seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kebenaran terungkap
Asap masih mengepul dari puing-puing gudang yang porak poranda. Sirine ambulans dan mobil taktis mulai berdatangan ke pelabuhan, membelah malam yang mencekam. Merlin, Dika, dan Reno dibawa ke tenda darurat untuk diperiksa kondisi fisik mereka.
Merlin duduk sambil menatap hampa ke arah gudang yang kini hanya tinggal reruntuhan.
“Kalau saja kita terlambat beberapa detik...” gumamnya lirih.
Reno menepuk bahu Merlin, “Tapi kita nggak terlambat. Dan yang paling penting, jaringan Chen sudah lumpuh. Bosnya tertangkap, dan rencana Komandan Zen gagal.”
Dika yang duduk di dekat Merlin masih memegang tangannya erat, seolah belum percaya mereka semua masih hidup. “Kau lihat? Kita tidak jadi mati. Bahkan kita masih sempat... merencanakan masa depan,” katanya dengan senyum tipis yang menyimpan banyak luka.
Merlin menatap Dika dalam-dalam, “Setelah ini semua berakhir... aku tetap ingin kau nikahi aku. Bukan karena kejadian tadi malam. Tapi karena aku tahu, kamu satu-satunya yang bisa aku percaya.”
Sementara itu, di markas pusat, interpol dan divisi kepolisian pusat melakukan konferensi pers. Bos Chen ditampilkan dengan wajah tertunduk, diapit dua polisi internasional. Bukti transaksi ilegal, dokumen rahasia, dan server pemalsuan identitas dipaparkan ke publik.
Namun, satu berita belum bisa dipastikan: di mana Komandan Zen?
“Komandan Zen masih buron. Terakhir terlihat melarikan diri lewat jalur laut,” ujar juru bicara.
Tapi Reno punya keyakinan lain. Ia memandangi layar laptopnya dengan intens—di sana ada sinyal pelacak kecil yang sempat ia selipkan ke tas hitam milik Komandan Zen.
“Kau tidak akan bisa lari jauh...”
Setelah insiden ledakan di gudang dan pelarian dramatisnya, Komandan Zen resmi dinyatakan sebagai buronan internasional. Namanya masuk dalam daftar merah Interpol, namun keberadaannya tak pernah terlacak sejak ia melompat ke kapal dan menghilang di lautan.
Semua aset miliknya dibekukan, beberapa anak buahnya ditangkap, dan Chen kini berada dalam tahanan khusus. Namun, tas hitam berisi uang dan dokumen rahasia yang dibawa Zen belum ditemukan.
Merlin, Dika, dan Reno tahu, ini belum akhir. Mereka yakin Zen belum selesai. Di antara dokumen yang diselamatkan Reno, terdapat sebuah peta digital dengan lokasi yang ditandai di beberapa negara Asia Tenggara.
"Dia punya rencana cadangan," ucap Reno sambil menunjuk layar. "Dan kalau aku tidak salah, dia mungkin sedang membangun sesuatu yang lebih besar..."
Reno akhirnya berhasil mendekripsi file rahasia yang diselamatkan dari server cadangan. Di dalamnya terdapat rekaman suara Komandan Zen memberi perintah kepada anak buahnya untuk “mengamankan Leo secara permanen”, serta data transaksi gelap antara Zen dan jaringan kejahatan Bos Chen.
Dengan bukti ini, nama Kapten Merlin dan Dika dibersihkan secara resmi. Pihak pusat tidak bisa mempublikasikan kasus ini ke media karena skandal itu melibatkan nama-nama besar dalam institusi.
Merlin dan Dika hanya diberi penghargaan secara diam-diam, diserahkan oleh perwakilan kepolisian pusat di ruang briefing rahasia.
“Terima kasih atas keberanian kalian,” ujar perwakilan itu sambil menyerahkan medali dan surat pengakuan resmi. “Tapi mohon maaf... semua ini tidak akan pernah terdengar oleh publik.”
Dika menunduk, tidak kecewa, hanya sedikit sedih. Ia telah mempertaruhkan nyawanya, tetapi tetap merasa seperti bayangan yang tersembunyi. Merlin menggenggam tangannya, matanya menatap lembut.
“Kita tidak perlu sorotan. Kita hanya perlu tahu bahwa kita benar.”
Sementara itu, Leo, meski tidak dibebaskan sepenuhnya karena masa lalunya sebagai anak buah Chen, hanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Dalam hati, Leo tahu dia berutang pada Merlin dan Reno yang telah menyelamatkan nyawanya.
Pak Jaka sedang duduk di bangku panjang sambil menyeruput kopi sachet. Rendi datang membawa gorengan, lalu duduk di sebelahnya.
Pak Jaka:
(menghela napas lega)
"Alhamdulillah ya, Den… Dika selamat. Kapten Merlin juga. Aku masih nggak nyangka, anak ojek kayak dia bisa berjasa buat negara."
