NovelToon NovelToon
ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.

Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.

Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.

Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.

Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.

Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14

hari ini Yun Qi ber rencana mengantar Hao Yu ke bandara. tapi mereka tidak berangkat bersama. Bandara selalu punya bau yang khas campuran kopi pahit, karpet tua, dan udara dingin dari pendingin ruangan yang bekerja tanpa henti. Yun Qi berdiri di dekat pintu keberangkatan internasional dengan tas kecil di bahunya. Seragam sekolah sudah diganti pakaian kasual sederhana: hoodie tipis abu-abu dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat rendah, rapi tapi tidak berlebihan.

Ia datang lebih cepat dari jadwal. Bukan karena disuruh, tapi karena tidak tahu harus menunggu di mana lagi. Di sekelilingnya, orang-orang berpisah dan bertemu. Ada yang menangis tanpa malu, ada yang tertawa sambil memeluk erat, ada juga yang sekadar melambaikan tangan dengan wajah datar. Yun Qi memperhatikan semuanya dengan jarak tertentu, seolah menonton adegan film yang tidak sepenuhnya ia pahami.

Ia tidak tahu perpisahan seperti apa yang seharusnya ia lakukan. Langkah kaki yang dikenalnya terdengar dari belakang. Teratur, mantap, tidak terburu-buru. Yun Qi menoleh.

Wang Hao Yu datang dengan setelan jas hitam sederhana, koper di sampingnya. Tidak ada rombongan. Tidak ada asisten. Hanya dia, berdiri sendirian dengan aura yang membuat orang-orang di sekitarnya tanpa sadar memberi jarak. “Ge,” sapa Yun Qi lebih dulu, suara itu keluar sedikit lebih tinggi dari biasanya. Hao Yu mengangguk. “Kamu datang.”

“Iya.” Yun Qi menautkan jari-jarinya di depan tubuh. “Saya… izin hari ini.” Kalimat itu terdengar seperti pembelaan yang tidak perlu. Hao Yu tidak menanggapi. Ia hanya melirik jam tangannya, lalu memandang papan jadwal penerbangan. “Masih ada waktu,” katanya singkat.

Mereka berdiri berdampingan, tapi jarak di antara mereka terasa lebih lebar dari lantai bandara yang dingin. Yun Qi mencuri pandang ke samping. Dari sudut matanya, ia melihat garis rahang Hao Yu yang tegas, kerutan tipis di antara alisnya kerutan yang biasanya muncul saat ia berpikir. “Ge…,” Yun Qi ragu sejenak. “Di luar negeri nanti… apakah Anda akan sibuk?”

Pertanyaan itu terdengar bodoh bahkan di telinganya sendiri. Tentu saja sibuk. Hao Yu selalu sibuk. “Ya,” jawab Hao Yu jujur. “Tapi bukan berarti tidak bisa dihubungi.” Yun Qi mengangguk cepat. “Saya tidak akan mengganggu.”

Hao Yu menoleh sedikit. “Aku tidak bilang begitu.” Yun Qi terdiam. Ada kehangatan aneh yang merayap di dadanya, bercampur dengan rasa bersalah karena terlalu berharap. “Nomor ini tetap aktif,” lanjut Hao Yu, nada suaranya datar tapi tegas. “Kalau ada apa-apa, hubungi.”

Ia mengeluarkan sebuah kartu kecil dari dompetnya dan menyodorkannya. Yun Qi menerimanya dengan dua tangan, refleks sopan yang sudah melekat sejak lama. Ia melihat kartu itu nomor internasional, nama Hao Yu tercetak rapi. “Terima kasih, Ge.” Hao Yu mengangguk. Hening lagi.

Pengumuman penerbangan terdengar dari pengeras suara, suara perempuan yang lembut tapi tanpa emosi. Nama Hao Yu disebut, tujuan luar negeri, waktu keberangkatan.

Yun Qi menelan ludah. “Ge akan… pulang?” tanyanya pelan. “Maksud saya… setelah lima tahun.” Hao Yu menatap lurus ke depan. “Aku selalu pulang.” Jawaban itu seharusnya menenangkan. Tapi entah kenapa, Yun Qi merasa ada jarak di dalam kata pulang itu. Seolah maknanya berbeda bagi mereka berdua.

Ia mengangguk, lalu menghela napas kecil, berusaha mengumpulkan keberanian. “Saya akan belajar dengan baik. Tidak akan merepotkan.” Hao Yu menoleh penuh kali ini. Tatapan itu membuat Yun Qi menegakkan bahu. “Kamu tidak pernah merepotkan,” katanya.

Kalimat itu sederhana. Tapi Yun Qi merasakannya seperti sesuatu yang berat dijatuhkan tepat di tengah dadanya. Ia menunduk, takut ekspresinya terbaca terlalu jelas. “Ada hal lain?” tanya Hao Yu. Yun Qi menggeleng. “Tidak.”

