1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Kelas Tiga
Pariyem menatap tiketnya lagi. Kelas Tiga.
Kalau dia benar-benar naik kereta itu, dia akan duduk di lantai kotor, berdesak-desakan dengan ratusan orang lain, menghirup asap dan debu sepanjang perjalanan, mendengar tangisan anak-anak dan keluhan orang tua, mungkin harus berdiri karena tidak kebagian tempat.
Seperti ternak.
Tapi bukankah memang begitu? Bukankah pemerintah kolonial memang menganggap rakyat jelata seperti dirinya sebagai ternak?
Yang boleh dipekerjakan sampai tulang patah dengan upah seadanya. Yang boleh dipukul kalau tidak patuh.
Yang boleh diusir dari rumahnya sendiri kalau menghalangi proyek pemerintah. Yang tidak punya hak untuk protes, untuk mengeluh, bahkan untuk bermimpi.
Sistem yang dirancang untuk memastikan orang seperti dirinya tetap di bawah. Selamanya di bawah.
Sementara ningrat pribumi yang duduk nyaman di gerbong kelas satu tidak lebih dari sekedar boneka meski mereka memegang jabatan di pemerintah.
Mereka hanya simbol agar rakyat patuh. Karena Belanda tahu betul, untuk menggerakkan rakyat agar mau bekerja untuk mereka, mereka butuh para priyai yang masih sangat dihormati di tanah ini.
Mereka menikmati fasilitas yang sama. Makan dari piring yang sama. Tertawa bersama dengan para penjajah. Sementara rakyat mereka sendiri, rakyat yang seharusnya mereka lindungi, diperlakukan seperti ternak.
Peluit kereta berbunyi, panjang dan nyaring.
Orang-orang yang belum naik berteriak panik, berlarian menuju gerbong kelas tiga, mendorong-dorong dengan putus asa. Beberapa orang terjatuh. Anak-anak menangis lebih keras.
Tapi di gerbong kelas satu, para penumpang duduk santai, menyesap teh atau kopi, membaca koran, berbincang dengan tenang. Seolah kepanikan di luar sana tidak ada.
Pintu gerbong kelas tiga ditutup dengan kasar—BRAK! Dikunci dari luar. Beberapa orang yang terlambat menggedor-gedor pintu, memohon dibukakan. Tapi tidak ada yang peduli.
Kereta mulai bergerak. Perlahan. Roda-roda besar berputar dengan bunyi besi bergesekan dengan rel. Asap putih tebal menyembur dari cerobong, membumbung tinggi ke langit yang mulai gelap.
Dari jendela gerbong kelas tiga yang hanya berupa lubang terbuka, tangan-tangan menjulur keluar, melambaikan pada keluarga yang ditinggalkan.
Suara tangis terdengar samar. Asap dan debu masuk dengan bebas, membuat orang-orang di dalam terbatuk-batuk.
Kereta semakin cepat. Suaranya semakin keras, bergema di seluruh stasiun. Lalu perlahan menjauh, menghilang di kelokan rel, meninggalkan hanya asap putih yang perlahan memudar.
Pariyem masih duduk di bangku, menatap kosong ke peron yang mulai sepi. Tiket kelas tiga itu terasa berat di tangannya. Seperti menimbang semua ketidakadilan yang dia rasakan sepanjang hidupnya.
Tapi dia tidak akan naik kereta itu. Tidak akan lari dengan duduk di lantai kotor seperti ternak.
Dia akan melawan. Dengan cara yang dia punya. Dengan informasi yang dia miliki. Dengan bantuan Marius Vecht yang punya kuasa untuk menjatuhkan orang-orang seperti Raden Ayu Kusumawati.
Lima menit. Sepuluh menit.
Akhirnya kereta Wiro mulai bergerak. Perlahan menjauh dari stasiun. Pria tua itu sudah yakin Pariyem benar-benar akan pergi. Tugasnya selesai.
Begitu dokar itu menghilang di tikungan jalan, Pariyem bangkit, mengangkat tasnya, berjalan keluar stasiun dengan langkah cepat.
Dia tidak akan pergi. Tidak akan lari. Tidak akan menyerah.
Dia sudah belajar dari Raden Ayu Kusumawati—perempuan yang bergerak cepat dan tidak menunggu. Yang tidak membiarkan nasib menentukan hidupnya, tapi dia yang menentukan nasibnya sendiri.
Pariyem juga tidak akan menunggu. Dia akan bergerak. Dia akan melawan.
Dan untuk itu, dia butuh Marius Vecht.
Di luar stasiun, dia menutupkan selendang ke rambut dan sebagian wajah. Hanya mata yang terlihat.
