar di ruang makan megah itu. Nyonya besar Leonhart duduk anggun di ujung meja panjang, mengenakan gaun berwarna gading dan kalung mutiara warisan keluarga. Matanya menatap halaman luar yang dipenuhi mawar putih, sementara Butler menuangkan teh hangat ke cangkirnya.
Adrian masuk dengan langkah tegap, setelan kerjanya rapi seperti biasa. Namun ada sesuatu dalam sorot matanya, sebuah keputusan yang telah dibuat.
"Selamat pagi, Nenek," sapanya sopan.
"Pagi, Adrian." Nenek menoleh, tersenyum tipis. "Kau terlihat lebih tenang hari ini. Atau aku hanya sedang optimis?"
Adrian menarik kursi dan duduk. Ia menuangkan kopi untuk dirinya sendiri, lalu menatap wanita tua itu dengan serius.
"Aku akan datang malam ini untuk makan malam," katanya.
Nenek Leonhart menaikkan alis, sedikit terkejut tapi tidak menunjukkan kegembiraan secara berlebihan.
"Begitu? Dan... kau akan datang sendiri, atau...?"
"Bersama Claire," jawab Adrian. Lalu, dengan jeda yang sangat singkat, ia melanjutkan, "Dan bersama calon ibu Claire."
Kali ini, sendok teh di tangan Nyonya Leonhart berhenti bergerak. Matanya menatap cucunya, membaca wajahnya yang penuh ketegasan.
"Calon ibu Claire?" ulangnya pelan, seolah ingin memastikan telinganya tidak menipu.
Adrian mengangguk. "Wanita yang akan kuperkenalkan malam ini bukan dari kalangan bangsawan. Tidak pula datang dengan gelar atau silsilah panjang."
Nenek meletakkan cangkirnya dengan perlahan. "Tapi?"
"Tapi dia mencintai Claire dengan cara yang tak bisa diajarkan oleh status. Dan dia... akan menjadi istriku."
Keheningan menggantung selama beberapa detik. Pelayan yang lewat pun menahan napas.
Kemudian, senyum perlahan tumbuh di bibir wanita tua itu. Bukan karena kagum, mungkin bukan juga sepenuhnya setuju, tapi karena ia tahu cucunya tidak pernah bicara tanpa maksud.
"Aku akan menyiapkan meja untuk tiga orang dewasa dan satu gadis kecil," katanya akhirnya, sambil kembali mengangkat cangkir tehnya. "Dan kau lebih baik datang tepat waktu. Jika wanita itu sungguh seperti yang kau katakan, aku ingin melihat dengan mataku sendiri."
Adrian berdiri, merapikan jasnya. "Terima kasih, Nenek."
Saat ia melangkah pergi, suara Nyonya Leonhart menyusul di belakangnya... lembut tapi tajam.
"Pastikan dia bukan hanya mencintai Claire, Adrian. Tapi juga cukup kuat untuk berdiri di tengah keluarga ini."
Adrian tak menjawab, tapi langkahnya mantap saat meninggalkan ruangan itu.
...****************...
Elina berdiri di depan cermin besar di kamarnya yang sempit. Cahaya lampu temaram menyorot wajahnya yang tengah menatap bayangannya sendiri. Di atas tempat tidur, sebuah kotak beludru gelap tergeletak, isinya adalah gaun sederhana namun elegan berwarna biru safir, dengan potongan leher yang anggun dan pinggang yang jatuh pas membingkai siluetnya.
Itu hadiah dari Adrian.
"Elina, anggap saja ini seragam tempur," ujar pria itu tadi siang sambil menyodorkan kotak itu dengan wajah tenang tapi tak bisa disanggah.
Ia sempat menolak, tentu saja. Tapi seperti banyak hal lain yang datang dari Adrian Leonhart, penolakan tak pernah benar-benar bisa bertahan lama.
Sekarang, di balik pintu tertutup dan sunyi, Elina perlahan mengenakan gaun itu. Ia menarik ritsleting perlahan, menyapu rambutnya ke satu sisi, dan mengambil sisir kecil. Riasannya sangat tipis, hanya bedak ringan, sedikit warna di pipi dan bibir, serta maskara yang membuat matanya tampak lebih hidup.
"Aku bukan siapa-siapa... tapi malam ini aku harus berdiri di tengah keluarga orang yang namanya bisa menggetarkan ruang rapat," gumamnya lirih. Jantungnya berdebar tak karuan.
