"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Pesta Kabupaten: Senjata Makan Tuan
Aula besar kantor kabupaten Desa Makmur berkilauan di bawah cahaya lampu kristal. Malam ini adalah perayaan ulang tahun kabupaten yang ke-50, sebuah acara paling bergengsi yang dihadiri oleh seluruh jajaran pejabat, pengusaha kayu, hingga para sosialita desa. Namun, di balik kemegahan itu, aroma konspirasi tercium tajam.
Risa Permata keluar dari mobil sedan hitam milik ayahnya. Ia mengenakan gaun malam berwarna navy blue yang elegan, dengan potongan sederhana namun memancarkan aura otoritas. Tidak ada lagi jejak gadis desa yang lugu. Setiap langkahnya di atas karpet merah diiringi oleh tatapan kagum sekaligus penasaran dari para tamu.
Di sampingnya, Pak Baskoro tampak sedikit gugup. "Risa, apa kau yakin kita harus datang? Ayah merasa suasana malam ini sangat tidak enak. Pak Surya terus menatap kita sejak tadi."
Risa menggandeng lengan ayahnya, memberikan remasan lembut yang menguatkan. "Jangan takut, Ayah. Malam ini adalah malam di mana semua duri yang mencoba menusuk kita akan patah dengan sendirinya. Ayah cukup tersenyum dan biarkan aku yang memegang kendali."
[SISTEM : DETEKSI AREA - PESTA KABUPATEN.]
[JUMLAH MUSUH TERDETEKSI : 5 (PAK SURYA, DONI WIJAYA, NYAI RATNA, MELATI, DAN SEORANG WANITA ASING).]
[MISI : GAGALKAN FITNAH KELUARGA SIMPANAN & HANCURKAN REPUTASI PAK SURYA.]
[HADIAH : 500 POIN DENDAM & UNLOCK ITEM 'REKAMAN SUARA REAL-TIME'.]
Di sudut aula, keluarga Wijaya sudah berkumpul. Pak Surya tampak gagah dengan setelan jas batik mahalnya, sementara Doni berdiri di sampingnya dengan wajah yang masih menyimpan dendam akibat kejadian di rumah Risa kemarin. Di dekat mereka, seorang wanita paruh baya berpakaian lusuh sengaja didudukkan di kursi tersembunyi, wajahnya tertutup kerudung.
"Ingat, Doni. Begitu aku memberi kode pada operator layar, bawa wanita itu ke depan. Kita akan buat Baskoro tidak berani menunjukkan wajahnya lagi di desa ini," bisik Pak Surya dengan senyum licik.
"Tenang, Ayah. Aku sudah memastikan semua wartawan lokal fokus pada panggung utama," jawab Doni penuh percaya diri.
Risa memerhatikan gerakan mereka melalui Mata Kegelapan. Ia bisa melihat benang-benang niat busuk yang terpancar dari tubuh Doni. Ia juga menyadari keberadaan Revano Adhyaksa di barisan kursi VIP terdepan. Revano duduk dengan kaki bersilang, menyesap champagne dengan tenang, seolah sedang menunggu sebuah pertunjukan komedi yang menarik.
Acara dimulai dengan pidato formal dari bupati. Hingga tiba saatnya Pak Surya, sebagai tokoh masyarakat dan calon kuat bupati periode depan, dipanggil ke atas panggung untuk memberikan pidato singkat.
"Hadirin sekalian," suara Pak Surya menggelegar melalui pengeras suara. "Malam ini kita merayakan kemajuan. Namun, kemajuan tidak bisa dicapai tanpa kejujuran. Sangat menyedihkan bahwa di antara kita, ada seorang pemimpin yang selama ini kita agungkan, namun ternyata menyimpan rahasia gelap yang menodai moral desa kita."
Aula mendadak sunyi. Ratusan pasang mata tertuju pada Pak Surya.