Mencari dengan mata yang tajam. Akhirnya menemukannya, dokar sewaan tua dengan kuda kurus, kusirnya seorang pria paruh baya dengan wajah lelah.
"Kang!" panggilnya. "Bisa mengantarkan saya?"
Kusir itu menoleh, menatap perempuan berselendang itu dengan tatapan curiga. "Ke mana?"
"Ke rumah dinas Asisten Residen. Saya akan bekerja di sana. Jadi babu."
Mata kusir melebar. "Rumah pejabat Belanda?"
"Ya. Berapa ongkosnya?"
"Dua puluh sen."
Pariyem mengeluarkan uang, menyerahkan tiga puluh sen. "Cepat. Sekarang."
Kusir itu tidak bertanya lagi. Uang bicara lebih keras, membungkam mulutnya dari rasa ingin tahu.
Pariyem naik ke dokar dengan tas kulit di pangkuan. Dokar mulai bergerak, perlahan keluar dari area stasiun, lalu mempercepat laju saat sudah di jalan raya.
Matahari semakin rendah. Langit berubah dari jingga menjadi merah. Bayangan memanjang seperti hantu-hantu yang mengikuti.
Pariyem menatap ke depan dengan tatapan penuh tekad. Tangannya mencengkeram tas kulit dengan erat.
Jam seperti ini, Marius biasanya sudah pulang dari kantor. Dia harus sampai sebelum malam benar-benar tiba. Harus memberikan semua informasi yang dia punya.
Harus memastikan Raden Ayu Kusumawati jatuh sebelum dia sendiri yang benar-benar mati.
Dokar terus melaju menembus senja, membawa seorang perempuan putus asa yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk hilang—kecuali nyawanya.
Dan dia akan mempertahankan nyawa itu. Apapun caranya. Demi untuk melihat putranya lagi.
Ia terus meyakinkan diri sampai akhirnya dokar tua berhenti di depan gerbang besi tinggi rumah dinas Asisten Residen.
Pariyem turun dengan hati-hati, wajah masih tertutup selendang. Baru setelah dokar itu menghilang di tikungan, Pariyem menarik napas dalam dan membuka selendangnya.
Dia berjalan mendekat ke gerbang. Penjaga pribumi yang sama dengan tempo hari, pria dengan seragam cokelat lengkap, langsung berdiri tegak begitu melihatnya. Matanya melebar sejenak, mengenali.
"Nyai Pariyem?" Pria muda itu membuka gerbang dengan gerakan cepat. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada pemeriksaan.
Pariyem sedikit terkejut. "Saya boleh masuk begitu saja?"
"Tuan Asisten Residen sudah berpesan, kalau Nyai datang, langsung persilakan masuk. Tidak perlu menunggu izin."
Pariyem tersenyum. Dadanya terasa hangat. Lega. Aroma tanah basah dari taman yang baru disiram menambah semangat.
Paling tidak, masih ada satu manusia yang punya nurani di tanah Hindia ini. Satu manusia yang melihatnya sebagai manusia.
Dagunya sedikit terangkat. Percaya dirinya mulai bangkit, pelan tapi pasti. Dia bukan tidak punya siapa-siapa. Dia punya Marius. Dia punya kesempatan.
Pariyem masuk dengan langkah yang lebih mantap dari sebelumnya. Menyusuri jalan setapak menuju rumah besar bergaya Eropa yang lampu-lampunya sudah mulai dinyalakan.
Cahaya kuning keemasan terpancar dari jendela-jendela, menciptakan suasana hangat di tengah malam yang mulai turun.
Di teras depan, Sutini berdiri sambil menimang bayi yang sedang tidur dalam gendongan. Perempuan Jawa setengah baya itu mengenakan kebaya cokelat sederhana, rambut disanggul rapi. Tatapannya pada Pariyem ... berbeda dari kemarin.
Kemarin ada tatapan sinis; merendahkan, menilai, seolah Pariyem adalah perempuan murahan yang tidak pantas masuk rumah terhormat ini.
Tapi sekarang ... ada sedikit rasa hormat di sana. Mungkin karena Tuan Marius sendiri yang memerintahkan untuk menerima Pariyem.
"Selamat datang, Nyai," sapanya dengan nada yang jauh lebih lembut. Bahkan membungkuk sedikit, hal yang tidak dilakukannya kemarin.
Di taman samping terdengar suara tawa anak-anak sedang berkejaran, bermain ayunan.
"Tuan ada di ruang kerjanya," lanjut Sutini. "Beliau meminta Nyonya langsung ke sana begitu tiba."
suwun kak . .