NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:982
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 13

Ketika sang menteri melontarkan pertanyaan tentang insiden pesta teh, Arthur sempat menoleh sekilas, tatapannya tajam namun terkendali.

“Yang Mulia,” ujarnya akhirnya, suaranya dalam dan tenang, “pesta teh tadi hanyalah percakapan ringan di depan para bangsawan senior. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.”

Namun, Kaisar tidak melewatkan nada getir yang terselip di balik kalimat itu. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, jemarinya mengetuk sandaran singgasana. “Benarkah? Padahal aku mendengar kabar bahwa beberapa tamu merasa tidak nyaman dengan cara kau menanggapi pertanyaan mengenai pernikahanmu.”

Arthur menghela napas singkat. “Aku hanya menyampaikan kebenaran. Tidak ada yang salah dengan itu.”

Menteri Luar Negeri menimpali dengan nada diplomatis, “Namun, Yang Mulia, kebenaran terkadang lebih tajam dari pedang. Para bangsawan senior mungkin menganggap ucapan Anda sebagai bentuk penolakan halus terhadap Putri Mahkota Camilla. Dan itu bisa dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melemahkan kedudukannya.”

Arthur mengangkat alis, menatap lurus ke arah sang menteri. “Apakah maksud Anda aku harus berpura-pura? Menyatakan cinta atau komitmen yang bahkan belum ada?”

Ruangan itu hening sejenak. Kaisar menyipitkan mata, menimbang kata-kata putranya. Ia tahu Arthur bukan tipe pria yang mudah tunduk pada permainan politik. Tetapi sebagai putra mahkota, setiap kata dan geraknya akan dipelintir, dijadikan bahan gosip atau strategi.

“Arthur,” suara Kaisar terdengar berat, “kau memang benar. Tidak ada gunanya berbicara dusta. Namun, aku khawatir sikapmu akan menimbulkan perpecahan. Lady Camilla berasal dari keluarga Barak, salah satu pendukung terkuat tahta ini. Menjaga hubungan baik dengan mereka bukan sekadar soal pribadi, tapi juga soal stabilitas kekaisaran.”

Arthur diam sejenak. Matanya, yang selalu tajam, kali ini berkilat dingin. “Aku tidak berniat meremehkan keluarga Barak. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa posisiku tidak bisa dipengaruhi oleh rayuan atau permainan halus. Jika dia benar-benar ingin berada di sisiku, dia harus membuktikan dirinya.”

Menteri Luar Negeri hampir menjatuhkan penanya. Pernyataan itu terlalu berani, bahkan berbahaya. Ia buru-buru berkata, “Tapi Yang Mulia, bukankah itu sama saja dengan menantang keluarga Barak? Mereka bisa merasa terhina.”

Arthur menoleh padanya dengan senyum tipis, sebuah senyum yang tidak mengandung kehangatan sama sekali. “Kalau mereka merasa terhina hanya karena aku meminta bukti ketulusan, mungkin mereka tidak layak berdiri di sisiku sejak awal.”

Kaisar menatap putranya lama sekali, lalu tertawa pendek, berat, penuh makna. “Kau semakin mirip denganku muda dulu. Tidak takut berkata apa adanya.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Tapi, ingatlah, Arthur. Menjadi kaisar bukan hanya soal keberanian, tapi juga soal keluwesan. Kekerasanmu bisa menjadi kekuatan, tapi juga kelemahan.”

Arthur menunduk sedikit, memberi hormat. “Aku akan mengingatnya, Ayahanda.”

***

Di sudut ruangan, Mary yang sebelumnya dipanggil bersama rombongan pelayan untuk memberi kesaksian singkat, menundukkan kepala dalam-dalam. Ia masih teringat jelas bagaimana Duchess Helena, ibu Camilla, memarahinya habis-habisan karena laporannya. Kini, melihat Putra Mahkota membicarakan Camilla di depan Kaisar sendiri, ia tidak bisa menahan rasa takut.

Apakah Yang Mulia benar-benar serius dengan ucapannya? Atau hanya ingin menjatuhkan Camilla di hadapan semua orang? pikirnya, gelisah.

Mary mencuri pandang ke arah Arthur. Wajah pria itu tenang, namun setiap kata yang keluar darinya bagaikan belati yang tak terlihat.

“Yang Mulia,” Menteri Luar Negeri akhirnya bersuara lagi, “jika boleh saya bertanya.. apakah tawaran Anda kepada Lady Camilla untuk belajar pedang juga bagian dari ‘ujian’ yang Anda maksud?”

Arthur menoleh perlahan, sorot matanya menusuk. “Siapa yang memberitahumu soal itu?”

Mary sontak terkejut, lututnya hampir goyah. Ia sadar telah membuka rahasia ketika bercerita pada Lady Helena, dan kabar itu pasti sampai ke telinga menteri.

