NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Fantasi / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10 Remake: Malam Penuh Impian

Langit pagi di Rivera tampak lebih lapang dari biasanya, seolah-olah Tuhan sendiri sedang membuka jalan untuk dua jiwa yang akan melangkah ke takdir baru. Tenda-tenda dilipat, kereta bantuan sudah bergerak ke arah timur, sementara sebagian warga yang tersisa memilih tinggal untuk menjaga puing-puing Rivera yang tersisa. Bau kain, tanah lembab, dan asap bekas unggun bercampur dengan wangi pagi yang segar.

Sho duduk di atas sebuah batu besar di pinggir perkemahan, hanya beberapa meter dari tenda medis. Di pangkuannya tergelar sebuah peta usang—peta wilayah selatan kerajaan, dengan garis-garis kasar yang menunjukkan pegunungan, sungai, dan jalur menuju Vixen. Ia mengamati tiap jalur dengan seksama, matanya mengikuti rute seakan berharap menemukan pilihan terbaik, tercepat... Atau mungkin yang paling aman.

“Tujuh hari jalan kaki, tiga hari kalau ada kereta kuda. Tapi tak akan ada kereta kuda hingga ke desa tetangga...” Sho melamun.

Suara lembut langkah kaki menghentikan lamunannya.

“Aku akan ke hutan sebentar,” kata Aria, yang kini berdiri di sisinya sambil mengikat rambut biru gelapnya ke belakang. “Siapa tahu ada buah-buahan yang bisa kita bawa. Bekal dari tentara terlalu kering.”

Sho menatapnya sekilas dan mengangguk. “Hati-hati.”

“Selalu,” jawab Aria sambil berjalan ringan ke arah hutan kecil yang masih menyisakan bayangan hijau.

Begitu Aria menghilang di balik pepohonan, Sho kembali menunduk pada peta. Namun pikirannya tak bisa fokus. Entah mengapa, suara langkah Aria masih bergema di telinganya, seperti detak pelan yang tak kunjung padam.

“Yo.”

Suara itu tiba-tiba datang dari belakangnya, diiringi dengan sebuah tepukan ringan di pundak. Sho menoleh cepat dan melihat Kean, si lelaki berambut pirang keemasan yang terkenal dengan senyum seenaknya dan gaya bicara santai.

“Sepertinya kau beruntung punya pacar seperti dia,” kata Kean sambil menyengir, kedua tangannya bersilang di depan dada. Matanya melirik ke arah hutan, lalu kembali ke Sho.

“Eh?! B-bukan!” Sho langsung gelagapan, wajahnya memerah seperti anak kecil ketahuan menyimpan surat cinta. “Dia bukan... Kami tidak... Dia bukan pacarku!”

Kean terkekeh, senyum lebar di wajahnya.

“Yah, entah itu kau akui atau tidak, gadis itu peduli padamu. Dia tidak berhenti menangis malam itu, tahu? Jadi... Jagalah dia.” Nada suaranya berubah sedikit lebih tenang, lebih dalam. “Jangan biarkan dia menangis lagi.”

Sho terdiam. Kata-kata Kean terasa seperti tamparan pelan yang mengingatkan sesuatu yang nyaris ia lupakan. Tangis Aria yang tidak ia ketahui... Genggaman tangan di pagi hari... Semua itu bukan hal kecil.

Kean menepuk bahunya sekali lagi, kali ini lebih lembut. “Lugh bukan dewa yang suka mengatur, tapi aku tahu saat firasatku benar.” Ia lalu berjalan menjauh dengan santai, meninggalkan Sho yang masih terpaku.

“Hmm... Untuk ukuran inkarnasi Lugh, kata-katanya cukup menyentuh.”

Suara lembut dan sedikit menggoda muncul di benak Sho. Ia mengenalnya sekarang. Itu suara Persephone.

“Dan aku setuju dengannya, Sho. Kau memang harus menjaga gadis itu. Dia rapuh... Tapi berani. Seperti setangkai bunga yang tumbuh di medan perang.”

Sho menggertakkan giginya pelan. “Kau mendengar semuanya...?”

“Tentu saja. Aku bagian darimu sekarang. Segalanya tak akan luput dari telingaku...”

Lalu, jeda pendek sebelum suara Persephone kembali, kali ini dengan nada yang lebih jahil.

“Dan lagi... Pacarmu itu sangat perhatian. Kau yakin tidak ingin mempertimbangkan kembali status kalian?”