Rendi:
(tersenyum bangga)
"Iya, Pak. Dulu kita sama-sama nunggu orderan di pinggir jalan… Sekarang nama Dika udah masuk berita, walau diam-diam."
Pak Jaka:
(mengangguk perlahan)
"Aku masih inget waktu dia baru gabung, helm aja minjem. Tapi hati dia dari dulu udah berani. Gak pernah takut bantu orang."
Rendi:
"Dia bukan cuma nyelamatin kapten Merlin, Pak… Dia juga nyelamatin nama baik ojek online. Sekarang kita semua punya alasan buat bangga."
Pak Jaka:
(tersenyum sambil menatap langit)
"Dika udah jadi orang besar, Den… Tapi aku yakin, hatinya masih tetap sama. Masih anak jalanan, yang tahu arti perjuangan."
Rendi:
"Semoga dia nggak lupa mampir ke pangkalan, ya, Pak. Kita siap traktir dia nasi padang dua bungkus kalau balik."
(Keduanya tertawa bersama, sambil menatap jalanan yang perlahan mulai gelap, penuh kenangan perjuangan masa lalu.)
Tiba-tiba suara mesin motor Vario berhenti tepat di depan pangkalan. Motor itu tampak sangat familiar.
Pak Jaka:
(menyipitkan mata)
"Lho… itu bukan motornya Dika?"
Rendi:
(berdiri sambil melambai)
"Eh, iya! Tapi siapa tuh dibonceng? Pakai helm, nutupin muka."
Penumpang melepaskan helm perlahan. Rambut panjang terurai, wajah cantik muncul dengan senyum memikat. Tubuhnya dibalut pakaian kasual ketat, terlihat segar dan elegan.
Pak Jaka:
(membetulkan topinya, tersipu malu)
"Astagfirullah… itu kan Bu… eh, Kapten Merlin."
Dika:
(turun dari motor, tertawa kecil)
"Pak Jaka, Rendi! Lama nggak nongkrong bareng ya?"
Merlin:
(melepas helm, menatap hangat)
"Terima kasih kalian udah bantu Dika selama ini. Kalau nggak karena kalian, mungkin aku nggak akan selamat."
Rendi:
(menyikut Pak Jaka pelan)
"Pak, itu idola bapak tuh. Senyumnya bikin lemes ya?"
Pak Jaka:
(gelagapan, tertawa malu)
"Eh... iya, iya… ehm… Selamat datang di pangkalan kami, Kapten. Hehe…"
Merlin tersenyum ramah, menyalami mereka satu per satu.
Merlin:
"Mulai sekarang, kalian bukan cuma teman Dika. Tapi juga pahlawan latar belakang dari sebuah cerita besar."
Dika:
(mengangguk setuju)
"Aku nggak pernah lupa dari mana aku berasal. Terima kasih, udah jadi keluarga buatku."
Semua tertawa hangat. Di tengah senja yang turun perlahan, suasana pangkalan menjadi saksi reuni kecil penuh rasa syukur dan persahabatan.
Rendi:
(menepuk bahu Pak Jaka sambil tertawa)
"Wah, kayaknya Dika ke sini mau traktir nih, Pak! Siap-siap makan nasi Padang, gratis!"
Pak Jaka:
(ikut tertawa, nyengir lebar)
"Asiiik! Nasi rendang dua porsi, sambel jangan lupa!"
Merlin:
(tersenyum manis, melipat tangan di dada)
"Aduh, kalian ini. Gimana kalau aku saja yang traktir?"
Rendi & Pak Jaka:
(serentak)
"Hah?! Serius, Kapten?"
Merlin:
(mengangguk santai)
"Iya dong. Kita makan di restoran Padang yang di seberang jalan itu. Katanya rendangnya juara. Sekalian ngerayain kemenangan kecil kita hari ini."
Dika:
(menatap Merlin sambil tertawa kecil)
"Kalau gitu, aku yang boncengin Kapten. Pak Jaka sama Rendi nyusul, jangan ngiler di jalan ya."
Pak Jaka:
(bercanda)
"Asal jangan ngiler lihat kemesraan kalian, cukup makanan aja yang bikin ngiler."
Semua tertawa lepas. Mereka lalu bersiap menyeberang menuju restoran Padang, meninggalkan pangkalan dengan hati penuh rasa syukur dan tawa persahabatan yang tulus.
Di atas bukit kecil tempat matahari terbenam, Dika dan Merlin duduk berdampingan.
“Jadi kamu serius sama janji waktu di gudang?” tanya Dika pelan.
Merlin tersenyum, lalu menyelipkan tangannya ke lengan Dika.
“Aku nggak pernah main-main soal perasaan, Mas Dika... dan soal anak itu... kita lihat saja nanti.”
Mereka tertawa kecil, menikmati hembusan angin yang lembut.
Tapi di kejauhan, seorang pria berjas gelap mengamati mereka dari dalam mobil hitam. Ia berbicara di telepon dengan suara pelan.
“Target utama selamat. Rencana tahap dua akan segera dimulai... tunggu perintah selanjutnya.”