"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
"Kenapa harus berantem sih, Sayang. Jadi bonyok gini kan mukanya," ucap Nathalie sambil membersihkan wajah Revano yang terlihat membiru.
"Nggak sengaja, Ma," alibi Revano. Tadi ia sudah mengarang cerita pada Nathalie. Entah masuk akal atau tidak, yang jelas ia sudah memberi alasan untuk membuat Mamanya tidak khawatir.
Pagi ini Nathalie datang bersama Reno, Reyna, dan Rifki. Semalaman ia tidak tenang mengetahui putranya yang sempat kabur itu hilang lagi. Trauma dengan kejadian dulu.
Rifki terlihat tengah bermain ponsel di balkon hotel. Reno dan Reyna tengah pergi keluar untuk membeli makanan. Tama sendiri sedang mengurusi bisnisnya. Bukan hal yang aneh, sebab saudara Revano sudah terbiasa dengan kesibukan Papanya itu.
Beberapa menit kemudian Reno dan Reyna memasuki kamar hotel dengan plastik di tangan. Nathalie sudah menyelesaikan tugasnya untuk mengurus luka di wajah Revano.
"Udah siap, Bang? Kalau udah, Aku mau bicara berdua sama Abang," ucap Reno setelah meletakkan plastik berisi sarapan itu di meja.
"Kamu nggak sarapan dulu, Reno?" Nathalie menatap Reno, tangannya yang tengah disibukkan membuka kantong plastik itu terhenti.
"Mama duluan aja sama Reyna. Reno ada perlu sebentar sama Bang Van," ucap Reno sambil berjalan menuju balkon. Revano mengikutinya dari belakang, berjalan pelan.
"Sarapan sana kamu, Rif. Udah abang beliin sarapan tuh," ucap Reno sambil menunjuk ke dalam.
"Abang nggak ikut sarapan?" tanya Rifki.
"Nanti aja."
Setelah ditinggalkan berdua di balkon bersama Revano, Reno segera menceritakan hal besar pada Revano. Suatu hal yang ia diskusikan bersama Papanya malam tadi.
"Papa setuju sama rencana yang Dita berikan itu, Bang." Reno berdiri memegang pembatas balkon, menatap ke depan.
Revano duduk di kursi yang ada di balkon, medengarkan. Sedikit terkejut dengan ucapan Reno.
"Dita udah cerita sama abang, 'kan? Dan ya, awalnya Papa menolak saat aku sendiri mengutarakan niat itu. Dita benar, kita berdua kembar. Jika Papa ingin menjodohkan anak pertamanya dengan anak Om Hasan Papanya Dita, berarti Reno juga bisa, 'kan?"
Reno menghela nafas kasar. Berbalik, menatap Revano. "Om Hasan aja setuju, Bang. Kenapa Papa harus egois?"
"Bukankah katamu tadi Papa sudah setuju?" Revano bertanya, menyuarakan apa yang ia dengar dari saudara kembarnya itu.
Reno kembali berbalik, memunggungi Revano. "Papa memang setuju, tapi ada syarat yang harus kita kerjakan."
Sempurna sekali Revano terkejut. "Syarat? Syarat apa?"
"Tidak sulit. Perusahaan Kakek Riswan yang ada di Jakarta, Papa meminta Abang untuk meneruskannya," ucap Reno.
"Meneruskan? Maksudnya, aku yang mengambil alih perusahaan itu?" tanya Revano tidak percaya, "Kenapa harus aku?"
Reno mengusap wajahnya, kebas. Inilah yang ia takutkan. Abangnya pasti menolak. Tapi ini memang mudah, bukan? Kakek Riswan sangat dekat dengan Abangnya yaitu Revano.
Bahkan cucu tersayang Kakek Riswan adalah Revano. Bukan tanpa alasan, dari keempat cucunya, Revano-lah cucu yang berwajah mirip dengan Kakeknya. Semua wajah anak Tama dominan mirip Nathalie, hanya Revano yang lebih banyak mewarisi wajah muda Kakek Riswan.
Bukan hanya itu alasan sebenarnya. Sifat Revano yang sedari kecil sangat pendiam alias jarang bicara, membuatnya mendapat perhatian khusus dari Kakek Riswan. Walau begitu, itu tidak menutup kemungkinan Kakek Riswan tetap menyayangi cucunya yang lain.
"Perusahaan Kakek Riswan adalah perusahaan besar di Jakarta. Papa menyerahkan perusahaan itu pada orang kepercayaan Kakek untuk mengurusnya sementara. Sebenarnya, perusahaan itu akan dilanjutkan olehku atau Rifki. Sedangkan Abang sendiri melanjutkan perusahaan Papa yang ..." Reno menjeda kalimatnya. Ia tahu akan menyinggung abangnya, maka dari itu tidak berniat melanjutkan.
Reno berbalik, menatap Revano. "Abang harus mau menjalankan perusahaan itu. Kakek mewariskannya untuk Abang, untuk dikelola olehmu. Kita sama-sama untung. Abang memiliki perusahaan yang abang impikan tanpa harus memulai dari nol, sedangkan aku bisa menikahi Dita. Tidak ada yang dirugikan. Papa sudah bersedia menyerahkan bisnis senjatanya untuk aku kelola."
Memang benar. Bisnis yang Revano benci dari papanya adalah bisnis senjata. Bisnis ilegal yang didirikan Tama itu berkembang dengan besar. Memang tidak sampai diketahui orang luar, seperti presiden atau sejenisnya. Tapi bisnis itu telah bekerja sama dengan sesama mafia si luar negri.
Ada alasan tersendiri kenapa Revano membenci bisnis senjata itu. Selain ilegal dan uang yang dihasilkan tergolong haram, menambah musuh bisa menjadi penyebab lainnya.