Sho nyaris tersedak udara.

“Dia bukan pacarku!” gumamnya lirih, tetapi keras cukup hingga seekor burung kecil yang hinggap di ranting terbang menjauh.

“Ya ya... Untuk saat ini,” suara Persephone terkekeh kecil. “Tapi jangan lupa... Insting gadis itu membawamu menuju takdirmu. Dia mungkin belum menyadari siapa dirinya... Tapi dia sudah melangkah lebih dulu dari siapa pun.”

Sho menatap hutan tempat Aria menghilang, dan untuk sesaat, ada percikan rasa aneh di dadanya. Campuran rasa kagum, haru... dan sesuatu yang belum bisa ia beri nama.

Beberapa menit kemudian, Aria kembali sambil membawa tas selempang penuh dengan buah-buahan liar. Anggur kecil berwarna ungu gelap, buah beri merah, dan satu-dua apel hutan memenuhi tas itu.

“Aku dapat lumayan banyak. Kau harus coba yang ini,” katanya sambil menunjuk buah berbentuk oval hijau kekuningan. “Rasanya asam, tapi manis di akhir.”

Sho menoleh cepat dan berdiri. Ia berusaha bersikap normal, walau wajahnya masih sedikit kemerahan.

“B-baik. Terima kasih,” ucapnya terbata-bata.

Aria mengerutkan dahi. “Kau baik-baik saja?”

“Ya! Maksudku, ya. Aku cuma—sedikit kaget kau membawa buah sebanyak itu.”

Aria tersenyum tipis. “Aku terbiasa. Lagipula, kalau perjalanan tujuh hari, kita butuh sesuatu yang lebih dari sekadar roti kering.”

Sho mengangguk, dan saat ia menerima tas berisi buah dari tangan Aria, jari mereka bersentuhan sejenak.

“Tenang... Biasa saja... Ini bukan apa-apa,” gumamnya pelan.

Namun di benaknya, suara Persephone tertawa pelan lagi.

“Bukan apa-apa, ya?”

Sho menghela napas panjang.

Dan di kejauhan, jalan panjang menuju Kerajaan Vixen menanti.

 

Beberapa jam telah berlalu sejak mereka meninggalkan Rivera. Kini, bayang-bayang rumah dan ladang yang pernah mereka kenal telah tenggelam di balik hutan dan bukit, digantikan oleh gelapnya malam yang menyelimuti jalanan sunyi.

Langit malam membentang luas, dihiasi bintang-bintang yang berkelip tenang dan sepotong bulan pucat yang bersinar lembut di antara awan tipis. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma dedaunan, tanah basah, dan ketenangan yang tak bisa dibeli.

Sho dan Aria duduk berdampingan di rerumputan. Di sisi mereka, api unggun kecil menari-nari dalam kobaran lembut, mengusir dingin dari tubuh yang mulai lelah.

Mereka diam cukup lama, hanya ditemani suara malam dan gelegak api. Tapi bukan keheningan yang canggung—justru menenangkan, seakan semesta memberi mereka ruang untuk bernapas setelah hari yang melelahkan.

Tangan mereka bersentuhan. Awalnya tidak sengaja. Tapi Aria tak menariknya. Sho pun diam. Dan kemudian... Tangan mereka benar-benar saling menggenggam.

“Aku ingin menjadi wanita kuat,” kata Aria tiba-tiba, memecah sunyi. Suaranya pelan, seperti gumaman, tapi terdengar sangat jelas di telinga Sho.

Sho menoleh. Wajah Aria hanya diterangi cahaya api dan bulan. Tatapannya tidak mengarah pada Sho, melainkan pada langit penuh bintang.

“Bukan hanya kuat secara fisik,” lanjutnya. “Tapi kuat saat kehilangan... Kuat untuk tidak menyalahkan diri sendiri... Dan cukup kuat untuk tetap melangkah meski tidak ada yang menuntunku.”

Sho menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Aku akan membantu mewujudkan itu. Aku akan menjagamu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisimu.”

Aria tersenyum, kemudian tertawa kecil. “Kau lucu sekali, Sho,” katanya lembut. “Tapi kupikir yang terjadi nanti justru sebaliknya. Aku yang akan menjagamu.”

Sho ikut tertawa, walau lebih canggung. Pipinya terasa hangat — bukan karena api, tapi karena sesuatu yang lebih dalam.

