Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Jonas datang dengan langkah tenang, membawa cup berisi kopi susu yang aroma kopinya cukup kuat untuk membangkitkan kesadaran Areta yang nyaris tumbang.
"Nyonya, minumlah ini," ujar Jonas lembut.
Areta menerima kopi itu, membiarkan uap hangatnya menerpa wajahnya yang pucat.
"Terima kasih, Jonas. Aku butuh ini, aku butuh kopi, bukan teh. Aku harus tetap terjaga untuk menjaganya," bisik Areta, lalu menyesap kopi itu dalam-dalam.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Suara derap langkah kaki yang angkuh dan suara tangisan yang dibuat-buat terdengar dari lorong. Pintu kamar perawatan terbuka dengan kasar.
Nyonya Helena masuk dengan wajah penuh amarah, diikuti oleh Clara yang masih tampak berantakan dan bermata sembap.
"Apa yang kau lakukan pada putraku?!" bentak Helena begitu melihat Vincent yang terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat.
"Lihat kondisi Vincent! Ini semua karena kau, gadis pembawa sial!"
Clara ikut mendekat, mencoba merangsek menuju ranjang Vincent.
"Vincent, sayang, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini," tangis Clara pecah di samping ranjang.
Melihat kehadiran dua wanita yang menjadi racun dalam hidupnya dan suaminya, sesuatu dalam diri Areta meledak.
Rasa takut dan sedihnya seketika berubah menjadi amarah yang murni.
Areta berdiri tegak, meletakkan kopinya di meja dengan suara dentum yang cukup keras.
"KELUAR!" teriak Areta, suaranya menggelegar di ruang yang sempit itu.
"Apa kamu bilang?! Kamu berani mengusirku dari kamar anakku sendiri?" tantang Helena dengan mata membelalak.
Areta melangkah maju, menatap tajam tepat di mata Helena, lalu beralih pada Clara dengan pandangan yang penuh penghinaan.
"Iya, aku mengusir kalian! Vincent hampir mati karena mengejarku setelah melihat kelakuan menjijikkan kalian berdua!" Areta menunjuk ke arah pintu.
"Dia butuh ketenangan, bukan drama picisan dari kalian. Dan kamu, Clara, jangan pernah berani menyentuhnya lagi dengan tangan kotormu!"
"Kau tidak punya hak—" Clara mencoba membela diri.
"AKU PUNYA SETIAP HAK DI SINI!" potong Areta dengan nada tinggi yang sangat berwibawa. "Aku istri sah Vincent! Aku Nyonya De Luca, dan aku yang memegang kendali atas perawatan suamiku! Jika kalian tidak pergi sekarang, aku akan meminta Jonas dan seluruh anak buah di luar untuk menyeret kalian keluar dengan cara yang tidak terhormat!"
Helena terperangah melihat perubahan sikap Areta yang biasanya pendiam dan tunduk. Untuk pertama kalinya, Areta menunjukkan taringnya sebagai istri seorang pemimpin mafia.
"Jonas! Bawa mereka keluar! Sekarang!" perintah Areta tanpa menoleh.
Jonas, yang sejak tadi berdiri siaga, langsung melangkah maju dengan wajah dingin.
"Nyonya Helena, Nyonya Clara,.mari saya antar keluar. Jangan membuat saya harus melakukan kekerasan atas perintah Nyonya Areta."
Dengan rasa malu dan amarah yang tertahan, Helena dan Clara akhirnya terpaksa melangkah keluar.
Sebelum pintu tertutup, Areta kembali duduk di samping Vincent, memegang tangan suaminya yang terikat dengan posesif.
"Hanya aku yang boleh di sini, Vincent. Hanya aku," bisik Areta dengan napas yang masih memburu karena emosi.
Areta menarik napas panjang, menyesap kopi susunya yang sudah mulai mendingin. Kafein itu sedikit membantunya tetap terjaga, sementara matanya tak lepas dari monitor jantung yang menunjukkan grafik kehidupan Vincent.
Ruangan itu sunyi, hanya ada suara detak mesin yang menjadi saksi bisu betapa keras kepalanya pria yang terbaring di sana.
Beberapa jam berlalu, hingga terdengar erangan rendah dari arah ranjang.
Kelopak mata Vincent bergetar hebat sebelum akhirnya terbuka perlahan.