Padahal ada banyak. Terlalu banyak. Ia ingin bertanya apakah Hao Yu akan merindukannya. Ingin tahu apakah apartemen akan terasa sama kosongnya bagi pria itu seperti baginya. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu terasa tidak pantas, terlalu pribadi, terlalu berbahaya.

Hao Yu melangkah satu langkah mendekat. Tidak menyentuh, hanya cukup dekat untuk membuat Yun Qi mencium aroma parfum yang familiar. “Jaga diri mu,” ucapnya lagi.

“Iya, Ge.” Untuk sesaat, Hao Yu mengangkat tangannya, seolah hendak melakukan sesuatu menepuk kepala Yun Qi, mungkin, atau sekadar menyentuh bahunya. Tapi tangannya berhenti di udara, lalu turun kembali.

Gerakan kecil itu tidak luput dari perhatian Yun Qi. “Ge…” panggilnya spontan, suara itu nyaris pecah.

Hao Yu menatapnya. Yun Qi membuka mulut, menutupnya lagi. Akhirnya, ia hanya membungkuk kecil. “Selamat jalan.” Hao Yu mengangguk. “Jangan lupa makan.”

Yun Qi hampir tertawa atau menangis entah yang mana. Ia mengangguk keras, terlalu keras. “Baik.”

Hao Yu berbalik, menarik kopernya. Langkahnya mantap, tidak ragu. Yun Qi berdiri di tempat, memperhatikan punggung itu menjauh, semakin kecil di antara kerumunan.

Saat Hao Yu hampir menghilang di balik pintu pemeriksaan, ia berhenti sebentar, menoleh ke belakang. Pandangan mereka bertemu sekali lagi, singkat, tajam.

Lalu pintu tertutup. Yun Qi berdiri lama setelah itu. Terlalu lama. Sampai seorang petugas lewat dan meliriknya dengan heran. Barulah ia bergerak, melangkah keluar bandara dengan langkah yang terasa lebih berat dari saat ia datang.

Malam itu, apartemen terasa lebih besar dari biasanya. Yun Qi duduk di meja makan, menatap piring kosong. Jam dinding berdetak keras, mengisi ruang yang sebelumnya diisi oleh suara langkah kaki dan pintu yang dibuka tutup. Ia bangkit, berjalan ke ruang tamu, lalu ke balkon.

Kota berkilau di bawah. Lampu-lampu gedung seperti bintang palsu. Ia mengeluarkan kartu nama dari saku, menatap nomor itu lama. Jarinya ragu-ragu di atas layar ponsel, lalu ia menyimpannya kembali tanpa menelepon. Belum perlu, katanya pada diri sendiri.

Hari-hari setelahnya terasa janggal. Yun Qi tetap menjalani rutinitasnya, tapi semuanya terasa sedikit bergeser. Ia mulai pulang ke apartemen dengan langkah yang lebih pelan, seolah berharap sesuatu menunggunya. Tapi yang ada hanya sunyi.

Di sekolah, teman-temannya mulai menyadari perubahan itu. “Qi, lu kenapa lagi sih akhir-akhir ini?” tanya salah satu teman sebangkunya, nada low formal yang santai. “Kayak lagi mikirin orang.” Yun Qi tersenyum tipis. “Biasa aja.”

“Lu bohong,” sahut temannya. “Mata lu nggak fokus.” Yun Qi tertawa kecil, tapi tawanya cepat hilang. Ia menoleh ke jendela kelas, menatap langit yang mendung. “Ada orang yang pergi.”

“Oh.” Temannya mengangguk, lalu menepuk lengannya. “tapi balik lagi, kan?” Yun Qi tidak langsung menjawab. “Katanya sih gitu.”

Malam demi malam berlalu. Kadang Yun Qi terbangun tengah malam, menatap ponselnya, setengah berharap ada pesan masuk dari nomor internasional itu. Tidak pernah ada.

Suatu malam, ia berdiri di depan pintu kamar Hao Yu lagi. Kali ini, ia tidak menyentuh gagangnya. Ia hanya berdiri, punggung bersandar ke dinding, perlahan meluncur duduk ke lantai. “Ge…” gumamnya pelan.

Apartemen tetap diam. Perpisahan itu tidak dramatis. Tidak ada pertengkaran, tidak ada janji manis yang berlebihan. Tapi justru karena itulah, ia terasa tidak selesai. Seperti kalimat yang terputus di tengah, menyisakan ruang kosong yang terus mengganggu.

Dan di dalam ruang kosong itulah, Yun Qi mulai belajar satu hal yang tidak pernah ia pelajari sebelumnya bagaimana rasanya menunggu tanpa tahu kapan akan bertemu lagi.

1
@fjr_nfs
tinggalkan like dan Komen kalian ☺❤️‍🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!