Sho menatap api, tapi pikirannya jauh. Ia tahu bahwa rasa ini—entah apa namanya—sudah tumbuh sejak lama. Tapi ia tak tahu apakah ia pantas membalasnya... Atau cukup kuat untuk menjaganya.

“Aww... Betapa romantisnya...” Suara lembut Persephone muncul begitu saja didalam benak Sho. “Genggaman tangan, bintang-bintang, dan janji manis? Hanya tinggal satu langkah lagi untukmu mengatakan cinta, anakku...”

“Apa!?” seru Sho spontan—cukup keras hingga memecah keheningan.

Aria langsung menoleh. “Hah? Apa maksudmu?”

Sho langsung panik. “Ah! Tidak... aku... Barusan... Lihat bintang jatuh. Iya! Tadi aku lihat bintang jatuh.”

Aria mengerutkan alis. “Tapi aku tidak melihat apa-apa...”

Sho tertawa gugup. “Ya... Mungkin kau melewatkannya. Tapi tidak apa-apa, biasanya kalau melihat bintang jatuh katanya kita bisa membuat harapan, kan?”

Aria masih menatap curiga beberapa detik, tapi akhirnya menghela napas dan kembali menatap langit.

“Bagus. Alasanmu bisa dibilang nyaris meyakinkan,” bisik Persephone lagi, suaranya terdengar geli.

“Tapi lain kali, jangan teriak. Kau hampir saja membocorkan rahasiamu sendiri.”

Sho hanya menggigit bibir pelan dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan wajahnya yang masih memerah.

Aria tiba-tiba berkata, “Kadang... Aku berharap bisa tinggal di malam seperti ini selamanya.”

Sho menoleh dan mengangguk. “Aku juga.”

“Kau harus menjaga gadis ini,” ucap Persephone pelan, hampir seperti bisikan dari masa lalu. “Kalau dia menangis lagi... Mungkin kau takkan bisa menebusnya. Dan hatimu sudah terlalu lekat padanya.”

Sho menggenggam tangan Aria lebih erat. Tidak ada kata-kata lagi. Tidak perlu. Karena dalam genggaman itu, sudah cukup banyak yang terucap.

Aria menoleh, menatap Sho sebentar dengan senyum tipis. “Terima kasih... Karena tidak meninggalkanku disaat aku sedang membutuhkan seseorang.”

Sho membalas dengan suara hampir berbisik. “Mungkin... Karena aku juga butuh seseorang.”

Malam terus berlanjut, bintang tetap menggantung di atas kepala mereka. Tapi di bawahnya, ada dua jiwa yang perlahan mulai saling menguatkan—dan satu suara dari dalam yang tak henti-henti mendorong hati Sho agar tak lagi ragu.

1
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
J. Elymorz
akh... gantung banget plss/Grievance//Grievance/
J. Elymorz
SJSKSKKSK APASI SHO, PINTER BGT GOMBALNYA
J. Elymorz: aku pas baca chapter ini
awal: /Grimace/
tengah: /Hey/
akhir: /Kiss/
total 1 replies
J. Elymorz
aduh... perasaan yg rumit..
J. Elymorz
yara santai banget pls/Shame/
J. Elymorz
BAGUSS LIORAA
J. Elymorz
Ayooo lioraaaa, kamu pasti bisaaa/Determined//Determined/
J. Elymorz
AKHIRNYAAA SHO BALIKK/Joyful//Joyful/
J. Elymorz: "Kau adalah matahari ku.." KSSKKSKSKSKSKS APASI SHO, GOMBAL BGT/Hammer//Hammer/
total 1 replies
J. Elymorz
Persephone sayang banget sama sho/Cry//Cry/
J. Elymorz
wamduh ada plagiatnya sho, dasarr
J. Elymorz
baguss/Cry//Cry/
J. Elymorz
Ga tidur sama makan selama 3 hari? Bener-bener gila!! /Skull//Skull/
J. Elymorz
lucuuu, pertemuan liora dan cresswell membawa nostalgia saat pertama kali mereka bertemu/Hey//Hey/
J. Elymorz
akhirnya liora jadi high human/Smile//Smile/
J. Elymorz: ikut senangg/Smile//Smile/
total 1 replies
J. Elymorz
bagusss, cerita mu selalu baguss/Grimace//Grimace/
J. Elymorz
HWAAAAAA ariaaa /Sob//Sob//Sob/
J. Elymorz: chapter ini bener' nyesek bagi ku, penulisannya bagus bangett sampe' aku bisa ngebayangin apa yg ada dlm ceritanya/Cry//Cry/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!