Hal pertama yang ia tangkap adalah bayangan Areta yang duduk tegak di sofa, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan campuran antara benci, lelah, dan rasa lega yang mendalam.
"Aku masih hidup," ucap Vincent, suaranya hampir menyerupai bisikan yang pecah.
Ia mencoba menggerakkan bahunya, namun seketika ia merasakan tarikan kuat di pergelangan tangan dan kakinya.
Vincent melirik ke samping, melihat tali pengaman nilon yang mengunci pergerakannya ke rangka ranjang besi.
Ia tidak lagi mengamuk seperti sebelumnya. Ia hanya menarik napas panjang yang terasa menyakitkan di dadanya.
"Kali ini kamu harus diikat, Vin," ujar Areta tanpa emosi, namun matanya berkaca-kaca.
"Aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal gila untuk ketiga kalinya. Kau hampir mati karena mengejar taksiku, kau tahu itu?"
Vincent menatap langit-langit ruang perawatan, lalu beralih menatap Areta.
Alih-alih marah atau memerintah Areta untuk melepaskannya, Vincent justru menganggukkan kepalanya dengan perlahan.
Wajahnya yang pucat pasi menunjukkan kepatuhan yang tidak terduga.
"Lakukan apa pun yang membuatmu tetap berada di ruangan ini, Areta," gumam Vincent serak.
"Jika diikat menjamin kamu tidak akan lari lagi, maka ikat aku selamanya."
Areta tertegun. Kepatuhan Vincent justru membuatnya merasa sesak.
Ia bangkit dari sofa, mendekat ke sisi ranjang, dan mengusap dahi Vincent yang berkeringat dingin dengan lembut.
"Istirahatlah. Jangan banyak bicara dulu," bisik Areta.
Vincent memejamkan mata, merasakan sentuhan tangan Areta yang menjadi obat paling ampuh untuk rasa sakitnya.
Untuk pertama kalinya, sang mafia besar itu benar-benar menyerah pada belenggu medis dan pada wanita yang kini menjaganya.
Vincent menatap Areta dengan sorot mata yang tak terbantahkan, meski tubuhnya masih sangat lemah.
"Naik ke sini, Areta. Tidurlah di sampingku," pintanya dengan suara parau yang penuh tekanan.
Areta menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak marah.
"Vincent, kamu harus istirahat total. Luka operasimu baru saja dijahit ulang untuk yang ketiga kalinya. Jangan aneh-aneh."
Namun, Vincent bukan tipe orang yang menerima penolakan.
Ia mulai menggerakkan pergelangan tangannya dengan paksa, membuat tali nilon yang mengikatnya berderit kencang melawan rangka besi ranjang.
Wajahnya meringis menahan sakit, namun ia tetap bersikeras.
"Jika kau tidak naik, aku akan menarik ikatan ini sampai lepas dan jahitanku robek lagi. Pilihannya ada di tanganmu," ancamnya dengan nekat.
Areta membelalak ngeri melihat kegilaan suaminya.
Ia tahu Vincent tidak pernah main-main dengan ancamannya, apalagi setelah kejadian pengejaran taksi tadi.
"Baiklah! Baiklah, aku naik, Vincent! Berhenti bergerak!" seru Areta panik.
Dengan sangat hati-hati, Areta melepas alas kakinya dan naik ke atas ranjang rumah sakit yang cukup luas itu.
Ia merebahkan tubuhnya dengan sangat pelan di sisi Vincent yang bebas dari peralatan medis, berusaha tidak menyenggol selang infus atau perban di dada suaminya.
Begitu Areta berbaring di sampingnya, Vincent langsung menghentikan gerakannya.
Ia menghela napas lega dan memiringkan kepalanya sedikit ke arah istrinya.
Meski tangannya terikat, ia merasa jauh lebih tenang sekarang karena bisa merasakan kehadiran Areta sedekat ini.
"Begitu lebih baik," gumam Vincent pelan, matanya perlahan terpejam saat ia mulai merasakan kehangatan Areta di sisinya.
Areta hanya bisa diam mematung, menatap langit-langit kamar sambil mendengarkan napas Vincent yang perlahan mulai teratur.
Di balik rasa kesalnya, ada rasa haru yang aneh karena menyadari bahwa monster ini begitu bergantung padanya.