"Saya bicara tentang rekan saya sendiri, Pak Baskoro," lanjut Pak Surya sambil menunjuk ke arah meja Risa. "Selama bertahun-tahun dia berakting sebagai duda teladan. Namun malam ini, kebenaran akan terungkap. Mari kita saksikan bukti dari 'keluarga kedua' yang selama ini dia telantarkan demi harta!"
Doni segera berdiri dan menuntun wanita berkerudung itu ke depan panggung. Di saat yang sama, operator lampu mematikan lampu aula dan menyalakan layar proyektor raksasa di belakang panggung.
"Silakan, putar buktinya!" seru Pak Surya dengan nada dramatis.
Risa tersenyum dingin. Di dalam pikirannya, ia berkomunikasi dengan Sistem.
"Sistem\, aktifkan Override Data. Ganti file 'Fitnah_Baskoro.mp4' dengan file 'Skandal_Surya_Malam_Jumat.mov' yang kau dapatkan dari penyadapan kamera CCTV hotel semalam."
[SISTEM : OVERRIDE BERHASIL. MEMULAI PEMUTARAN DALAM 3... 2... 1...]
Layar raksasa itu menyala. Namun, bukannya foto Baskoro dengan wanita asing, yang muncul adalah video berkualitas tinggi yang memperlihatkan sebuah kamar hotel mewah. Di dalam video itu, Pak Surya tampak sangat mesra dengan seorang wanita yang bukan istrinya—melainkan sekretaris pribadinya. Tidak hanya itu, dalam video tersebut, Pak Surya terdengar dengan jelas sedang menghitung tumpukan uang tunai yang merupakan dana bantuan sosial desa.
"...Tenang saja, Sayang. Dana desa ini cukup untuk kita beli apartemen di kota. Baskoro akan segera jatuh, dan setelah itu, seluruh hutan jati itu akan jadi milikku. Istriku yang tua itu tidak akan tahu apa-apa..." suara Pak Surya di video itu terdengar sangat nyaring di seluruh aula.
Seluruh tamu undangan terperangah. Suasana aula yang tadinya hening berubah menjadi gemuruh kemarahan dan bisik-bisik yang tajam.
"Apa?! Pak Surya korupsi?!"
"Lihat itu! Dia selingkuh di belakang Nyai Ratna?!"
"Ya Tuhan, jadi ini wajah asli calon bupati kita?"
Wajah Pak Surya yang tadinya merah karena semangat, kini berubah menjadi pucat pasi, lalu putih seperti mayat. Ia berbalik ke arah layar, matanya hampir keluar dari kelopaknya. "Hentikan! Matikan itu! Itu palsu! Itu editan!"
Doni yang berada di panggung ikut membeku. Wanita berkerudung yang ia bawa—yang sebenarnya adalah aktor bayaran—langsung lari ketakutan karena suasana yang memanas.
Nyai Ratna, istri Pak Surya, berdiri dari kursinya dengan wajah yang gemetar karena amarah. Ia berlari ke arah panggung dan langsung melayangkan tamparan keras ke wajah suaminya. PLAK!
"KAU BINATANG, SURYA! KAU MENGGUNAKAN UANGKU UNTUK JALANG ITU?!" teriak Nyai Ratna histeris.
Risa berdiri dari kursinya dengan sangat tenang. Ia berjalan perlahan menuju tengah aula, semua mata kini tertuju padanya.
"Pak Surya," suara Risa yang jernih membelah keributan. "Anda tadi bicara soal kejujuran dan moral, bukan? Sepertinya layar itu memberikan jawaban yang lebih jujur daripada lidah Anda."
Risa menoleh ke arah Bupati yang duduk di depan. "Bapak Bupati yang terhormat, sebagai warga desa yang mencintai kebenaran, saya rasa rekaman ini perlu diserahkan kepada pihak berwajib sebagai bukti korupsi dana desa. Ayah saya, yang Anda fitnah malam ini, memiliki seluruh pembukuan asli yang menunjukkan ke mana perginya dana-dana yang Anda klaim hilang itu."
Bupati yang tampak sangat kecewa segera berdiri. "Ajudan! Amankan Pak Surya dan bawa dia ke ruangan khusus. Kita tidak bisa membiarkan skandal ini merusak acara kabupaten!"