Ia mengenakan sepasang anting mungil dari lacinya sendiri, hadiah ulang tahun dari salah satu muridnya beberapa tahun lalu, dan menatap bayangan dirinya untuk terakhir kalinya.
Tak ada kemewahan berlebih. Tidak ada kilau berlebihan. Tapi justru dalam kesederhanaannya, ia tampak anggun. Seperti wanita yang tahu di mana tempatnya, tapi juga berani untuk berdiri di tempat yang bukan miliknya.
Suara mobil berhenti di depan rumah membuatnya terlonjak. Ia melirik jam di dinding. Tepat waktu, seperti biasa.
Dengan langkah pelan namun mantap, Elina mengambil clutch kecil, memeriksa sekali lagi wajahnya di cermin, dan berjalan keluar rumah. Saat pintu terbuka, angin malam menyambutnya, membawa serta aroma keputusan besar yang sudah tak bisa ditarik kembali.
Malam ini, ia akan masuk ke dunia Adrian.
Dan entah kenapa, rasanya seperti melangkah ke sebuah ujian yang akan menentukan seluruh sisa hidupnya.
...****************...
Lampu depan mobil mewah berwarna hitam mengiris gelap malam ketika perlahan berhenti di depan rumah Elina. Pintu belakang terbuka terlebih dahulu, dan dari dalam muncullah sosok mungil dengan mata berbinar.
"Miss Elinaaaa!" Claire berseru sambil melambaikan tangan kecilnya dari dalam mobil. Rambutnya dikepang rapi, dan gaun kecil berwarna krem yang dikenakannya menjadikan anak itu terlihat seperti malaikat kecil malam ini.
Elina tersenyum, berjalan mendekat sambil menunduk menyapa, "Wah, Claire kelihatan sangat cantik malam ini."
"Miss Elina juga cantik sekali!" seru Claire tanpa ragu, tangannya menyentuh gaun Elina yang jatuh anggun di tubuhnya. "Ini seperti cerita dongeng. Mendapatkan ibu baru yang seperti peri!"
Sebelum Elina sempat membalas, pintu pengemudi terbuka. Adrian melangkah keluar.
Ia mengenakan jas arang yang elegan, dasinya longgar, dan rambutnya tersisir rapi seperti biasa. Tapi ada sesuatu di tatapan matanya saat ia melihat Elina, sesuatu yang tak pernah ia ucapkan, tapi selalu terselip di antara diamnya. Kagum. Takjub. Dan diam-diam, sedikit... gugup?
"Elina," ucapnya pelan, suaranya serak tertahan. "Kau terlihat... sangat berbeda malam ini."
"Semoga tidak terlihat aneh," balas Elina canggung, tangannya secara refleks merapikan lipatan gaunnya.
"Tidak," katanya, mendekat beberapa langkah. "Kau terlihat seperti seseorang yang seharusnya memang berada di sisiku sejak awal."
Elina terdiam. Claire, tanpa sadar, sudah menyelinap memegang tangan Elina, lalu tangan Adrian di sisi lain.
"Ayo kita pergi!" serunya riang, menciptakan jembatan yang sederhana namun kuat di antara keduanya.
Adrian membuka pintu untuk Elina. "Baiklah... ayo kita berangkat!" ucapnya sambil tersenyum kecil, senyum tipis yang hanya muncul saat dia sedang mencoba menenangkan seseorang, atau... menenangkan dirinya sendiri.
Elina masuk, duduk di samping Claire. Sesaat sebelum pintu tertutup, angin malam meniup pelan anak rambut di pelipisnya.
Dan begitu mobil kembali melaju, jalanan menuju kediaman keluarga Leonhart seakan menjadi lintasan nasib yang mulai menjalin takdir baru, bukan lagi sebagai guru dan orangtua murid, tapi sebagai calon pasangan yang akan dinilai, diperiksa, dan mungkin... dihakimi.
Tapi di sisi Elina, ada Claire yang tak berhenti bercerita. Dan di depan, Adrian menyetir dalam diam. Tangannya tenang di atas setir, tapi sesekali matanya menyelinap ke cermin belakang, menangkap wajah wanita yang mulai perlahan mengisi ruang yang dulu ia simpan untuk sesuatu yang belum pernah ia beri nama.