Dalam keheningan kamar rumah sakit yang hanya diterangi lampu temaram, Vincent menatap wajah Areta yang berada sangat dekat dengannya.
Suara detak jantung Vincent yang terpantau di monitor terasa selaras dengan suasana hati mereka yang sedang tenang.
"Apakah kamu sudah mencintaiku?" tanya Vincent tiba-tiba, suaranya rendah dan dalam, menembus keheningan.
Areta terdiam sejenak. Ia menatap mata hazel suaminya, mencari sisa-sisa keganasan yang biasanya ada di sana, namun ia hanya menemukan kerapuhan.
Perlahan, Areta menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin berbohong; rasa sakit hati karena perlakuan Vincent selama ini belum sepenuhnya hilang, meski rasa peduli itu mulai tumbuh.
Vincent tidak terlihat marah. Sebaliknya, sebuah senyum tipis yang tulus bukan seringai tajam seperti biasanya muncul di bibirnya yang pucat.
"Aku akan membuatmu jatuh cinta denganku, Areta. Lihat saja nanti," ucapnya dengan nada penuh keyakinan.
Areta mengangkat alisnya, sedikit sangsi.
"Bagaimana caranya? Kamu bahkan sedang terikat di ranjang sekarang."
Vincent terkekeh pelan, meski itu membuatnya sedikit meringis menahan nyeri di dadanya.
"Rahasia, Sayang. Kamu hanya perlu bersiap."
Ia menggeser tubuhnya sedikit dengan sangat hati-hati agar jahitannya tidak tertarik, mencoba mencari posisi yang paling nyaman di dekat istrinya.
"Kita akan pergi bulan madu setelah aku keluar dari rumah sakit ini," lanjut Vincent dengan nada posesif.
"Hanya kita berdua. Tanpa Jonas, tanpa pengawal, dan tentu saja tanpa gangguan dari siapa pun."
Areta hanya bisa menghela napas, menyandarkan kepalanya di bahu Vincent yang tidak terluka.
"Sembuhlah dulu, Monster. Baru kita bicara tentang bulan madu."
Vincent memejamkan mata, merasa menang karena setidaknya Areta tidak menolak idenya.
Vincent menatap wajah Areta yang berada sangat dekat dengannya.
Napas istrinya itu mulai teratur, panjang, dan tenang. Kelelahan yang luar biasa setelah ketegangan di ruang operasi, pengejaran taksi, hingga pertengkaran dengan Nyonya Helena tadi akhirnya membuat pertahanan Areta runtuh.
Gadis itu benar-benar tertidur pulas dengan kepala yang bersandar nyaman di bahu Vincent yang tidak terluka.
Rambutnya sedikit menutupi wajahnya, dan tangan Areta tanpa sadar memegang ujung kemeja rumah sakit yang dikenakan Vincent.
Vincent, yang tangannya masih terikat ke sisi ranjang, hanya bisa menggerakkan jemarinya sedikit untuk merasakan tekstur rambut Areta.
Ia menatap istrinya dengan sorot mata yang penuh kelembutan, sesuatu yang tidak akan pernah ia biarkan dilihat oleh musuh-musuhnya.
"Katanya tidak cinta, tapi tertidur sangat pulas di bahuku," gumam Vincent sangat pelan, nyaris seperti bisikan angin.
Senyum tipis kembali tersungging di bibirnya. Ia merasa menang.
Baginya, kenyamanan yang ditunjukkan Areta saat ini adalah bukti bahwa di dalam hati gadis itu, kebencian mulai terkikis oleh rasa ketergantungan.
Vincent mencoba tidak bergerak sedikit pun, meski tubuhnya mulai terasa pegal dan lukanya berdenyut.
Ia tidak ingin gerakan sekecil apa pun membangunkan Areta dari tidurnya yang tampak begitu damai.
Dalam belenggu tali medis dan rasa sakit fisik, Vincent justru merasa sangat bebas karena miliknya ada di pelukannya.
"Tidurlah, Areta. Saat kau bangun nanti, kau akan menyadari bahwa kau tidak akan pernah bisa pergi dariku," bisiknya lagi sebelum ia sendiri ikut memejamkan mata, membiarkan aroma parfum Areta menjadi pengantar tidurnya.
lanjut Thor💪😘