Banyak sekali pesaing Tama dalam dunia gelap itu. Revano tidak pernah suka, dan tidak akan suka.
Revano membuang muka, memikirkan ucapan Reno yang memang benar adanya. Ini menguntungkan semua pihak. Papanya sudah setuju, apakah Revano masih harus egois?
"Bang! Mama pingsan!"
Kedua kepala itu menoleh bersamaan. Reyna dengan raut wajah panik menghampiri Revano dan Reno di balkon. Mereka yang asik berbicara tidak mengetahui kejadian di dalam.
"Kenapa Mama?" Revano berdiri, mendekati Reyna. Reno mengikuti di belakangnya.
"Mama pingsan setelah mendapat telepon dari Rumah Sakit. Katanya Papa kecelakaan. Gimana ini, Bang?" Reyna bingung, reflek ia menarik tangan Revano, membawanya menuju ranjang tempat Nathalie terbaring.
"Papa kecelakaan? Bagaimana bisa? Papa tidak seceroboh itu, Reyna," ucap Reno yang juga mengikuti dari belakang.
"Aku nggak tahu, Bang. Tadi ada nomor asing yang menelpon Mama, katanya dari rumah sakit. Mereka memberitahukan Papa masuk rumah sakit," ucap Reyna dengan mata berkaca.
Ia takut, Papanya masuk rumah sakit, Mamanya pingsan. Abangnya tidak percaya padanya. Dia harus bagaimana?
"Kamu tidak lagi acting kan, Rey?" tanya Reno was-was. Pasalnya, satu-satunya adik perempuannya ini bercita-cita ingin menjadi aktris. Waktu Revano minggat saja ia berhasil mengecoh satu rumah, bagaimana dengan ini?
"Reyna benar, Bang. Tadi Rifki juga denger orang di rumah sakit bilang gitu. Mama syok, dan akhirnya pingsan," ucap Rifki menjelaskan.
Revano memberikan minyak kayu putih yang ada di nakas samping ranjang. Mengoleskannya di hidung Nathalie, berharap mamanya itu cepat sadar. Ketakutan terbesarnya tentang berjalannga bisnis itu akhirnya terjadi.
"Tapi, bagaimana bisa Papa masuk rumah sakit? Kecelakaan? Yang benar saja! Papa tidak mungkin seceroboh itu," Reno bersungut-sungut tidak percaya.
"Hanya ada satu kemungkinan ..." Revano bergumam.
"Apa, Bang?"
"Saingan bisnis senjata milik Papa."
***
Revano bersama mama dan ketiga saudaranya sudah berada di depan ruangan ICU. Wajah Nathalie terlihat sembab. Bekas air mata terlihat jelas di matanya.
"Kenapa Dokternya belum keluar, Revano?" gumam Nathalie. Ia sekarang tengah bersandar di lengan Revano, sesekali menyeka air di matanya.
Revano mengelus tangan Nathalie. Tidak jauh dari Revano, Reno juga tengah menenangkan adik bungsu mereka. Reyna terlihat sesegukkan dipelukan Reno. Reno dan Rifki berusaha menenangkan.
Pintu ICU terbuka. Tama keluar diikuti Dokter dan suster di belakngnya. Tidak membuang waktu, Nathalie langsung menghambur memeluk suaminya.
"Papa kenapa bisa masuk rumah sakit?" Nathalie melepaskan pelukannya, memperhatikan Tama dari atas sampai bawah. Tangannya membekap mulut, kaki Tama terlihat diperban. Patah-patah ia menunjuk kaki suaminya itu, air matanya kembali jatuh.
Reyna masih seperti sebelumnya. Revano sedikit mengabaikan keadaan Mamanya. Ia segera bertanya pada Dokter tentang apa yang terjadi. Di sebelahnya Mamanya tengah ditenangkan oleh Papanya.
"Peluru di kaki pasien sudah diambil. Luka di perutnya juga sudah dijahit. Pasien sudah bisa dibawa pulang. Sebenarnya harus dirawat dulu, ya, untuk memulihkan bekas jahitan. Tapi jika pasien ingin pulang, sudah diizinkan," jelas Dokter itu saat Revano bertanya.
Nathalie kembali terkejut kala mendengar penjelasan Dokter. Walau pun ia tengah cemas pada suaminya, penjelasan dokter juga terdengar jelas di telinganya.
"Papa nggak pa-pa, Ma. Kan dokter sudah mengijinkan pulang. Jangan nangis lagi dong," ucap Tama sambil menghapus air mata istrinya.
"Tapi Papa habis ditembak, perut Papa habis dijahit, gimana bisa Papa bilang nggak pa-pa?" Nathalie tetap saja menangis, tidak menghiraukan tatapan anak-anaknya yang memandangnya ... entahlah.
Revano memutar bola matanya malas. Orangtuanya ini, entah kenapa, ingin sekali ia mengatakan tidak tahu diri. Pasalnya, ia sendiri malu jika harus memperlihatkan kemesraannya di depan umum. Jangankan di depan umum, di depan satu orang saja mungkin ia malu.
Sedangkan mereka? Sudah tua, tidak tahu umur apa ya?
"Papa harus menemui seseorang," gumam Tama.
"Siapa, Pa?" Nathalie bertanya.
Tama menatap Nathalie lekat. "Orang yang sudah menolong Papa. Mungkin saja, bila dia tidak ada, Papa akan di sini hanya tinggal nama."
Revano yang ingin tahu ikut mendekat.
"Menolong Papa? Siapa orangnya, Pa?" tanya Nathalie tidak sabaran.
"Putra."
••••
Bersambung