Polisi pamong praja segera naik ke panggung dan menyeret Pak Surya yang masih berteriak-teriak tidak terima. Doni mencoba menolong ayahnya, namun ia justru didorong oleh massa yang marah.
Pesta yang seharusnya meriah itu berakhir dengan kekacauan bagi keluarga Wijaya. Di tengah hiruk-pikuk tersebut, Risa merasakan sebuah tepukan ringan di bahunya. Ia berbalik dan menemukan Revano Adhyaksa berdiri di sana, menatapnya dengan senyum yang kali ini tampak lebih "hangat" namun tetap misterius.
"Luar biasa, Nona Risa. Saya tidak menyangka Anda memiliki akses ke 'film pendek' yang begitu berkualitas," ujar Revano.
"Dunia digital terkadang sangat tidak ramah pada orang-orang jahat, Tuan Revano," jawab Risa tenang.
Revano mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Risa yang membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. "Aku tahu itu bukan kebetulan. Kau bukan sekadar gadis pintar, Risa. Kau seperti seseorang yang sudah tahu apa yang akan terjadi. Katakan padaku... apakah kau memiliki kemampuan meramal, atau kau memang seorang iblis cantik yang datang untuk membalas dendam?"
Risa menatap mata Revano yang tajam. "Jika saya bilang saya berasal dari masa depan untuk menghancurkan setiap orang yang menyakiti saya, apakah Anda akan percaya?"
Revano tertawa pelan. "Di dunia ini, aku lebih percaya pada hasil daripada alasan. Dan malam ini, hasilnya adalah kehancuran keluarga Wijaya. Tapi ingat, Risa... Pak Surya hanyalah pion kecil. Di belakangnya masih ada kekuatan besar yang jauh lebih berbahaya."
"Maksud Anda?"
"Keluarga Wijaya hanya berani bertindak karena ada dukungan dari konsorsium pertambangan di Jakarta. Dan besok pagi, mereka akan mengirimkan 'pembersih' untuk menutupi jejak Pak Surya. Jika kau ingin ayahmu selamat, ikutlah denganku malam ini."
Risa terdiam. Di kehidupan masa lalu, ia tahu bahwa ada pihak lain, tapi ia tidak pernah tahu siapa mereka karena ia sudah lebih dulu mati.
[SISTEM : PERINGATAN! DETEKSI ANCAMAN TINGGI.]
[SESEORANG SEDANG MENGINCAR PAK BASKORO DI AREA PARKIR.]
[MISI DARURAT : SELAMATKAN AYAH!]
Wajah Risa mendadak tegang. "Ayah! Di mana Ayah?!"
Ia melihat ke arah meja ayahnya, namun kursi itu sudah kosong.
Risa berlari menuju area parkir belakang kantor kabupaten yang gelap. Di sana, ia melihat mobil ayahnya sudah dikepung oleh dua motor besar berpenumpang pria berpakaian hitam. Salah satu dari mereka memegang senjata api.
"Lepaskan Ayahku!" teriak Risa.
Namun, sebelum pria itu menarik pelatuknya, sebuah peluru melesat dari arah kegelapan dan mengenai tangan pria bersenjata itu. Revano muncul dari balik pilar dengan pistol di tangannya.
"Sudah kubilang, Risa. Mainnya mulai kasar," ujar Revano.
Tiba-tiba, ponsel Risa bergetar. Sebuah video masuk. Itu adalah rekaman langsung di dalam rumah Risa, di mana Melati sedang memegang korek api, siap membakar kamar Risa bersama Bi Nah yang terikat di dalamnya.
"Pilih, Risa," suara Doni terdengar dari telepon. "Selamatkan ayahmu di sini bersama pahlawanmu, atau lihat rumahmu dan pelayan setiamu jadi abu. Kau tidak bisa menyelamatkan keduanya!"
Risa berdiri di persimpangan maut. Apakah ia akan menggunakan poin sistemnya untuk hal yang mustahil, atau ia harus merelakan salah satunya?