Menteri Luar Negeri tidak gentar. “Rumor beredar cepat, Yang Mulia. Dan saya hanya ingin memastikan kebenarannya.”

Arthur menautkan jemari di belakang punggungnya. “Ya. Aku menawarinya untuk belajar pedang. Karena aku ingin tahu apakah dia memiliki tekad lebih dari sekadar senyum manis dan kata-kata manis. Jika dia gagal.. maka dia hanya gadis biasa. Tapi jika dia berhasil..” Arthur berhenti sejenak, matanya menyipit, “mungkin dia pantas berdiri di sisiku.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Kaisar mengusap dagunya, senyum samar muncul di bibirnya. “Menarik.. Sangat menarik. Jadi kau ingin menguji calon permaisurimu dengan pedang, bukan dengan pesta teh atau tarian.”

Arthur menunduk singkat. “Karena hanya kekuatan sejati yang bisa bertahan di sisiku, Ayahanda. Segala yang lain hanya ilusi.”

Mary menutup mulutnya rapat-rapat, matanya berair. Ia tahu kata-kata ini akan sampai ke telinga Duchess Helena, dan itu akan menyalakan api baru di keluarga Barak.

Namun di dalam hatinya, entah mengapa, ia juga merasakan harapan kecil. Mungkin, untuk pertama kalinya, Yang Mulia benar-benar ingin melihat Lady Camilla sebagai dirinya sendiri.

“Bagaimana Camilla?, kamu harus menjawab.”

“Jika Yang Mulia menghendakinya, tentu saja saya akan mematuhinya.”

“Kau mendengarnya, kan?”

Situasinya berputar ke arah yang tak terduga. Menolak mentah-mentah bukanlah pilihan. Camilla mengatupkan bibirnya erat-erat dan mengangguk kecil.

"Karena semuanya sudah beres, semua orang boleh pulang. Saya lelah dan akan istirahat siang."

“Baik, Yang Mulia.”

“Baik, Yang Mulia.”

Arthur dan Menteri Luar Negeri berdiri dan membungkuk. Tak mau ketinggalan, Camilla segera mengikutinya dan bergegas keluar.

Sebuah koridor panjang membentang dari ruang audiensi hingga pintu masuk utama istana. Camilla mempercepat langkahnya, nyaris tak mampu mengimbangi langkah panjang Arthur.

“Yang Mulia, mengapa Anda seperti ini? Bukankah pelajaran pedang hanya sebuah hadiah? Mengapa jadi pembuktian?"

"Aku berubah pikiran."

Pada saat itu, Arthur, yang sedang berjalan cepat, tiba-tiba berhenti. Menatap tatapan tajamnya, Camilla secara naluriah menarik napas.

“Mengapa kau harus tau apa yang aku ingin lakukan? Jika aku merubah rencanaku, kau tidak perlu tahu.. yang harusnya kau buat adalah membuat dirimu layak berada di posisi ini bukan?"

Camilla menelan kata-kata yang hendak meluncur di lidahnya, nyaris tak mampu menahannya. Syukurlah, satu-satunya yang lolos hanyalah desahan pelan.

“Fakta bahwa aku benar-benar membuatmu jijik?"

Arthur mengangkat salah satu sudut bibirnya. Senyum sinis sekilas tersungging di wajahnya yang biasa-biasa saja.

"Aku tidak peduli."

Camilla menundukkan pandangannya, tertusuk oleh sengatan tajam kata-kata itu. Tangannya gemetar hebat, jadi ia segera menyembunyikannya di belakang punggungnya.

Sepanjang perjalanan kembali ke Paviliunnya, Camilla memandang Istara Kekaisaran.

Ada tujuh istana di dalam istana kekaisaran.

Masing-masing pohon memiliki lambang simbolis, dan untuk istana Saint, tempat Putra Mahkota tinggal, lambang tersebut adalah pohon sequoia. Menjulang setinggi istana itu sendiri, pohon-pohon itu berdiri bak roh penjaga, tak berbeda dengan dinding hidup.

Pohon-pohon sequoia berusia berabad-abad itu tinggi dan tak kenal ampun. Mereka mengingatkan Camilla pada Arthur yang tangguh, teguh, dan tak pernah menyerah apa pun yang terjadi.

Camilla menatap tanpa henti ke arah dedaunan hijau yang bergoyang di luar jendela, mencoba meredakan beban berat yang menghimpit dadanya.

'Tidak kusangka aku akan kembali ke sini lagi.'

Bahkan sekarang, ketika ia memejamkan mata, ia masih bisa melihat Arthur tang ambruk di kantornya lalu batuk darah kemudian meninggal. Kenangan mengerikan itu terpatri dalam pikiran dan hatinya, menghantuinya tanpa henti.

Matanya, yang sedikit lebih pucat daripada dedaunan hijau tua di luar, melirik ke punggung Arthur yang masih terlihat meski hanya sedikit..

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!